Ada mangkuk kecil disana. Katanya berisi kebenaran. Ketika ku Tanya, milik siapa itu?
Itu milik Tuhan, jawaban yg lirih terdengar.
Lamat-lamat terdengar suara isak tangis, namun tidak kutemukan disini wajah sendu dan air mata. Lantas siapa dan dimana yang menangis?
Lonceng pun ditabuh keras, tangis itu berlalu. Lantas siapa lagi yang menabuh? Kembali tangis itu terdengar, kini semakin menggema. Memenuhi gendang telinga.
Kembali tangis itu terdengar. Siapa gerangan yang menangis lagi ini? Tak jua ada jawaban menyapa. Justru tangis itu berbalok seperti batu. Menghujaniku, melempariku. Perih berasa. Kucubit kulit tanganku, kulit jari-jariku, kulit pipiku, kulit kepalaku bahkan kuku panjangku. Masih indah.
Hmmmm,,,_
Keadaan berceritadengan diam, berbisik padaku:
“Izinkan saya meminjam hatimu, bahwa isakan tangis menggema itu darimu, hatimu terjurang”
Dan benar adanya, tanganku ikut bergetar memegang dada ini. Isakan itu semakin menderu, bagaimana dengan senyum ini?
Saat yang sama, tiba-tiba air mata jatuh berlinang dipipiku mengalir, terus mengalir sampai entah kapan akan berujung?
Akupun menyadari dalam kemarin aku membungkus tangis ini dengan senyuman.
Surabaya, 05 oktober 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H