Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kue Kacang

17 Desember 2013   11:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:50 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dunia di dalam kepala bocah berusia lima tahun biasa tidak lebih besar dari ukuran rumah dan  pekarangannya. Dunia itu berisi kegembiraan, ketulusan dan cinta dari penghuni dunia itu. Semua penuh warna bak pelangi. Tidak ada kesusahan yang dirasakan, kecuali saat sang ibu datang memaksa dia untuk meninggalkan mobil-mobilan tersayang lalu segera mandi atau tidur siang.

Lalu dunianya itu semakin semarak saat ibu membongkar peti berisi pohon imitasi dan pernak-perniknya. Tak lama kemudian pohon tersebut berdiri dengan megah di ruang tamu, dihiasi lampu kecil warna-warni. Si bocah tahu tak lama lagi akan ada banyak tamu yang memenuhi rumahnya. Di gereja akan ada sosok berjanggut putih berbaju merah yang gemar membagi kado. Tapi yang paling penting adalah, akan ada banyak kue kering di dalam toples-toples, termasuk kue kacang, kue favoritnya. Walaupun secara rupa, kue itu kalah dengan kue keju, kue cokelat atau kue nastar, tapi sensasi rasanya membuat kue yang lain layak diabaikan.

Lalu bocah itu pun jadi enggan bermain di luar rumah. Dia takut ketinggalan momen yang datang setahun sekali itu. Saat di dapur mulai tercium aroma sangrai kacang tanah, aroma terigu dan mentega,  bocah itu tahu momennya segera tiba. Dengan penuh minat dia memperhatikan bagaimana kacang sangrai itu dihaluskan, lalu jemari ibu yang lembut mencampurnya dengan bahan-bahan ajaib sehingga menjadi adonan besar seperti mentega raksasa. Adonan tersebut dimasukan ke dalam perkakas seperti pistol-pistolan lalu ibu menembak berkali-kali adonan tersebut ke atas nampan-nampan lebar. Kini adonan tersebut sudah berubah rupa, lebih mungil, lebih lucu dan lebih rapi seperti tentara yang sedang berbaris. Nampan-nampan itu pun dimasukan ke dalam  perkakas seperti lemari yang dipanasi di atas kompor. Apabila bocah itu sabar menunggu, barisan “tentara” itu pun berubah warna pertanda kue kacangnya sudah jadi. Ah, proses yang ajaib. Walaupun seringkali bapak datang mengganggu keasikannya dengan menggendongnya menjauhi dapur dan menciuminya gemas. Untuk waktu yang lain bolehlah, tapi dia akan kesal sekali jika bapak mengganggu saat-saat pentingnya itu.

Kini setelah 27 tahun berlalu, bocah itu telah berubah menjadi pria dewasa yang humoris, sabar, gagah dan penyayang. Aku. Dunia yang aku lakoni juga telah jauh berubah. Kini dunia di yang aku kenal begitu kompleks, penuh tuntutan, penuh intrik. Ketulusan sudah jadi barang langka. Aku sudah lama meninggalkan surga kecil masa kecilku di Malang sana sejak pertama kali menginjakan kaki ke ibu kota negara ini, tempat semua orang menggantungkan mimpi-mimpi kehidupannya.

Sekarang tidak setiap tahun aku bisa merasakan Natal bersama ibu dan bapak. Tapi sensasi kue kacang setiap Natal rasanya sudah jadi sensasi yang tertanam permanen di bawah sadarku. Maka jika tidak bisa merasakan Natal bersama ibu, aku selalu meminta kiriman beberapa kaleng kue kacang.  Sebenarnya rencana semula tahun ini ibu dan bapak akan merayakan Natal bersama kami di Jakarta. Tapi sejak kecelakaan kereta api beberapa waktu lalu, ibu jadi agak takut bepergian. Ibu tak suka naik pesawat terbang kecuali ada perihal yang benar-benar urgent dan penting. Seingatku, baru tiga kali ibu bersedia naik pesawat ke Jakarta. Pertama sekali saat typus-ku kambuh parah semester empat masa kuliahku. Kedua saat Om Farhan mau merayakan syukuran rumah baru mereka dan memaksa ibu naik pesawat dengan berpura-pura tiketnya sudah terlanjur dibeli. Ketiga saat Pru, istriku, hendak melahirkan Jo empat tahun lalu. Selain itu, ibu lebih suka meninggalkan Malang menggunakan kereta api ke Jakarta.

Aku tahu sejak awal Desember ibu sudah mulai berjibaku berhari-hari dengan mentega dan terigu juga kacang sangrai. Beberapa tetangga di Malang juga suka memesan kue kacang ibu yang enak itu. Jadi saat minggu lalu aku meneleponnya untuk menodong kiriman kue kacang, ibu langsung menyanggupi dengan candaannya yang khas.

Tiga hari lalu, dua toples besar kue kacang datang ke rumah. Uhh... begitu membuka tutup toples yang disegel dengan selotip, aroma khas kue kacang langsung memenuhi sudut-sudut ruangan. Pru juga senang dengan kue kacang ibu. Jadi kami memutuskan menyimpan setoples untuk konsumsi sendiri, setoplesnya lagi yang akan jadi suguhan kepada tamu-tamu kami nanti.

Tapi lucunya, baru tiga hari toples yang satu sudah hampir kosong setengahnya. Bagaimana tidak, kue kacang itu sering aku jadikan cemilan teman kopi hangat saat mengejar deadline demi deadline dari penerbit. Pru sampai suka geleng-geleng kepala melihat tingkahku.

“Papaa....!!!” suara cempreng Jo memecah konsentrasiku dari layar laptop.

Jagoanku datang memeluk kakiku lalu menunjukan piring plastiknya yang kosong.

“Pa, boleh minta kue kacangnya lagi gak??” tanyanya lalu nyengir memamerkan gigi susunya. Siapa yang tidak gemas melihatnya.

“Haah? Kue kacang tadi udah Jo abisin?” tanyaku pura-pura penasaran. Jo mengangguk lucu.

“Yaah, punya papa juga abis...,” candaku. Aku menahan tawaku melihat caranya mengernyitkan kening mungilnya.

“Tuh... di toples masih ada pa..,” sahutnya sembari menunjuk toples yang di atas meja.

“Ooh iya ya. Hehe. Sini piringnya sayang,”

Jo pun menyodorkan piring plastiknya lalu aku mencomot tiga potong kue kacang dari dalam toples dan meletakannya di situ.

“Kalau makan harus diabi....!!”

“..sinn!!” sambung Jo bersemangat.

Jo pun berbalik mau meninggalkan meja kerjaku. Tapi mungkin dia teringat sesuatu, lalu berbalik lagi.

“Pa, Jo mau telepon nenek lagi ahh...”

“Oh ya. Mau bilang apa sama nenek?”

“Jo mau minta dikirimin kue kacang lagi. Kue kacang nenek enak sih...”

Aku tertawa. Lalu mengacak-acak jambulnya.

“Nanti kita telepon nenek lagi ya... “

Suara Pru memanggil Jo menggema dari belakang rumah. Aku melihat arlojiku, sudah hampir jam empat sore.

“Jo mandi dulu yaa... Tuh dipanggil mama,” kataku.

“Yaah... kue kacangnya belum abis pa,” sungutnya.

“Kan abis mandi bentar diterusin lagi kue kacangnya. Ayo, kalau nggak mau dengar-dengaran nanti kalau sinterklas datang gak kebagian kado loh....,”

Jo tak bergeming. Mata yang bening bergerak-gerak manis menandakan dia sedang larut dalam  imajinasinya.

Dia pun segera meletakkan piring plastik berisi kue kacang di atas meja. Lalu berlari meninggalkanku.

“Iyaa, maaaa....!!!!” serunya.

Aku tersenyum. Aku pun memandangi tiga potong kue kacang di atas meja sambil berusaha mengingat-ingat lagi surga masa kecil itu.

Ah, sejarah memang selalu mengulangi dirinya sendiri.

(PG)

************

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun