Mohon tunggu...
Sofyan Pian
Sofyan Pian Mohon Tunggu... -

activist

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Danau Poso, Keindahan yang Tidak Terawat

18 April 2011   06:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:41 1085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seluas hamper 12 kilometer persegi, berada di sebelah selatan ibu kota kabupaten Poso, danau Poso menyimpan pesona alam yang luar biasa berupa ombak setinggi hamper setengah meter pada musim tertentu dan pasir putihnya yang menutup tepian.

Ada beberapa keunikan danau terluas kedua setelah Danau Toba ini yang menjadikan wisatawan domestic dan mancanegara tertarik mengunjungi danau yang berada di ketinggian hamper 700 meter dari permukaan laut.

Diantara keunikan yang paling sering menjadi perbincangan soal danau Poso selain isinya yang kaya akan biota air tawar semisal ikan dan sidat adalah misteri lampu danau yang secara tiba-tiba sering muncul berpijar dari tengah danau.

Konon, menurut Legenda turun-temurun, lampu danau ini merupakan seekor naga yang hidup dan menjadi penjaga danau Poso.

Sebagai salah satu kota tujuan wisata andalan di Sulawesi Tengah, selain Togean di kabupaten Tojo Una-Una dan Tanjung Karang di Donggala, kondisi danau Poso dan segenap keindahan dan misterinya justru tidak terawatt dengan baik.

Habitat ikan mas, menurut cerita seorang Ngkai (kakek, dalam bahasa Pamona Poso) dulunya mendominasi hasil tangkapan para nelayan di tepi danau Poso, namun sekarang ini, jangankan mendapat ikan mas, mendapat ikan Mujair saja sudah harus lebih ketengah danau dengan menggunakan perahu.

Rusaknya areal muara Danau Poso, tempat bertelurnya ikan-ikan penghuni danau Poso ditengarai menjadi salah satu penyebabnya.

Hilangnya ritual Mosango , salah satu tradisi menangkap ikan ramah lingkungan di tengah warga Poso, juga menjadi salah satu sebab hilangnya bibit ikan dilokasi berkembang biaknya.

Mosango, adalah sebuah kearifan dalam memanfaatkan kekayaan danau Poso yang berusia ratusan tahun. Dimulai dengan berkumpulnya mereka yang akan menangkap ikan, berdoa kepada sang pencipta, memohon izin untuk menangkap ikan, selanjutnya ditetapkan hanya ikan berukuran sedang dan besar boleh ditangkap, sedangkan yang masih kecil harus dilepas kembali. Waktunya pun hanya setahun sekali boleh menangkap dilokasi penangkaran alami ini.

Sayang sekali, ditempat ini pula seiring dengan sudah semakin jarangnya tradisi mosango berdiri pula sejumlah bangunan, perahu dan jala pun sudah berseliweran padahal dulunya hal ini diharamkan sama sekali.

Derasnya arus pertambahan penduduk yang mendirikan bangunan rumah ditepi danau Poso dan lemahnya penerapan kebijakan pemukiman di jalur hijau menambah daftar semakin surutnya keindahan Danau Poso.

Kesemrawutan di tepi danau Poso dengan hadirnya bangunan rumah beton hingga menyentuh tepian danau menjadi pemandangan yang bisa kita saksikan dari atas jembatan yang membelah jalur sungai ke muara danau Poso.

Sampah terdiri dari bungkusan makanan dari plastic hingga limbah rumah tangga juga mulai menjadi pemandangan sehari-hari ditepi danau ditengah berita semakin turunnya debit air danau hingga sekira 2 centimeter setiap tahunnya.

Danau Poso sepanjang sejarahnya merupakan sumber kehidupan bagi sekitar 12 ribu penghuninya yang mayoritas bersuku Pamona, suku asli yang mendiami wilayah kabupaten Poso.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun