Hari itu aku sama sekali tidak mampu berkonsentrasi di kelas. Sejak bel berbunyi dan Pak Amir wali kelasku berceloteh entah mengenai hal apa, pikiranku memilih untuk terbang melayang-layang. Malam nanti, aku akan menyatakan perasaanku pada seorang cewek dari kelas sebelah yang menurutku sangat cantik.
Aku sudah melakukan PDKT dengannya selama beberapa minggu terakhir dan sepertinya responnya cukup baik. Aku menghubunginya hampir setiap hari, entah untuk sekedar menanyakan PR ataupun mengenai persiapan malam pentas seni yang akan digelar sebagai perayaan ulang tahun sekolah. Kami berdua memang tergabung dalam organisasi OSIS. Aku ada di bagian acara sedangkan dia adalah wakil ketuanya. Â
Meski upayaku minggu lalu untuk mengajaknya keluar tidak berhasil karena dia harus pergi bersama teman-temannya, aku merasa malam nanti akan berbeda. Aku mengajaknya pergi dengan dalih ingin membicarakan konsep acara pentas seni. Butuh usaha cukup keras sampai aku berhasil membujuk Deni, sang ketua panitia, untuk menugaskan Jennifer berdiskusi denganku.
Selama dua jam pelajaran pertama, aku sama sekali tidak memahami apapun yang diajarkan. Aku sempat gelagapan ketika Pak Amir memintaku menuliskan rumus trigonometri di depan kelas. Untung saja, Alya yang saat itu duduk di sebelahku sempat memberitahuku jawabannya. Tepat sesaat sebelum aku melangkah ke depan kelas.Â
"Hei, ngelamun apa sih kamu dari tadi? Mikirin Jennifer yaa.." Alya menegurku saat jam istirahat tiba.
"Ah, tidak.." Aku tetap berbohong meski aku yakin bahwa Alya tahu kebenarannya. Kami sudah berteman baik sejak awal tahun dan entah karena insting wanita atau apalah namanya, dia langsung tahu ketika aku mulai naksir Jennifer.Â
"Ah, yang benerr.." Alya menggodaku dengan suaranya yang lembut manja. Aku hanya bisa terdiam dan tersenyum simpul. "Udah ah.. Ayo kita ke kantin saja." Upayaku mengalihkan topik pembicaraan siang itu berhasil. Alya mengekorku dari belakang sambil berlari-lari kecil.
"Eh, tunggu Bona!" Itu nama panggilan yang diberikannya padaku karena telingaku lebar dan hidungku mancung.
Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melewati hari itu dengan selamat tanpa ditegur oleh guru-guru berikutnya dan akhirnya malam pun tiba. Aku sudah sampai di kafe yang kami sepakati setengah jam sebelum waktunya. Setengah jam yang benar-benar menyiksa. Jantungku terus berdegup kencang tanpa terkendali. Tanganku basah oleh keringat bercampur embun dari gelas es teh manis yang kupesan sambil menunggu dia.
Jam menunjukkan 10 menit sudah terlewat dari waktu yang seharusnya ketika aku melihat dia. Rambutnya panjang dan tubuhnya berbalut baju terusan berwarna pink setinggi lutut. Cantik sekali.. Batinku berbisik. Apakah dia sudah tahu kalau sebenarnya ini adalah kencan yang berusaha kututupi dengan kedok diskusi acara. Aku bertanya-tanya dalam hati.Â
"Hai.. Kau cantik sekali malam ini." Â