Setiap negara memiliki keinginan untuk memakmurkan dan mensejahterakan kehidupan warga negaranya dalam segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, setiap negara pastinya akan melakukan pembangunan agar mampu mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Alexander (1994) dalam buku Teori dan Praktik Administrasi Pembangunan, pembangunan merupakan proses perubahan yang mencakup seluruh system sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya. Dengan demikian, makna pembangunan bukan hanya tentang infrastruktur semata, akan tetapi mencakup seluruh aspek sosial. Ginanjar Kartasasmita (1994) menambahkan, pembangunan adalah proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana.
Jika kita berbicara pembangunan, maka tak sempurna jika kita tidak membahas kebijakan, karena pembangunan sangat lekat dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Menurut Edwards III dalam buku Isu Aktual: Pengkajian Kebijakan Terintegrasi menyatakan, kebijakan public adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang dapat ditetapkan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan yang diungkapkan oleh pejabat politik dan pejabat pemerintah yang segera ditindaklanjuti dengan program-program dan Tindakan pemerintah. Menurut Edwards, kebijakan merupakan segala tindak tanduk pemerintah yang memiliki kuasa atas negara. Negara jika ingin berproses ke arah yang lebih baik, harus memiliki rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan yang terukur sesuai permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Lantas, muncul pertanyaan di benak, apakah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sudah menyentuh kesejahteraan dan kemakmuran rakyat?
Pratikno (2012) menyatakan, saat ini di Indonesia, pengambilan keputusan berdasarkan kepentingan politik dan berdasarkan kebijakan yang popular, bukan berdasarkan riset yang bisa menghasilkan kebijakan efektif dan efisien. Hal ini dipertegas oleh pernyataan Gubernur Sumatera Barat, Prayitno (2011) bahwa dalam melahirkan berbagai kebijakan, para pemimpin lebih banyak mengandalkan hasil pertimbangan semata dan tidak berdasarkan hasil penelitian (riset). Sekalipun ada, hasil riset tidak terimplementasi secara terarah. Akibatnya, kebijakan yang diambil sama sekali tidak menyentuh kesejahteraan rakyat. Dari pernyataan diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa pemerintah masih mendeskritkan riset untuk menjadi input kebijakan. Padahal riset merupakan bukti (evidence) nyata dari permasalahan masyarakat yang telah diolah secara scientist. Oleh karena itu, masih banyak kebijakan yang belum menyentuh kesejahteraan, sehingga banyak yang merugikan masyarakat.
Ketika telah mendeskritkan riset dalam input sebuah kebijakan, ditemukan bahwa pembuat kebijakan di Indonesia lebih mempertimbangkan pihak-pihak elit dalam merumuskan kebijakan. Hal ini disampaikan Nugroho (2011), kebanyakan kebijakan public di Indonesia berisikan hasil tawar-menawar atau kesepakatan elit politik daripada benar-benar mencerminkan kebijakan yang pro atas kepentingan public. Hal ini merupakan bukti (evidence) nyata bahwa policy makers di Indonesia mengesampingkan kepentingan masyarakat di level menengah ke bawah.
Dari uraian diatas, dari kurang menyentuhnya kebijakan terhadap kesejahteraan masyarakat, sehingga berdampak pada pembangunan nasional, kita membutuhkan suatu perubahan yang baru dalam perumusan kebijakan. Dengan semangat pembangunan yang dibawa dalam tulisan ini, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat harapannya akan tersentuh dengan proses perumusan kebijakan ini. Kebijakan publik sudah sepatutnya didasarkan pada bukti (evidence). Â Bukti dalam dunia akademis merupakan suatu symbol keahlian dan keadilan atau ketidakberpihakan yang dipersyaratkan untuk menghasilkan komoditas yang berharga. Dalam artian, bukti merupakan informasi yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Evidence based policy merupakan suatu kebijakan berdasarkan pada bukti (informasi actual, hasil riset, dan temuan lainnya yang sifatnya meyakinkan, teruji dan jelas) sebagai salah satu bagian utama dalam proses pembuatan kebijakan dan akan menjadi input berharga bagi para pembuat kebijakan. Supaya mampu menghasilkan sebuah bukti (evidence), diharuskan untuk mendapatkan informasi yang akurat. Informasi yang akurat memiliki akurasi tinggi dalam proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan public juga tidak boleh mendekritkan factor- factor dari segala lini kehidupan masyarakat, seperti factor politik, ekonomi, budaya, sosiologis, geografi, dan factor lainnya.
Thurlow and Dukeshire (2002) mendefinisikan tujuh metode umum penelitian dalam pembuatan kebijakan public agar mampu mendapatkan informasi akurat. Yaitu, 1) Studi kasus, dilakukan dengan melibatkan rekaman dan analisis pengalaman actual dari sebuah organisasi di sekitar isu-isu tertentu. 2) Eksperimen lapangan, untuk mengumpulkan bukti-bukti terkait dampak perubahan kebijakan utama yang potensial saat implementasinya dan untuk mengontrol serta mengevaluasi dampak perubahan kebijakan setelah implementasinya. 3) Analisis biaya manfaat, melibatkan seperangkat metode dimana peneliti membandingkan biaya dan manfaat untuk masyarakat terhadap opsi alternatif kebijakan. 4) Analisis sekunder, menggunakan data yang sudah ada sebagaimana halnya dokumen atau arsip. 5) Metode kualitatif, menggunakan data non numerik melalui pengumpulan data dan analisis data naratif. 6) Tinjauan penelitian yang telah ada, yaitu me-review  tulisan-tulisan penelitian yang telah ada dan masih relevan untuk menjawab isu-isu terkini. 7) Survei, untuk mengumpulkan data tentang isu-isu dan penyebabnya. Â
Ketika kita telah melakukan riset kebijakan, evidence tidak langsung diperoleh dikarenakan kita harus melakukan kegiatan penelitian dasar di bidang ilmu sosial (action research paradigms). Hal ini juga dikuatkan oleh pernyataan Royyani (2011) bahwa "riset dasar dan lanjutan di bidang sosial bisa menjadi dasar bagi pennetu kebijakan dalam menyusun kebijakan, yang sesuai dengan harapan masyarakat". Output dari riset kebijakan tadi akan menghasilkan temuan-temuan penelitian berdasarkan bukti (evidence), bukan berdasarkan pertimbangan atau perkiraan pembuat kebijakan saja dan juga bukan berdasarkan pada proses tawar menawar (bargaining process) diantara berbagai kepentingan elit.
Ketika bukti (evidence) telah dihasilkan dari output riset, maka diharapkan akan muncul setidaknya 3 (tiga) manfaat, diantaranya: 1) Mengatasi permasalahan public saat ini (overcoming public issues). Kebijakan berbasis bukti (evidence based policy) dapat memecahkan masalah pada inti permasalahannya, dikarenakan melakukan riset yang mendalam dan mampu mengeluarkan bukti (evidence) yang nantinya akan memberikan preferensi untuk menentukan alternatif terbaik dari banyaknya alternatif yang ada. 2) Meminimalisir kesalahan/kegagalan akan suatu pilihan kebijakan (minimizing the mistakes/failures). Kebijakan public yang dibuat harus sebisa mungkin tidak menghasilkan masalah baru yang lebih besar. Oleh karena itu, kebijakan yang telah dibuat harus bisa mengantisipasi dampak-dampak negative mengingat tantangan saat ini dan masa depan yang tidak bisa diprediksi. 3) Memenuhi kebutuhan public (fulfilling public needs). Ketika kebijakan telah memenuhi kebutuhan public, masyarakat akan mempunyai trust yang tinggi atau citra yang baik kepada pemerintah.