Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Maksud Anda, Yesus Tidak Mati Disalib?

19 April 2019   12:01 Diperbarui: 19 April 2019   18:55 1269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitulah pertanyaan saya untuk mengonfirmasi tuduhan bahwa Yesus, Juru Selamat bagi umat Kristen, tidak benar-benar mati di kayu salib. Katanya, seseorang menggantikan posisi-Nya.

Saya selalu terpesona dengan orang-orang yang datang dengan teori demikian. Bukan cuma sekali atau dua kali. Dan, bukan hanya orang yang kebetulan duduk di sebelah saya di dalam pesawat atau kereta, tetapi juga teman, kolega, atau mantan. Saya terpesona dengan pikiran yang begitu mudah meyakini sebuah asumsi tanpa pernah menganalisis bukti-bukti.

Isunya sama seperti pola pikir dari mereka yang meyakini bahwa pak Jokowi adalah keturunan PKI, ibunya Kristen, antek asing, memusuhi ulama, dsb. Orang-orang itu percaya hanya berdasar "katanya".

Anehnya, sindrom "katanya" ini bisa menjangkiti siapa saja; tua-muda, profesor maupun tak bersekolah. Entah sejak kapan, orang-orang malas mengumpulkan data atau mencari bukti. Pelajaran tentang metode ilmiah yang diterima di bangku sekolah atau kuliah seolah tidak relevan dalam kehidupan mereka.

Dua Uji Teori

Sebagai dosen, membaca teori-teori baru merupakan bagian dari tugas sehari-hari. Beberapa cukup meyakinkan, tetapi banyak pula yang tidak. Tugas seorang sarjana cukup sederhana: menguji teori-teori itu.

Dari pengalaman saya, menguji sebuah teori tidaklah sulit. Anda bisa menggunakan dua prinsip ini untuk menguji: prinsip korespondensi dan prinsip koherensi.

Prinsip yang pertama didasarkan pada pertanyaan: apakah teori itu sesuai dengan realitas? Dengan kata lain, apakah teori itu memenuhi hukum alam, catatan sejarah, ilmu kedokteran, hukum, psikologi, dsb.?

Prinsip yang kedua bertujuan untuk menguji integritas teori itu sendiri. Apakah seluruh aspek dari teori itu klop satu sama lain? Misalnya, apakah teori gravitasi selaras dengan gambaran besar hukum fisika? Bila dikaitkan dengan cerita, apakah sepenggal adegan selaras dengan seluruh cerita dalam novel?

Laporan Medis dan Catatan Sejarah

Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, kita sekarang dapat memeriksa, apakah Yesus benar-benar mati 2.000 tahun yang lalu.

1. Penderitaan dimulai sejak di taman Getsemani

Keempat kitab Injil (Matius, Markus, Lukas, Yohanes) menceritakan bahwa sebelum ditangkap, Yesus berdoa semalaman di taman Getsemani. Tampaknya, Ia berdoa dengan sangat gelisah. Begitu gelisah sehingga Lukas, sang tabib, menulis bahwa ketika itu Yesus berkeringat darah. Secara medis, Ia mengalami hematidrosis, kondisi dimana pembuluh darah halus pecah akibat stres dan kegelisahan yang ekstrem.

2. Dihajar selama proses interogasi

Ratusan orang yang menangkap Yesus kemudian membawanya ke pengadilan agama Yahudi. Di situ Ia diinterogasi oleh Imam Besar, ketua dari para imam setempat. Ini adalah pengadilan settingan, dilakukan pada tengah malam, dengan menghadirkan saksi-saksi palsu, tanpa pengacara.

Mencari muka, orang-orang yang menjagai Yesus mengolok-olok Dia dan memukuli-Nya (Lukas 22:63). Beberapa meludahi-Nya, menutup mata-Nya, dan meninju Dia (Markus 14:65).

Secara agama Yesus telah dijatuhi hukuman mati, tetapi orang-orang Yahudi tidak boleh mengeksekusi-Nya karena terbentur aturan pemerintah kolonial Romawi. Maka, Yesus dilemparkan ke dalam lubang penjara sampai matahari terbit.

3. Disesah

Ketika fajar menyingsing, Yesus dibawa untuk diadili pemerintah Romawi. Pilatus, gubernur kolonial ketika itu, menyuruh tentaranya menyesah Dia (Yohanes 19:1). Menyesah bukan sekadar mencambuk, sebab cambuknya berbeda.

Ujung cambuk Romawi terikat dengan sejumlah cakar dan bola-bola besi. Cakar besi dimaksudkan untuk merobek daging; bola dimaksudkan untuk meremuk tulang. Dengan cambuk itu, Yesus disesah 39 kali (40 diyakini akan menyebabkan kematian).

Pada tahun 1986, sebuah tim peneliti beranggota tiga orang, termasuk seorang ahli patologi dari klinik Mayo, mempelajari prosedur pencambukan ala Romawi dan dampaknya terhadap tubuh (Journal of the American Association, 21 Maret 1986).

Mereka berpendapat bahwa orang yang disesah akan mengalami syok (hypovolemic-shock) karena kehilangan darah. Jantung memompa lebih cepat untuk mengompensasi kekurangan darah secara ekstrem. Penderita merasakan dehidrasi akut; terjadi penurunan stamina yang signifikan.

Kita melihat efek-efek ini begitu nyata pada Yesus sehingga ketika membopong kayu salib, Alkitab mencatat, berkali-kali Ia terjatuh. Karena itu, tentara Romawi memaksa Simon dari Kirene, seorang pelintas, untuk membawa kayu salib itu ke tempat penyaliban.

4. Disalibkan, kesulitan bernapas, mati

Dalam sebuah penyaliban, setiap luka dimaksudkan untuk menimbulkan rasa sakit yang maksimal. Tim peneliti dari klinik Mayo mengatakan bahwa paku yang ditancapkan pada tangan merobek saraf ulnar (ulnar nerve) yang menyebabkan sensasi terbakar yang luar biasa di sepanjang lengan. Sensasi itu sebanding dengan memelintir saraf yang menyebabkan kejutan listrik bila siku Anda terpukul dengan tang.

Penyaliban sungguh terjadi. Ada begitu banyak sumber sejarah (di luar Alkitab) yang mendokumentasikan laporan bahwa Yesus memang disalibkan. Tidak kurang dari Yosefus (Josephus), sejarawan Yahudi abad 1; Tacitus, senator Romawi abad 1; Lusian dari Samosata, pujangga Yunani abad 2; semua merujuk kepada penyaliban Yesus dalam sejarah.

Penyaliban merupakan bentuk hukuman Romawi yang terberat dan paling hina. Begitu kejinya sehingga Cicero menyebutkan bahwa kata "salib" harus disingkirkan dari pikiran, mata, dan telinga orang-orang Romawi.

Seorang terpidana salib dikondisikan untuk mengalami siksaan yang menyengsarakan sebelum mati karena kesulitan bernapas (asfiksiasi). Berada dalam posisi tergantung membuat korban harus mendorong tubuhnya ke atas tiap kali hendak bernapas. Setiap pergerakan itu meledakkan sensasi nyeri di sekujur tubuh Yesus.

Dengan semua latar luka, memar, dan kurang tidur yang telah dialami Yesus sebelum disalibkan, maka setelah enam jam tergantung di kayu salib, Ia wafat.

Ini bukan pertama kalinya tentara Romawi menyaksikan kematian di kayu salib. Sebagai pembunuh profesional, mereka telah terlatih untuk memastikan seorang terpidana mati. Lagipula, ada sanksi yang tegas bila mereka gagal dalam misinya. Bila vonisnya mati, maka orang itu harus mati.

Maka, untuk memastikan kematian Yesus, seorang menikam rusuk-Nya dengan tombak (Yohanes 19:34-35). Mengucurlah air bercampur darah. Menurut jurnal medis, tikaman ini memecahkan kantung pembungkus jantung (perikardium) dimana telah terjadi akumulasi air.

Fakta bahwa Yesus mati tidak pernah dipertanyakan oleh semua tokoh yang terlibat pada abad 1. Terlalu besar resikonya kalau sampai mereka menyalibkan orang yang salah. Ada banyak saksi mata yang melihat langsung penyaliban itu.

Maka, secara rasional mustahil bila dikatakan bahwa Simon dari Kirene-lah yang disalibkan, atau salah seorang dari murid Yesus-lah, atau siapapun. Dan, lebih tidak rasional bila mengatakan bahwa Yesus hanya pingsan dan bernapas kembali setelah beberapa jam di dalam makam.

Jadi, teori kematian substitusi, teori kematian semu, teori halusinasi tidak lebih dari hoaks-hoaks yang tidak berdasar bukti. Teori-teori yang gagal melewati uji korespondensi dan koherensi tidak dapat dipertahankan di ruang pengadilan nalar.

Potongan Pasel Penting dalam Sejarah Umat Manusia

Kisah penyaliban Yesus adalah potongan pasel terpenting dalam seluruh rencana penyelamatan umat manusia. Dosa telah masuk ke dunia melalui Adam. Sejak saat itu, tidak seorang pun terlahir suci. Semua orang terpenjara dan diperbudak oleh dosa. Jika Anda sulit menerima kenyataan ini, lihatlah carut marut politik di sekitar kita, di negeri ini, dan di seluruh dunia.

Masalah paling mendesak yang harus diselesaikan manusia bukanlah kemiskinan, perang, inflasi, pemanasan global, perdagangan manusia, atau hoaks. Semua krisis ini bersumber dari natur manusia yang telah berdosa sejak lahir. Kecuali persoalan internal dosa yang universal dapat diselesaikan, maka semua paket kebijakan terbaik yang dihasilkan PBB akan sia-sia.

Celakanya, hukuman dosa adalah maut di neraka. Di sinilah signifikansi kisah penyaliban Yesus.

Yesus adalah sang Firman (Kalam) Allah yang turun ke dunia mengambil wujud manusia. Misi-Nya: menggantikan hukuman bagi umat manusia yang tervonis maut. Dibutuhkan sosok sekaliber Allah yang tidak berdosa untuk menggantikan orang berdosa, dan dibutuhkan sesosok manusia untuk menggantikan sesama manusia. Hanya Yesus yang memenuhi kedua syarat itu.

Peringatan Paskah tahun ini istimewa karena berdekatan dengan penyelenggaraan Pemilu. Kita telah melihat bagaimana hoaks telah menimbulkan banyak kemelut dan memecah persaudaraan di antara sesama anak bangsa. Kita telah melihat bahwa peristiwa Paskah adalah fakta sejarah yang berdasar bukti. Maka, marilah kita belajar untuk tidak menebar hoaks lagi.

Yesus, terlahir Yahudi, mati untuk semua manusia. Karenanya, sangat rasional bila pengikut-Nya, terlahir dari suku apapun, terpanggil untuk melayani sesama anak negeri tanpa memandang latar agama, suku, warna kulit, bentuk mata, status sosial, pilihan presiden, atau konsensus-konsensus sosial lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun