Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Valentine Ketiga

15 Februari 2015   03:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:10 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14239213121857763976

Hujan yang mengguyur kota sudah berlalu. Dari tepi jendela balkon, Jeane menatap sendu bulan setengah yang hadir menyibak awan-awan mendung di atas sana.

Dari balik kacamatanya, Jeane memutar kembali frame demi frame kehidupan sejak Diego pamit untuk selamanya meninggalkan kisah cinta mereka. Valentine kali ini menjadi valentine ketiga sejak kepergian kekasih sejatinya itu. Tapi sampai hari ini, Jeane belum bisa menghapus segala sensasi kebersamaan mereka.

Setiap sentuhan, belai, kecup dan genggaman jemari masih saja terasa. Bahkan helaan napas Diego  masih menyapu hangat wajahnya setiap kali senja mengucapkan perpisahan. Wajah Diego dan senyumannya yang begitu teduh, masih sering hadir setiap kali dia membuka matanya di pagi hari. Begitu pula suara Diego yang mendendangkan lagu favortinya, Bengawan Solo, masih kerap terngiang. Masih sama merdunya seperti saat pertama kali dia menyanyikannya di tengah taman kota, tempat favorit mereka dulu.

Memandang sepasang sejoli yang berboncengan mesra di bawah, memanggil setiap frame semakin deras mengalir ke ruang benak Jeane. Masih terasa kekarnya punggung Diego dari boncengan motor. Lalu cowok pemalu itu memberikan rangkaian mawar Valentine untuk pertama kali padanya. Lalu hadir kecupan pertama, pelukan pertama, kata cinta pertama….

Malam itu bulan bersinar setengah seperti malam hari ini…

Jeane pun membersihkan dua bulir bening yang mengalir lepas. Setiap kali kenangan dan emosi ini datang begitu kuat, dia berusaha memeluk logikanya. Itu semua tinggal kenangan yang harus dijaga dan disimpan rapat-rapat dalam tempat spesial dalam hatinya.

“Masih sering memandang bulan….?”

Suara bariton mengalihkan perhatiannya. Jeane pun berbalik dan menatap tidak percaya pada siapa yang hadir disitu.

“Jo....??! Kamu… kamu kapan datangnya??” serunya lalu menghambur memeluk lelaki tegap tersebut.

“Ini baru sampai,” Jo membalas hangat pelukan Jeane. “Ada perjalan dinas kesini. Eh, aku bawa hadiah valentine spesial lohh…….,”

Jeane melepas pelukannya dan menatap penasaran ke dalam mata Jo.

“Omaaa…..!!”

Bocah laki-laki muncul dari balik pintu lalu berlari heboh ke tempat Jeane berdiri. Mata Jeane berbinar-binar dan menyambut pelukan hangat dua bocah tersebut.

“Duuh, cucu oma dateengg…!! Kok nggak bilang-bilang dulu sih? Kan oma bisa bikin bubur kacang ijo kesukaan kamu….,”

“Sengaja, oma. Gian mau kasih kejutan buat, oma,” sahut bocah itu dengan mimik lucu. Jeane pun mencubit gemes hidung Gian cucunya. “Eh, mama nggak ikut ya?”

“Enggak, oma…”

“Tika kirim salam saja, ma. Toko kembangnya lagi banyak orderan belakangan ini. Talia juga masih sekolah…,” Jo menjelaskan.

Jeane mengangguk-angguk.

“Syukurlah kalau begitu… Memang mama lihat, Tika punya bakat mengelola bisnis…”

“Setuju, Ma. Dia bentar lagi nelpon mama….,” sahut Jo lagi.

“Yaah, Gian dicuekin deh!”

Jeane dan Jo kompak melihat ke bocah yang lagi merajuk di antara mereka, lalu keduanya tertawa lepas.

“Maafin, oma….!!”

“Abis Gian kecil sih. Makanya jangan malas makan biar cepet tinggi kayak papa sama oma nih…,” sahut Jo sambil mengelus kepala anaknya.

“Eh, kalian pasti udah pada laper kan. Yuk kita ke bawah…. Oma bikin masakan paling enak buat kalian….”

“Horeee…….!!!” Gian berlari duluan meninggalkan Jo dan Jeane.

Jeane pun menggamit tangan Jo, puteranya.

“Mama masih ingat papa yah?” tanya Jo pelan saat mereka mulai menuruni tangga.

Jeane tersenyum. “Iya… Makanya mama sampai nggak sadar kalian datang….”

Jo tertawa kecil. “Tadi bibik bilang mama sudah dari sore nggak turun-turun. Jo langsung ingat hari-hari sejak papa meninggal dulu….”

“Mama pasti tidak akan pernah bisa melupakan papa kamu, Jo. Kamu tahu itu…”

Jo mengangguk. “Tapi kita juga harus percaya, papa sudah bahagia di surga. Dengan itu kita tetap kuat melanjutkan hidup…..”

“Iyaa. Mama ngerti… Mama senang kamu dan Jo datang menemani Mama.”

Jo sekali lagi memeluk Jeane erat. Sekejab lalu melepas pelukannya dan memandang ke arah perutnya.

“Mama denger gak barusan, ada bunyi kriuk-kriuk….”

“Halah!! Bilang aja kalau udah laper…..”

Keduanya pun tertawa membebaskan sejenak beban kehidupan dari pundak mereka.

Di langit malam, bulan setengah menghadirkan senyum dan keteduhan untuk siapa pun yang merayakan keluhuran cinta.

________________________________

gambar dari: 889yoga.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun