Eggie Fauzy, yang dikenal dengan nama lahir Yadi Fauzy Lahri, lahir di Bandung pada 6 Juni 1973. Sejak usia muda, Eggie  menunjukkan semangat yang tinggi untuk belajar, yang membawanya menempuh pendidikan di SMA Negeri 15 Bandung dari tahun 1989 hingga 2000. Ketertarikan dan hasratnya terhadap ilmu pengetahuan mendorongnya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, di mana ia mendaftar di Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain Indonesia pada tahun 1992 dan berhasil meraih gelar sarjana pada tahun 2000.
Karier Awal
Eggie memulai karier profesionalnya di dunia musik sebagai manajer beberapa band terkenal pada masanya, termasuk Pemuda Harapan Bangsa, The Panasdalam, CUTS, Matta Band, dan She Band, mulai tahun 1997. Perannya sebagai manajer tidak hanya membentuk karier musik band-band tersebut tetapi juga memperkuat jaringan industri musik di Indonesia.
Kewirausahaan dan Event Organizer
Pada tahun 2003, Eggie mendirikan CV. Daun Hijau Rumah Kerja, menandai langkahnya sebagai seorang entrepreneur. Selama periode 2004 hingga 2007, ia berkontribusi dalam berbagai event organizer seperti PAS17, 18 Synergy, Republic Entertainment, dan Kawanika sebagai stage manager, show director, dan event coordinator. Pengalaman ini memberinya wawasan mendalam tentang manajemen acara dan produksi musik.
Peran di Pelangi Record
Di tengah kesibukannya, Eggie  juga menjabat sebagai road manager di Pelangi Record Indonesia dari tahun 2009 hingga 2010. Di sini, ia terlibat langsung dalam pengelolaan artis dan produksi musik, memperkuat posisinya dalam industri musik Indonesia.
Sejak tahun 2011 hingga saat ini, Eggie telah menjadi pendiri dan koordinator Komunitas Musisi Mengaji. Inisiatif ini mencerminkan komitmennya untuk menggabungkan seni musik dengan nilai-nilai spiritual dan pendidikan agama. Melalui komunitas ini, Eggie  berupaya membangun platform bagi musisi untuk berkarya sambil menyebarkan pesan positif melalui musik.
Eggie Fauzy adalah contoh nyata dari individu yang menggabungkan kecintaan terhadap seni dengan dedikasi untuk pendidikan dan pengembangan komunitas. Dengan perjalanan karier yang kaya dan beragam pengalaman, ia terus berkontribusi pada dunia musik dan masyarakat dengan cara yang inovatif dan inspiratif.
Dunia Hiburan, Musik, dan Transformasi Komunitas  Musisi Mengaji
Pada dasarnya, Eggie banyak berkecimpung di dunia hiburan. Dalam perjalanannya, ada fenomena menarik terkait para musisi yang mulai tertarik mempelajari agama. Sayangnya, akses belajar agama bagi mereka saat itu cukup terbatas, khususnya yang berbasis formal seperti kajian di masjid. Banyak musisi merasa segan untuk mendatangi majelis agama secara langsung, sehingga mereka lebih memilih belajar secara informal, terutama melalui internet. Namun, kondisi internet pada masa itu berbeda dengan sekarang. Informasi agama di dunia maya sering kali berasal dari satu perspektif tertentu, yang cenderung keras dalam pendekatannya. Hal ini berdampak besar pada musisi yang belajar agama dari sumber tersebut, hingga memutuskan meninggalkan musik demi alasan religius. Banyak yang berhijrah dengan semangat tinggi, namun sayangnya, proses ini sering kali memunculkan friksi di antara mereka. Perdebatan pro dan kontra pun muncul, bahkan antar sesama musisi yang baru belajar agama.
Melihat kondisi ini, Ia mulai memikirkan pendekatan yang berbeda. Ia percaya bahwa belajar agama tidak bisa hanya satu arah. Harus ada ruang diskusi dua arah, terutama dengan sumber terpercaya yang bisa memberikan pandangan objektif. Karena latar belakangnya di dunia hiburan dan event organizer, Eggie mencoba mengadakan kajian yang berbeda. Kajian ini tidak hanya mengundang narasumber dari berbagai pandangan---baik pro maupun kontra terhadap musik---tetapi juga dilakukan di tempat yang nyaman bagi musisi, seperti kafe, bukan masjid. Lama kelamaan, acara ini berkembang menjadi sebuah komunitas yang diberi nama Komunitas Musisi Mengaji (Komuji). Awalnya, fokus kawan-kawan hanya pada kajian agama, tetapi seiring waktu, ada kesadaran bahwa para musisi juga memiliki berbagai masalah lain, seperti pencarian identitas dan pengembangan potensi kreatif. Maka, Komuji berevolusi menjadi wadah yang lebih luas untuk eksplorasi kreativitas dan pengembangan diri, tanpa melupakan nilai-nilai agama.
Salah satu alasan penting Eggie dan kawan-kawan mempertahankan perpaduan antara kajian agama dan musik adalah keyakinan bahwa musik itu netral, seperti pisau yang dapat digunakan untuk kebaikan atau keburukan. Jika semua musisi meninggalkan dunia musik, siapa yang akan mengisinya? Musik memiliki dampak psikologis yang kuat, dan bisa menjadi media efektif untuk menyampaikan kebaikan. Oleh karena itu, dimanfaatkanlah musik sebagai alat untuk menyampaikan nilai-nilai positif. Eggie juga percaya bahwa musik, pada dasarnya, adalah komposisi suara-suara alam yang telah diatur sedemikian rupa. Bahkan alat musik hanyalah tiruan dari suara alam. Jika kita memahami musik dari perspektif yang lebih luas, sebagai bagian dari pengetahuan dan kreativitas manusia, kita dapat melihat potensinya untuk menyampaikan pesan yang lebih baik.
Melalui Komuji, lahir upaya menunjukkan bahwa musik dapat menjadi medium perubahan positif, bukan hanya alat hiburan.
"Kami ingin membuktikan bahwa kreativitas, agama, dan musik dapat berjalan seiring untuk membangun masyarakat yang lebih baik."
Menciptakan Alternatif dalam Belajar dan Memaknai Musik
"Dulu, situasi berbeda jauh dibandingkan sekarang. Ketika itu, perdebatan mengenai pro dan kontra musik sangat tajam. Dalam menghadapi fenomena tersebut, kami di Komunitas Musisi Mengaji (Komuji) tidak ingin menjadi pihak yang kontra secara langsung. Sebaliknya, kami berusaha menawarkan alternatif---sebuah voice atau pendekatan belajar yang berbeda. Tujuannya bukan untuk mendebat, melainkan memberikan pilihan agar orang dapat berpikir, membandingkan, dan akhirnya memilih berdasarkan pemahaman yang lebih luas." Ucap Eggie Fauzy ketika ditanya mengenai ketakutan atau keraguan saat memulai perjalanan dengan Komuji.Â
"Bayangkan jika seseorang hanya memiliki satu pilihan informasi. Itu akan membatasi proses berpikir, menjadikannya tidak manusiawi karena kehilangan kemampuan untuk membandingkan dan menilai sendiri. Ketika hanya ada satu perspektif, banyak orang cenderung menjadi ekstrem. Hal ini terjadi karena mereka tidak memiliki sumber informasi lain yang dapat menjadi pembanding."
Eggie percaya bahwa objektivitas muncul ketika seseorang memiliki berbagai sumber untuk dibandingkan. Semakin banyak referensi yang diakses, semakin objektif pula keputusan yang diambil. Namun, pada masa itu, situasi tidak semudah sekarang. Friksi antar kelompok sangat tajam, dengan banyak ketakutan dan justifikasi berlebihan dari pihak-pihak yang keras. Bahkan, Komuji sempat mendapat berbagai tuduhan, mulai dari dianggap "liberal" hingga menyimpang. Ironisnya, tuduhan tersebut sering kali muncul dari interpretasi sepihak tanpa dasar metodologi yang jelas. Padahal mereka sendiri selalu berpegang pada dasar logika dan metode yang kuat dalam setiap langkah yang kami ambil. Namun, seperti biasa, hal baru sering kali sulit dipahami pada awalnya. Hingga akhirnya mereka memilih untuk tetap berjalan tanpa terganggu oleh penilaian orang lain. Seiring waktu, pemahaman mulai berubah. Orang-orang yang dulu hijrah meninggalkan musik kini mulai kembali. Proses ini wajar---ketika seseorang pertama kali belajar sesuatu, ada euforia yang sering kali membuatnya bergerak ekstrem ke satu sisi. Namun, dengan berjalannya waktu, mereka mulai menemukan keseimbangan. Sekarang, suasana lebih cair. Musik kembali diterima sebagai bagian dari ekspresi dan media, bahkan oleh mereka yang dulu menolaknya. Proses ini menunjukkan bahwa perubahan pemahaman adalah bagian alami dari perjalanan manusia. Eggie dan rekan-rekan lainnya di Komuji pun terus konsisten menawarkan ruang alternatif untuk belajar dan berekspresi, memastikan setiap orang dapat memilih jalan yang paling sesuai bagi mereka.
Evolusi Komuji: Dari Komunitas Kecil ke Wadah Inklusif dan Berkelanjutan
Awalnya, Komuji hanya bergerak sebagai sebuah komunitas kecil, menjadi wadah sederhana bagi anak-anak muda untuk mengeksplorasi pengetahuan dan membantu mereka menemukan potensi terbaik dalam dirinya. Dengan visi yang inklusif, Komuji membuka pintunya bagi siapa saja tanpa diskriminasi, menciptakan ruang belajar bersama yang menekankan pentingnya memahami dan menghargai perbedaan. Seiring waktu, Komuji berkembang pesat. Dari sekadar komunitas, akhirnya berubah menjadi yayasan resmi. Meski statusnya berubah, semangat komunitas tetap dijaga. Namun, seperti halnya organisasi lain, perjalanan ini memunculkan tantangan baru, terutama terkait pembiayaan kegiatan. Dulu, sebagian besar aktivitas bergantung pada donasi atau sumbangan sukarela. Namun, untuk menjalankan kegiatan secara konsisten, diperlukan model pendanaan yang lebih berkelanjutan. Untuk itu, Komuji mulai mengembangkan inkubasi bisnis. Program ini tidak hanya bertujuan menopang kebutuhan operasional komunitas, tetapi juga menjadi sarana bagi anggota untuk menemukan dan mengembangkan potensi mereka dalam berbagai bidang. Salah satu bentuk nyata dari inkubasi ini adalah pembukaan kafe. Lalu bagaimana Eggie dan komuji sendiri menyeimbangkan antara sisi bisnis dan kreatiif? Apakah akan ada ketidakseimbangan dianatara keduanya? Ternyata, kafe yang awalnya dirancang sebagai wadah bagi mereka yang tertarik dan memiliki passion di bidang kuliner atau manajemen kafe. Namun, karena Komuji didominasi oleh para musisi, sektor kuliner tidak menjadi fokus utama. Alhasil, kafe ini lebih berfungsi sebagai ruang host---tempat berkumpul dan menyelenggarakan berbagai kegiatan komunitas. Di sisi lain, Komuji tetap menanamkan nilai inklusivitas sebagai dasar berpikir dan bertindak. Semua kegiatan diarahkan untuk membantu individu membuat keputusan terbaik berdasarkan wawasan yang luas dan terbuka. Dengan cara ini, Komuji tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga sarana untuk mendorong inovasi, kreativitas, dan kolaborasi dalam komunitas.
Fase Baru Komuji: Pendampingan Organisasi untuk Skalabilitas Komunitas
Saat ini, Komuji berada dalam fase baru, yaitu sebagai pendamping bagi organisasi-organisasi komunitas. Setelah melalui pengalaman panjang dalam mengelola komunitas dan membangun yayasan yang berkelanjutan, Komuji kini berbagi pengetahuan tersebut kepada komunitas-komunitas lain yang ingin berkembang lebih jauh. Pendampingan ini bertujuan membantu komunitas-komunitas yang awalnya berskala kecil agar mampu melakukan scaling up---mengembangkan kapasitas mereka untuk menjadi organisasi yang lebih terstruktur dan berkelanjutan. Dalam proses ini, Komuji memberikan dukungan mulai dari penyusunan platform, strategi operasional, hingga pengelolaan program yang memungkinkan komunitas-komunitas tersebut bertahan dan terus berkembang. Sebagai contoh, Komuji turut berkontribusi dalam pendampingan organisasi seperti Titik Kumpul, sebuah komunitas musisi. Melalui kolaborasi ini, Komuji membantu membangun fondasi yang lebih kuat bagi Titik Kumpul, mulai dari perencanaan kegiatan hingga strategi pengelolaan jangka panjang. Meskipun kegiatan Komuji saat ini mungkin tidak terlihat langsung sebagai aktivitas mandiri, kontribusinya justru terlihat dalam dampak nyata pada komunitas-komunitas yang didampinginya. Dengan pendekatan ini, Komuji memperluas misinya, memastikan bahwa nilai-nilai inklusivitas dan keberlanjutan terus hidup dan tumbuh melalui berbagai organisasi yang disentuhnya.
Lima Nilai Inti (Five Core Values) untuk Kehidupan Inklusif
"Apa nilai utama yang selalu kak Eggie bawa selama berjalan bareng Komuji?"
"Komuji mengajarkan lima nilai inti (Five Core Values) yang menjadi landasan berpikir inklusif, memungkinkan individu bergaul secara sehat dalam keberagaman. Nilai-nilai ini diajarkan melalui simulasi interaksi dan praktik dalam kegiatan sehari-hari."
1. Setiap Orang Itu Unik dan Berharga
Setiap individu lahir dengan kekhasan masing-masing. Tidak ada yang lebih unggul atau lemah; setiap kelemahan adalah bentuk unik yang bisa diubah menjadi kekuatan. Pemahaman ini mengajarkan cara menerima dan menghargai perbedaan sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup.
2. Perbedaan adalah Kehendak Ilahi
Keberagaman adalah ciptaan Tuhan dan menjadi kenyataan yang tidak bisa dihindari. Maka, menerima dan menghormati perbedaan adalah kunci untuk hidup berdampingan. Sikap ini menuntut kita untuk tidak menghindari konflik yang mungkin muncul, melainkan mempelajari cara menyelesaikannya melalui resolusi konflik dan solusi kolaboratif.
3. Kesetaraan di Tengah Perbedaan
Semua manusia memiliki nilai yang setara. Tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi. Menghindari sikap superior atau inferior menjadi penting agar tidak terjadi diskriminasi atau stereotipe. Stereotipe negatif, seperti menyamaratakan karakteristik suatu kelompok, hanya melahirkan ketidakadilan. Oleh karena itu, penting untuk menumbuhkan kesadaran bahwa setiap individu memiliki kelebihan dan perannya masing-masing.
4. Keberagaman sebagai Sumber Kekuatan
Perbedaan bukan kelemahan, melainkan kekayaan. Keberagaman pandangan dan pengalaman dapat memperkaya perspektif dan mendorong kolaborasi untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Toleransi berarti menghormati perbedaan tanpa harus selalu menyetujui semuanya---sepakat untuk tidak sepakat, namun tetap menghargai keberadaan satu sama lain.
5. Rasa Persaudaraan Kemanusiaan
Dengan mempraktikkan keempat nilai sebelumnya, seseorang akan memiliki rasa persaudaraan yang mendalam terhadap sesama manusia, alam, dan makhluk hidup lainnya. Nilai ini melahirkan solidaritas dan harmoni yang memperkuat hubungan di antara individu dan kelompok.
Nilai-nilai ini diajarkan melalui proyek-proyek kreatif yang dirancang untuk menumbuhkan pemahaman mendalam tentang keberagaman, kolaborasi, dan persaudaraan. Melalui simulasi interaksi dan kegiatan berbasis komunitas, Komuji memastikan nilai-nilai ini dapat diinternalisasi dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Belajar, Kreativitas, dan Pentingnya Membuka Diri pada Pergaulan
Menurut Eggie, ketika ditanya mengenai fenomena orang yang ingin belajar tapi bingung harus mulai dari mana, belajar sebenarnya adalah hal yang sederhana. Namun, banyak orang memiliki anggapan keliru bahwa belajar harus selalu berujung pada kemampuan untuk langsung menguasai sesuatu. Padahal, belajar itu sejatinya adalah proses input. Manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk memproses informasi yang masuk, sehingga semakin banyak hal yang kita serap, semakin baik kita memahami dan mengembangkan diri. Salah satu cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan banyak bergaul, karena pergaulan menyediakan berbagai perspektif yang membantu kita mengembangkan pola pikir, termasuk beralih dari fixed mindset ke growth mindset. Untuk dapat bergaul dengan baik, kita perlu memiliki alat dan pemahaman yang memungkinkan kita menghargai perbedaan.
Ketika kita terbuka terhadap perbedaan, rasa percaya diri pun akan tumbuh. Dengan kesadaran bahwa setiap individu itu unik, kita bisa lebih bebas mengeksplorasi dan belajar dari berbagai pengalaman. Setiap kali kita memperluas wawasan melalui interaksi dengan orang-orang yang berbeda, kita menjadi lebih kritis dan cerdas. Kunci utamanya adalah mengubah pola pikir. Jangan tergesa-gesa ingin langsung bisa, karena itu hanya akan menciptakan tekanan. Sebaliknya, fokuslah pada proses input dan biarkan otak bekerja secara alami untuk memproses hingga akhirnya menguasai. Salah satu tantangan di dunia pendidikan kita adalah kecenderungan untuk menyeragamkan cara belajar, sehingga muncul stereotip tentang siapa yang dianggap pintar dan siapa yang tidak. Padahal, cara belajar setiap individu itu berbeda-beda. Sebagai contoh, Eggie pribadi lebih mudah belajar melalui pendengaran dibandingkan membaca buku. Meskipun hanya sedikit buku yang Ia baca, Ia memperoleh banyak pengetahuan melalui diskusi dan mendengarkan. Di era sekarang, kita memiliki banyak opsi, seperti video di YouTube, untuk menyesuaikan metode belajar dengan kebutuhan masing-masing. Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi untuk merasa terbatas. Generasi muda seharusnya memanfaatkan kesempatan ini untuk mengeksplorasi banyak hal. Pengetahuan tentang manusia terus berkembang, baik melalui ilmu tradisional maupun pendekatan baru seperti human design. Semakin kita memahami diri sendiri, semakin baik kita mengelola hidup kita. Seperti komputer canggih, manusia perlu memahami cara mengoperasikan dirinya sendiri agar tidak terjadi kekacauan. Selain itu, penting untuk menghindari prasangka atau asumsi negatif yang hanya akan membuat kita stagnan. Kreativitas, misalnya, muncul dari perbandingan antara berbagai hal yang kita pelajari. Semakin kita menyadari perbedaan, semakin kita menemukan keunikan kita sendiri. Kreativitas adalah kemampuan untuk menangkap segala hal dari perspektif baru yang belum banyak orang lakukan. Dengan begitu, tulisan, ide, atau karya kita akan memiliki nilai yang berbeda dan dianggap kreatif karena mampu menawarkan sesuatu yang segar.
Intinya, setiap orang adalah individu yang unik, dan keunikan inilah yang menjadi kekuatan utama kita. Kreativitas tidak hanya tentang bagaimana kita berbeda dari orang lain, tetapi juga bagaimana kita dapat menciptakan sesuatu yang baru dengan cara pandang yang berbeda.
Keluar dari Zona Nyaman atau Memperluas Zona Nyaman?
Zona nyaman itu seperti tempat di mana kita merasa aman dan tidak terancam, karena semuanya sudah familiar dan tidak menantang. Tapi, kalau kita cuma memperluas zona nyaman, kita sebenarnya hanya mencari orang atau hal yang sama dengan kita. Itu berarti kita nggak benar-benar berkembang, karena nggak ada banyak perbedaan yang bisa bikin kita lebih kreatif. Jadi bagi Eggie sendiri, dirinya lebih memilih untuk keluar dari zona nyaman. Kalau kita benar-benar keluar dari zona nyaman, itu berarti kita siap menghadapi hal-hal baru yang membuat kita berpikir berbeda dan berkembang. Ini yang membedakan inklusifitas dan eksklusivitas. Sedangkan dalam kelompok yang inklusif, kita membuka diri untuk menerima berbagai pandangan dan latar belakang. Tetapi kalau eksklusif, kita cenderung memilih orang yang punya pandangan sama, jadi semuanya seragam dan nggak ada inovasi. Contohnya di UKM atau komunitas tertentu, kadang ada upaya untuk merekrut anggota yang sesuai dengan visi dan ideologi kelompok, supaya pengaruhnya bisa lebih besar. Tapi kalau terlalu fokus pada kesamaan, kita malah jadi terbatas dalam berpikir. Sedangkan, dengan keluar dari zona nyaman, kita bisa memperluas wawasan, bertemu orang baru, dan belajar hal-hal yang berbeda. Ini yang bikin kita bisa lebih kreatif, karena kita jadi punya sudut pandang yang lebih kaya dan unik.Â
"Jadi, kalau mau berkembang dan lebih kreatif, nggak ada salahnya untuk keluar dari zona nyaman dan mencoba hal-hal baru!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H