Mungkin karena mulai mengerti intrik politik, atau atas bisikan orang-orang dekat, Sultan HB V cenderung bermain aman. Ia tidak menentang penjajah, malahan lebih suka mengurusi hal-hal seni dan budaya. Selain menggelar sejumlah pertunjukan wayang orang, HB V sendiri mencipta beberapa jenis tarian; salah satunya tari Serimpi. Tentu, ini bukanlah hal yang buruk.
Namun, ternyata sebagian besar rakyat, dan kalangan keraton, menilai Sultan mereka lembek dan takut kepada Belanda. Lagipula, tubuhnya yang tambun mengesankan kegemaran berfoya-foya dan tidak peduli rakyat. Pelan-pelan dukungan mengalir kepada Gusti Raden Mas Mustojo, adik kandung sang Sultan.
Dua dekade memerintah, kemelut istana semakin meruncing. Pada tanggal 5 Juni 1855, Sultan HB V ditemukan tewas tertikam di dalam keraton. Tahun yang sama Pangeran Diponegoro wafat di Makassar.
Rakyat geger. Desas-desus beredar bahwa pelakunya tidak lain adalah Kanjeng Mas Hemawati, selirnya yang paling disayang. Orang-orang pun mencibir, "wereng saketi tresno" (mati di tangan kekasih).
Lantas, bagaimana nasib sang Permaisuri? Miris; ketika suaminya terbunuh, ia justru sedang hamil tua. Dan, rupanya, naas terus mengikuti. Pasca lahirnya putra mahkota, justru Raden Mas Mustojo dinobatkan sebagai Sultan HB VI.
Pada mulanya disepakati, bila Pangeran Gusti Timur Muhammad sudah siap memimpin, maka akan dilangsungkan peralihan kekuasaan. Namun, janji tinggal janji. Begitulah sifat orang yang sudah mencicipi kekuasaan. Tepatlah peringatan dari Lord Acton: "Power tends to corrupt". Sepeninggal wafatnya HB VI, yang naik tahta adalah putranya sendiri, yaitu Gusti Raden Mas Murtejo, yang kini bergelar Sultan HB VII.
Tentu, sang ibu suri berang. Gusti Timur Muhammad-lah seharusnya pewaris tahta. Namun, penguasa sudah mengantisipasi. Keduanya dibuang ke Manado, hingga akhir hayat mereka. Tragis.
Di Bumi Nyiur Melambai, Sekar Kedaton dan putra semata wayangnya bermukim di daerah Pondol. Dulu, daerah ini berada di pesisir pantai. Setelah reklamasi, Pondol terletak di pusat kota Manado, dan lazim disebut Keratonan. Di situ terdapat Masjid Al Muttaqin, masjid tertua di Manado.
Akhir kisah, sang Permaisuri ditinggal mati putranya lebih dulu. Sang putra mahkota meninggal dalam usia terbilang muda, 45 tahun. Untung, ia sempat melanjutkan keturunan.
Putranya, Abdul Razak (Radjab), akhirnya bisa kembali ke Jawa pada tahun 1940. Namun, selamanya ia dan keturunannya dilucuti dari gelar Sultan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H