Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nenek Bola Bekel

23 Januari 2015   02:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:34 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Udara dingin menggantung di ujung sore. Pada salah satu blok kompleks perumahan yang sepi mencekam, seorang bocah berusia lima tahun berlari kecil menyusuri bibir jalan, mengejar bola bekelnya yang menggelinding lincah di atas aspal.

“Ayuuu, jangan main jauh-jauh….., ”

Seorang wanita tua berteriak dari belakang bocah itu.

“Iya, neek……!!, “ Bocah bernama Ayu tersebut menyahut keras. Tapi lalu menghilang dibalik rimbunnya perdu di depan sebuah rumah kosong, mengikuti laju bolanya.

Nenek menunggu sambil merapatkan ujung-ujung jaket wolnya. Sedetik, dua detik, semenit, tapi cucunya belum juga muncul. Sedikit cemas, nenek menyusul tergopoh-gopoh. Di balik rumpun perdu, Ayu menatap ragu ke arah bolanya yang tergeletak didalam selokan kering di depannya.

“Lohh, kok bolanya diliatin aja??” tutur nenek, lalu tersadar, sekalipun kering selokan tersebut sepertinya cukup dalam untuk bocah seusia Ayu, maka nenek pun bermaksud mengambil bola itu, tapi jawaban Ayu kemudian membuatnya terkejut.

“…. Nek.., Ng.. nenek yang itu tadi bilang mau bantu ambilin bolanya dengan syarat sore ini dia ganti nenek main sama Ayu.”

Eyang menatap aneh ke wajah Ayu. “Nenek…?! Nenek yang mana, nak??”

“Nenek itu….,” Ayu menunjuk lurus ke depan. Padahal tidak ada siapa-siapa disitu. “Nenek itu baik kok sama Ayu….,”

Bulu kuduk Nenek berdiri seketika. Bibirnya pun memucat. Dia langsung menarik Ayu, dan berusaha mengerahkan segenap tenaga untuk menggendong cucunya itu dan segera pergi dari situ. Dengan langkah sedikit tertatih karena menahan bobot cucunya, nenek berbisik terbata-bata.

“Kita pulang ya nak, sudah hampir malam…. Nanti dicariin mama..”

“Nenek kenapa? Kok takut begitu?”

Nenek berhenti sejenak. Lalu meletakkan Ayu di atas jalanan. Dilihatnya baik-baik wajah cucunya, lalu tersenyum simpul.

“Nenek tidak takut kok? Eh, yuk kita ambil bola bekelnya… Kasihan kan ditinggal disana,”

Ayu pun digamit dan mengekor begitu saja di sisi neneknya. Otak mungilnya berusaha menangkap keganjilan yang baru saja terjadi. Mengapa gaya berbicara dan cara tersenyum neneknya jadi mirip dengan nenek misterius yang ditemuinya tadi.

“Cah ayu, mau nggak ikut ke rumah-rumahan nenek? Disana bola bekelnya banyak loh… Nenek juga punya buaanyak permen sama coklat…,”

Ayu mulai merasa tidak nyaman. Terutama dengan genggaman neneknya yang terasa semakin kasar.

Di penjuru barat sana, matahari mulai meredupkan cahayanya, siap memberi jalan kepada malam untuk merajai langit bumi.

_________________________

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun