Setiap tahun, orang-orang Kristen merayakan Kebangkitan Yesus Kristus. Selalu jatuh pada hari Minggu, hari raya ini tidak dapat dipisahkan dari peringatan Jumat Agung beberapa hari sebelumnya.
Secara pribadi, saya selalu menganggap penyebutan hari Kebangkitan sebagai "Paskah" merupakan suatu kekeliruan. Sebab, secara historis, Paskah merupakan hari penyembelihan domba yang secara langsung adalah simbolisasi dari Jumat Agung.
Dalam konteks Indonesia, hari Kebangkitan tahun ini spesial karena bertepatan dengan peringatan hari Kartini, yang lahir pada 21 April 1879. Nama Kartini identik dengan perjuangan emansipasi wanita.
Emansipasi yang Diperjuangkan Kartini
Perjuangan Kartini acap disebut "emansipasi" alih-alih "feminisme". Dalam banyak hal, ini patut disyukuri.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan "emansipasi" sebagai "pembebasan dari perbudakan" atau "persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat". Sumber yang sama menyebut bahwa "emansipasi wanita" merupakan suatu "proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju."Â
Istilah ini mengingatkan kita kepada Proklamasi Emansipasi (Emancipation Proclamation) yang dicetuskan oleh Abraham Lincoln pada tahun 1863. Sejak terbitnya Proklamasi tersebut, semua yang berstatus budak dalam negara-negara bagian Amerika Serikat seketika merdeka dari tuannya.
Sensasi dan orientasi ini sedikit berbeda dengan feminisme. Advokasi kaum feminis didasarkan pada premis kesetaraan gender, dimana hak-hak laki-laki dan perempuan adalah setara. Secara biologis, ini tidak mungkin. Laki-laki tidak akan pernah memperoleh hak cuti hamil seperti perempuan.
Belakangan, kaum feminis liberal memperjuangkan dua kesetaraan: kesetaraan kesempatan (equality of opportunity) dan kesetaraan hasil (equality of outcome). Mereka mempermasalahkan, misalnya, mengapa kurang dari 1% wanita di dunia menempati posisi dirut (CEO) di perusahaan-perusahaan bonafid. Sekalipun akses menuju puncak telah terbuka, tetapi hukum "survival of the fittest" secara alami menghasilkan ketidaksetaraan.
Ketika membaca kumpulan surat-surat Kartini, kesan perjuangan emansipasi itulah yang didapat. Besar dalam lingkungan feodal yang mapan, Kartini tidak terlahir sebagai budak. Namun, sebagai perempuan, ia terkekang seperti budak. Kondisi ini bukan sesuatu yang baru di dunia. Kenyataannya, itu telah berlaku secara universal sejak abad pertama.