Ketika tawuran menjadi sebuah fenomena di negara ini, media pun akan terus memilih untuk fokus padanya. Â Padahal fenomena ini sudah cukup lama morat-marit di negara Indonesia. Mulai dari tawuran antar pelajar, hingga tawuran antar warga. Seluruhnya menurut saya sudah sering sekali terjadi di negara ini.
Tulisan saya ini tidak ingin menyalahkan berbagai pihak. Tulisan saya ini hanya hendak untuk membongkar, bagaimana fenomena ini bisa sering terjadi di dalam kehidupan kita. Untuk kemudian menjadi dasar pemikiran bagi seluruh elemen penting dari negara agar dapat menindaklanjuti secara serius. Â Tulisan ini saya buat berdasarkan pengalaman pribadi dan pengamatan mengenai tawuran.
Perkenalan dengan Tawuran
Saya mengenal istilah tawuran ini sejak saya duduk di bangku Sekolah Teknologi Menengah (istilah lainnya STM). Itu sudah menjadi trend yang ada sebelum di mana saya duduk di bangku STM, tepatnya pada tahun 1997. Tawuran sudah menjadi trend yang sangat kuat dan nampaknya sudah menjadi bahasa yang biasa bagi kalangan siswa SMA/STM pada saat itu.
Menurut kakak kelas yang ada pada saat itu, musuh sekolah saya ada sekolah A, B dan C. Lalu, saya bertanya kenapa bisa demikian? Kakak kelas saya menjawab, "itu merupakan dendam yang diwarisi sejak angkatan sebelumnya." "Dendam apa itu?" "Dendam di mana ada pelecehan yang dilakukan oleh sebuah sekolah ternama dan itu adalah musuh kita," jawab kakak kelas itu.
Akhirnya, dikarenakan oleh stigma yang diberikan oleh kakak kelas saya itu, maka saya pun terhanyut di dalam kebudayaan dan tradisi yang disebut tawuran itu. Tiada henti saya selalu tidak terlepas dari aktifitas tersebut. Berangkat sekolah, tawuran dan pulang sekolah pun tawuran. Bahkan ada suatu peristiwa unik yang pernah saya alami mengenai tawuran ini. Saya pernah menghabiskan satu harian untuk berkelahi dengan sekolah lain. Satu harian full, kami berkelahi dengan sekolah yang berbeda.
Saya baru berhenti meninggalkan tradisi ini setelah mengalami dua peristiwa. Peristiwa pertama, tewasnya teman saya dalam sebuah peristiwa yang mengenaskan. Kedua, di mana saya terkena sabetan benda tajam secara membabi buta di dalam sebuah bis. Kalau di tahun saya dikenal dengan istilah dibajak.
Melalui kedua peristiwa itulah saya memberhentikan aktifitas tradisi tawuran. Karena saya berpikir, bahwa jika ini diteruskan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa saya pun akan mengalami nasib yang sama seperti yang dialami oleh teman saya itu.
Usaha Sekolah dalam Memutus Tradisi Tawuran
Pada saat maraknya tawuran, sekolah tidak tinggal diam. Beragam usaha coba ditempuh untuk memutus tradisi ini. Tetapi nampaknya semua sia-sia, sehingga menurut salah seorang anggota kepolisian yang pada saat itu menangkap kami menyatakan bahwa "sekolah ini sudah menduduki peringkat ketiga dalam hal tawuran." Namanya masih remaja, kami justru senang mendengar hal tersebut.
Tetapi nyatanya, sekolah tidak menyukai itu. Usaha yang coba dilakukan oleh sekolah pertama-tama ialah menunggu siswa yang akan pulang. Beberapa orang guru ditugaskan oleh sekolah untuk menunggu siswa yang akan pulang. Mereka diberikan tugas menunggu di halte-halte bis yang sering digunakan para siswa memberhentikan bis. Lagi-lagi, usaha ini gagal. Meski ditunggu oleh beberapa guru, tawuran tetap terjadi.