"Laki-laki lemah adalah masalah."
Kelemahan yang saya maksud tentu bukan soal kecacatan secara fisik, melainkan secara mental. Laki-laki lemah tidak dapat memegang tanggung jawab atau janji. Manusia semacam ini akan menjadi beban bagi masyarakat. Jika seorang tidak dapat menanggung dirinya sendiri, maka orang lain harus melakukannya.
Akhir-akhir ini saya melihat banyak laki-laki kehilangan maskulinitasnya dan menjadi laki-laki lemah. Mereka adalah laki-laki yang selalu menghindari konflik, tidak dapat mengambil keputusan, lenient, happy-go-lucky, selalu menyalahkan situasi, selingkuh dan abusive. Angka perceraian di Sulawesi Utara pada tahun 2018 yang lalu mencapai 1.706. Alasan klasik perceraian, yaitu tidak terpenuhinya kebutuhan batin dan perselingkuhan, mengindikasikan satu hal: banyak laki-laki lemah.
Contoh populer terbaru yang dapat saya berikan adalah seorang laki-laki tua yang mengancam akan menggerakkan "people power". Bah!
Ancaman ini berasal dari orang yang sama yang pernah bernazar akan berjalan kaki dari Yogyakarta ke Jakarta jika Joko Widodo terpilih menjadi Presiden RI pada 2014 yang lalu. Sampai pak Jokowi hampir purnabakti dari periode pertamanya, orang itu tidak kunjung melaksanakan janjinya.
Kaum feminis akan dengan senang hati mengangkat kasus ini sebagai bukti bahwa ambisi maskulin hanya membawa bahaya bagi seluruh masyarakat. Maka, sifat agresif dan ambisius laki-laki harus direduksi demi keberlanjutan (sustainability) masyarakat.
Bila Maskulinitas Direduksi
Agresi, kekerasan, ambisi yang tak terkendali sering sekali dikorelasikan dengan gejala "maskulinitas berlebih" (over-masculinity). Orang Batak menyebutnya "sipanggaron". Untuk meredam gejala ini, laki-laki harus dibuat kurang maskulin. Dengan kata lain, laki-laki harus dibuat lebih feminin sejak kecil.
Sekolah-sekolah internasional banyak mengadopsi paradigma pendidikan dari Amerika yang telah diresapi prinsip kesetaraan gender. Guru-guru yang diimpor atau lulus dari sana meyakini hal ini: laki-laki dan perempuan setara dalam segala hal. Para orang tua harus mewaspadai hal ini.
Di negara penembakan massal itu, anak-anak laki-laki selalu dicap sebagai "biang kekerasan". Karena itu, mereka diajar untuk lebih halus, berperasaan, dan tidak malu untuk mengambil peran-peran tradisional perempuan. Permainan "dodgeball" dilarang di sekolah-sekolah karena dianggap mengajarkan kekerasan. Kepada mereka diajarkan bahwa hasrat untuk berkompetisi adalah sesuatu yang buruk.
Solusi ini tidak hanya salah tetapi berbahaya. Salah karena logikanya, laki-laki akan menjadi baik bila mereka berhenti menjadi jahat. Laki-laki jahat tidak akan menjadi baik bila mereka berhenti menjadi laki-laki. Berbahaya karena menghilangkan sifat maskulin dari laki-laki hanya akan menimbulkan kekacauan yang baru.