Berbeda dengan penyakit MERS yang saat ini sedang mewabah di belahan bumi timur tengah yang butuh penanganan dan pencegahan dini yang cepat dan tepat, tidak demikian dengan penyakit yang berjangkit dikalangan akademisi, yaitu plagiarisme. Plagiarisme merupakan penyakit laten. Penyakit yang tidak ada obatnya secara medis, penyakit yang tidak bisa diberantas secara sporadis melainkan melalui upaya preventif yang terpadu dan sistematis dari seluruh unit sivitas akademika, bukan hanya tanggungjawab dosen, staf maupun mahasiswa itu sendiri tetapi termasuk didalamnya unit-unit pendukung seperti perpustakaan.
Perpustakaan memiliki peran yang tidak mudah, selain menyediakan sumber informasi (tercetak maupun noncetak) disamping itu juga mengawasi pemanfaatannya dengan benar dan tepat oleh pemustaka. Untuk itulah upaya sosialisasi anti plagiarisme penting dilakukan juga diperpustakaan, melalui berbagai media.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang pesat telah menciptakan dampak yang saling bertolak belakang, satu sisi memberikan kemudahan dalam mendapatkan informasi akan tetapi disisi lain menciptakan peluang generasi copas (copy-paste). Maraknya praktek plagiarisme dikalangan akademisi sudah cukup memprihatinkan, bukan hanya kalangan mahasiswa tetapi juga dosen, untuk itu perlu adanya prosedur dan sanksi yang jelas, yang mampu memberikan efek jera bagi pelaku. Maka upaya preventif, prosedur sitasi serta aspek legalitasnya perlu di sosialisasikan kepada seluruh sivitas akademik agar tidak menjadi kultur negatif yang justru merusak kualitas institusi bersangkutan dan dunia pendidikan pada umumnya, setidaknya inilah inti yang disampaikan oleh Dr. V. Henry Soelistyo Budi, SH., LL.M. dalam seminar "Plagiarism di era web 2.0 dan open access", yang diadakan oleh The Johannes Oentoro Library, UPH pada tanggal 7 Mei 2014.
Lanjutnya Bp Henry merekomendasikan upaya pencegahan plagiarisme melalui dua langkah, yaitu langkah teknis yang meliputi sosialisasi kepatuhan dalam mengutip (materi dan tata cara) serta parafrase. Dan langkah akademis dimana materi hak cipta diintegrasikan kedalam kurikulum dan komitmen nyata anti plagiarisme (SK Rektor/Dekan).
Kedua hal tersebut perlu mendapat perhatian, mengingat plagiarisme bukan hanya menyangkut norma hukum tetapi juga menyangkut pelanggaran norma etika. Plagiarisme termasuk pelanggaran hukum apabila yang diplagiat adalah karya cipta yang dilindungi hak cipta, sedangkan plagiarisme tergolong pelanggaran etika bila tanpa meminta persetujuan atau izin dari pengarang, non copyrighted works, karya public domain dan kejujuran intelektual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H