Manalah mungkin aku melupakan namamu sebagai bank pertama yang kukenal. Orang-orang di perumahan kami dulu menyebutmu: Be-Te-En. Lokasimu di jalan Merpati dekat sebuah pasar yang becek sepanjang tahun.
Alasan yang membuat asosiasiku terhadapmu sangat positif adalah karena biasanya setelah mamakku menyetor uang, aku boleh minta dibelikan jajanan pasar.
Waktu aku mengatakan "menyetor uang," itu artinya membayar cicilan Ka-Pe-Er. Mamakku pernah bilang, tanpa Be-Te-En, tak mungkin kami bisa punya rumah. Dengan otak anak SD waktu itu tentu aku belum mengerti apa itu Ka-Pe-Er, apalagi hubungan cinta segitiga antara Be-Te-En, Ka-Pe-Er, dan rumah kami. Namun, setelah mengamati logo dirimu yang berbentuk rumah, aku sedikit menangkap maksudnya.
Apakah telah kukatakan bahwa Bank Tabungan Negara adalah bank pertama yang kukenal? Itu karena BTN adalah satu-satunya bank di seluruh perumnas itu. Ini adalah sebuah prestasi tersendiri.
Seharusnya tidak ada bank yang berani membuka cabang di ghetto kami yang sarat preman pada masa itu. Jadi, bila aku membuka tabungan pelajar pertama dan terakhirku di Be-Te-En, itu karena aku percaya simpanan uang sakuku terjamin olehmu.
Aku mungkin kurang jujur. Manalah mungkin seorang anak SD sudah berpikir tentang faktor jaminan dana nasabah ketika ia membuka tabungan. Yang benar, aku menabung di Be-Te-En karena aku suka dengan kakak perempuan di balik tembok kayu yang disebut teller itu.
Dengan tampilan yang selalu elegan dengan rambut bak pramugari Garuda, kakak itu seperti bunga tulip di pasar yang becek.
Aku masih ingat rasanya ketika tiba waktunya aku mengambil buku tabungan pelajarku yang sudah jadi. Perasaan yang sama hanya dapat dibandingkan dengan momen mengambil buku rapor. Deg-degan, tetapi segera pecah menjadi senyum gembira.
Mempunyai buku tabungan sendiri bagi anak SD rasanya seperti tiba-tiba menjadi orang dewasa. Ditambah, hal yang paling menghangatkan hati adalah mengetahui bahwa aku diperlakukan bukan sebagai statistik atau nomor rekening. Kakak teller BTN itu melihatku sebagai seorang pribadi.
Ah, waktu begitu cepat berlalu. Bunga tulip melayu, sementara aku menuju mekarnya.
Sebagai mahasiswa di Jawa---istilah yang membingungkanku setiap kali orang-orang Jakarta menyebut pulang mudik sebagai "pulang ke Jawa" seakan-akan Jakarta bukan bagian dari pulau Jawa---aku terpisah dari rumahku dan dirimu. Jarang kutemukan dirimu di kota yang baru, terlebih di sekitaran kampus. Mungkin karena mahasiswa yang masih terjebak dalam euforia idealisme belum tertarik dengan hal-hal praktis bagi masa depan seperti rumah. Ah, sayang.