Saat membaca artikel mas Iskandar Zulkarnaen yang diangkat jadi headline article oleh admin kemarin malam, saya jadi teringat berita yang saya nonton siang harinya. Sejumlah sineas ternama tanah air seperti Nia Dinata, Joko Anwar, Lukman Sardi, Atiqah Hasiholan, Ody C Harahap, Titien Watimena, Rio Dewanto, dan masih banyak lagi mengajukan protes keras dalam bentuk surat terbuka kepada pemerintah cq Kemenpar. Pasalnya delegasi Indonesia yang hendak diutus mengikuti European Film Market (EMF) Berlinale adalah orang-orang “tidak jelas” dalam dunia perfilman kita.
Pengiriman orang-orang yang tidak jelas ini mengindikasikan terjadinya penyelewengan dan penghambur-hamburan uang negara untuk kepentingan segelintir orang saja. Padahal para penggiat perfilman yang lebih kompeten dan kredibel, malah tidak diberikan sokongan dana untuk mengikuti even perfilman internasional tersebut. Diduga skandal delegasi perfilman ini bukan baru terjadi sekali ini saja.
Nia Dinata, sutradara sekaligus produser saat diwawancarai media dengan gamblang menceritakan pengalamannya saat mengikuti festival film di Hongkong beberapa waktu lalu. Nia saat itu mendapat fasilitas booth gratis dari panitia. Booth Nia berada tidak jauh dari Booth film milik Indonesia. Booth tersebut lumayan besar, hanya saja saat Nia menyambanginya, booth-nya kosong melompong karena orang-orang yang semestinya menjaga malah pergi jalan-jalan ke Disneyland.
"Ketika itu saya dapat hadiah untuk buka booth di Hong Kong. Booth saya itu hanya beberapa meter dari booth film Indonesia, yang ternyata di sana nggak ada yang jaga, mereka malah pergi ke Disneyland Hongkong," beber Nia sebagaimana dikutip tabloidbintang. com Sabtu (7/2) lalu.
Jadi memang wajar saja kalau puluhan tokoh perfilman tanah air berang dan melakukan protes kepada pemerintah. Dalam surat terbukanya, para tokoh perfilman ini juga menghendaki dilakukan audit biaya perjalanan delegasi perfilman tanah air yang terjadi tahun-tahun sebelumnya.
Untung juga bocoran surat permohonan izin ke luar negeri yang dilayangkan Direktur Pengembangan Industri Perfilman bernomor KP.1011/2/24/SEKJEN/KEM-PAR/2015 terungkap ke depan publik tanggal 3 Februari 2015 lalu sehingga skandal ini berhasil terendus masyarakat.
Memang pada akhirnya Direktur Pengembangan Industri Perfilman dicopot dari jabatannya dan keberangkatan delegasi dari Indonesia dibatalkan. Tapi ini tidak serta merta menyelesaikan masalah. Pemerintah mesti menunjukkan itikad baik untuk memajukan industri kreatif Indonesia khususnya industri perfilman dengan memberikan fasilitasi kepada insan-insan perfilman yang lebih kompeten. Sementara itu pemerintah juga mesti menertibkan oknum-oknum pejabat yang membidangi industri kreatif namun tidak berpikir untuk memajukan industri kreatif dalam negeri, melainkan menjadi oportunis dan mementingkan diri sendiri.
Pemerintah memang tengah menghadapi banyak ujian akhir-akhir ini. Urusan KPK versus Polri yang bikin mumet belum juga kelar-kelar, datang lagi masalah dari ranah industri kreatif yang jauh dari hiruk pikuk perpolitikan.
Upaya Presiden yang mau berbenah dalam tempo sesingkat-singkatnya menjadi susah setengah mati kalau orang-orang disekitarnya masih betah dengan mental lama. Oleh karena itu Presiden mesti berani mencopot para oportunis disekitarnya yang tidak mau mengabdi untuk kepentingan bangsa sesuai dengan bidang kerjanya masing-masing. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H