INTRO
Cerita selalu berawal dari sebuah awal, disinilah awal yang membawa awal:
Dulu adalah Mas Gilang, salah seorang tim KKN UGM di dusun tempat saya tinggal (Kenteng, Botodayaan, Rongkop, GK). Masih saya ingat beliau setiap sore mangajak saya dan teman-teman saya yang masih SD bermain dan belajar. Beliau sering harus kerepotan karena saya yang "penakut" dan "pemalu" dan cenderung ketinggalan baik ketika belajar atau bermain.
Pernah juga ketika Sekolah Minggu seorang kakak meminta saya menulis doa di atas selembar kertas, tetapi saya malah menangis karena tidak bisa menulis dan bilang: "Mbak kula mboten saged".
Dulu juga saya sering melihat penunjuk jalan yang "tiba-tiba" saja ada di pertigaan dan perempatan di di Desa saya. Dengan bingung saya memperhatikan dan membaca tulisan: "KKN PPM UGM". Rasanya tidak asing, karena walalupun tidak setiap tahun, tetapi plang itu ada lagi di selang beberapa tahun berikutnya.
Kala itu saya tidak tahu siapa mereka, tapi saya menganggap dan memanggilnya sebagai Pak dan Bu Guru, karena beliau-beliau dekat dengan Guru-guru SD tempat saya belajar.
Hingga akhirnya sekarang saya tahu, bahwa mereka adalah inspirasi dan yang mereka lakukan dahulu adalah yang saya lakukan di Pulau Rote beberapa waktu yang lalu, dimana saya juga dipanggil Pak Guru.
Dan sekarang saya sadar bahwa kita ada untuk menerima yang akhirnya apa yang kita terima adalah yang akan kita berikan nanti. Mimpi yang ditularkan dan yang kemudian kita tularkan, dan saya adalah bagian dari fase yang saya sebut keberuntungan dapat mengabdi di batas negeri.
Dan disanalah akhir yang tidak berakhir, dimana generasi penerus memeluk mimpi yang kita wariskan.
***
Tim KKN
Pengabdian adalah sebuah pengalaman mengabdikan ilmu dan pelajaran hidup kepada masyarakat. Dalam pengabdian selalu ada feedback yang diperoleh oleh mahasiswa yang melakukan pengabdian, yaitu sebuah pengalaman menimba ilmu dan pelajaran hidup yang kelak akan dibawa dan menjadi bekal mahasiswa tersebut ketika masuk ke dalam dunia karir.
Tim KKN PPM UGM NTT 05 adalah tim yang diinisiasi oleh 25 mahasiswa yang terdiri dari berbagai jurusan dan fakultas di kampus tercinta Universitas Gadjah Mada yang dibentuk selama kurang lebih hampir satu tahun sebelum pendaftaran KKN PPM UGM dimulai. Diawali dengan pertemuan melingkar di sayap barat GSP dan diikuti dengan rapat-rapat yang menguras tenaga dan pikiran demi mengejar dua kata yang selalu memotivasi kami kala itu: “hibah dikti”. Tidak segan-segan slogan kami saat itu adalah “seratus juta”, sebuah kebersamaan dan ikatan batin serta emosional sebagai keluarga mulai terbentuk saat itu.
Sudah tidak ada lagi gengsi diantara kami, modal keterbukaan menjadikan kami mampu untuk saling memahami dan menjaga hati serta hubungan persaudaraan kami.
Sungguh bukan sebuah keluarga jika tidak ada konflik di dalamnya, begitu juga tim KKN PPM UGM NTT 05 ini. Konflik internal, baik karena perbedaan pola pikir dan pemetaan sebuah konsep atau gagasan kadang menahan senyum kekeluargaan kami. Konflik yang terjadi kadang telah sampai pada batas yang mampu membuat pribadi kami menangis. Akan tetapi, rasa kekeluargaan yang saling melengkapi dan kata “mendengar” serta “menghargai” menjadi pemersatu kami.
***
Survey
Penentuan program telah selesai kurang lebih pada bulan Desember 2013. Kami memutuskan untuk melakukan survey ke Pulau Rote yang diwakili oleh empat orang sebagai utusan. Hingga akhirnya saya adalah satu dari empat orang yang mendapatkan amanah untuk melakukan survey ke Kelurahan Londalusi, Kecamatan Rote Timur, Kabupaten Rote Ndao.
Pada bulan Januari selama dua puluh hari kami melakukan survey dengan metode door to door, come to people dan come to government. Sebagaimana sebuah perjalanan yang pasti ada hambatan dan rintangan, kami pun memperoleh hambatan yang membuat kami menjadi harus lebih menguras tenaga. Di awal keberangkatan, kami sempat tertunda tiga hari di Kupang karena gelombang tinggi dan BMKG melarang semua kapal untuk tidak berlayar. Pada akhirnya KM Awu menjadi tumpangan kami di hari sabtu yang sepoi-sepoi dan menjadi malam minggu perjalanan Kupang-Rote yang diombang-ambingkan gelombang selama kurang lebih 6 jam di atas kapal di selat Fuku Afu yang lebih dikenal sebagai “selat pencabut nyawa”.
Ketika survey tidak lepas kami dari hambatan, terutama kesehatan yang menurun drastis karena perubahan cuaca yang mendadak. Sehingga selama satu minggu pertama saya melakukan survey dengan memforsir tenaga supaya memperoleh data yang benar-benar diinginkan oleh tim.
Ketika pulang, kapal tidak lagi berlayar dan hal ini mengancam jadwal kepulangan kami. Akan tetapi kerjasama dengan TNI AD membuat kami menerima kehormatan memperoleh tumpangan Kupang-Rote dengan menggunakan pesawat CASA TNI.
***
Hibah DIKTI
Pebuah cerita kebersamaan yang disertai konflik serta rintangan telah memberikan buah manis bagi kami dan kembali membuat kami menangis bahagia ketika kami membaca pengumuman hibah dikti, ya kami lolos hibah dikti. Slogan “seratus juta” untuk Rote benar-benar terwujud, sebuah kesempatan yang luar biasa dari Tuhan karena telah diberikan kesempatan mengabdi di pulau paling selatan Indonesia.
Tuhan selalu memberikan kesempatan yang indah kepada hamba yang benar-benar tulus melayani, niat kami tidak hanya berakhir pada hibah dikti, tetapi juga telah memperoleh dana BOPTN dari LPPM UGM.
Ketika mendekati pemberangkatan berbagai proses pematangan program dan rundown serta segala sesutau yang menyangkut program kami lakukan. Proposal hibah dikti dan BOPTN adalah pintu kami dalam melakukan pengabdian, dan setelah itu pengabdian yang sesungguhnya baru akan dimulai.
Tidak hanya hubungan antara mahasiswa dan masyrakat yang terjalin baik selama kami disana, terlaksananya program kami tidak lepas dari pihak TNI yang selalu memberikan support dan bantuan-bantuan berupa pengawalan dan banyak hal yang tidak dapat disebut satu persatu. Istilah “TNI manunggal rakyat” sering saya dengar dan baca dari buku sejarah, tetapi di KKN ini kalimat tersebut benar-benar saya alami dan saya rasakan.
***
Perempuan kecil di kapal Ferri
Rasanya baru kemarin saya bercengkerama di lantai satu Kapal Ferri Kupang-Rote, bersama penjual makanan, penjual mainan dan juga kacamata. Di atas kapal itu seorang anak perempuan kecil menatap saya dengan penuh rasa ingin tahu, saya berikan senyum sapa saya, tetapi anak itu memalingkan muka. Saya sapa kembali anak itu, hingga akhirnya sapa saya berbalas dengan tangan kecilnya yang memberikan sejumput permen ke telapak tangan saya. Dia bernama Putri dari Pulau Rote, senyumnya adalah senyum selamat datang yang selama dua bulan selanjutnya adalah senyum yang tidak akan hilang.
***
Be pung
Satu kebiasaan anak-anak yang sejak pertama mendapat perhatian dari saya adalah anak-anak selalu mengklaim apa yang mereka peroleh dari tim KKN adalah milik personal dan tidak boleh untuk dibagikan, walaupun itu adalah permainan yang dilakukan bersama. Anak-anak selalu menggunakan kata-kata “be pung” (beta pung)= beta punya= saya punya. Sehingga kadang hal tersebut menjadi kendala bagi kami untuk mengenalkan sebuah kebersamaan dan kerjasama serta saling mengasihi kepada mereka. Berlatar belakang hal tersebut, saya berinisiatif untuk membuat kerajinan yang itu membutuhkan kerjasama dari mereka.
Saya kemudian memutuskan membuat kerajinan layang-layang, dimana saya membuat kerangka dan anak-anak menutupinya dengan plastik, memberikan ekor, sampai pada penerbangan. Jumlah layang-layang yang dibut sengaja satu buah, supaya mereka memilikinya secara bersama. Hingga akhirnya momen tersebut benar-benar terwujud, anak-anak akhirnya membuat layang-layang dan membagi tugas di antara mereka.
Ketika layang-layang siap diterbangkan, anak-anak membawanya secara bersama-sama dan menerbangkannya secara bersama-sama. Mereka akhirnya mau untuk bergantian menerbangkan layangan, sehingga keakraban terbentuk disela-sela gelak tawa riang mereka. Layang-layang yang sempat putus mereka kejar bersama-sama dan mereka terbangkan lagi, bahkan anak-anak yang pada awalnya bermain bola mengerubungi layang-layang sambil bilang “gagah-gagah sekali”. Disinilah arti kebersamaan, bahkan tidak sampai disitu, layang-layang disimpan di pondokan kami dan anak-anak setiap siang datang dan meminjamnya secara bersama-sama dan memainkan bersama-sama lagi.
Hal tersebut sama halnya dengan kincir bambu, mereka bermain secara bergantian dan mereka minta diajari cara membuat, dengan senang hati saya mengajari mereka cara membuat dan membagikan pada mereka cara membuat sentlup. Hingga akhirnya adalah gelak tawa di bawah pohon petai Cina yang membuat kami menjadi seperti keluarga.
***
Ita Esa
Ketimpangan pendidikan yang membuat anak-anak Tanjung malu untuk bergaul dengan anak-anak Papela bagian atas. Sudah hampir penarikan dan kami belum bisa mempersatukan mereka. Hingga akhirnya pada Kelas Harian terakhir kami lakukan di Batu Puluh di daerah Tanjung dan mengajak semua anak-anak baik Papela bagian atas maupun Tanjung untuk datang, karena itu adalah kelas Harian terakhir.
Ketika Kelas Harian yang rencananya akan diisi dengan bermain bersama sebagai perpisahan menjadi agak terhambat karena anak-anak Tanjung yang malu. Akhirnya kami meminta anak-anak untuk memberikan kesan dan pesan selama Kelas Harian berlangsung, dan tulisan mereka yang lucu-lucu membuat kami tertawa kecil dan sambil bangga karena mereka menjadikan kita sebagai motivasi untuk sekolah ke pendidikan yang lebih tinggi. Kemudian saya membawa kincir angin bambu yang dilengkapi dengan “bukung” sebagai navigasi angin yang dilengkapi dengan bendera merah putih. Saya bawa kincir tersebut dan meminta kerjasama anak-anak Tanjung serta Papela untuk mendirikan secara bersama-sama di laut yang tengah surut.
Kemudian kami mengajak anak-anak untuk upacara bendera bersama-sama. Sambil menyanyikan Indonesia Raya dengan kepala menengadah dan tangan memberikan hormat kepada Sang Saka Merah Putih, untuk pertama kalinya anak-anak Tanjung dan Papela bernyanyi dan berdiri berdampingan. Saya menjadi pemimpin upacara dan sambil menahan air mata kami menyanyikan Indonesia Raya, sebuah akhir yang indah dari kami dan sebuah awal yang berharga bagi anak-anak Tanjung dan Papela untuk dapat berdampingan setelah kami tinggal. Akhirnya, tepat ketika matahari tenggelam, anak-anak Tanjung meminta supaya kincir beserta bukung dan benderanya ditinggal sebagai kenang-kenangan bagi mereka disana. Kami mengiyakan dan anak-anak Tanjung memindahkan kincir ke bagian agak ke tengah laut, sehingga selain menjadi sebuah kenang-kenangan juga menjadi penunjuk arah angin bagi nelayan Tanjung. Momen ini dapat dilihat di officialvideo KKN PPM UGM NTT 05 di Youtube.
Saya dahulu juga merasakan hal yang sama, saya banyak mendapatkan inspirasi dari seorang Kakak KKN UGM yang bernama mas Gilang, mas Gilang mengajarkan saya bermain monopoli, memasak, membuat kerajinan. Dan disinilah saya juga menjadi seorang mahasiswa Gadjah Mada yang dituntut untuk menginspirasi anak-anak yang kelak menjadi generasi pemimpin di masa mendatang.
Ketika kecil saya besar di desa dan jauh dari kemajuan kota, tidak ada mainan plastik yang saya punya, dan setiap hari saya selalu naik gunung turun gunung, bermain layang-layang, bermain kincir, mencari sarang burung, dan banyak hal lain, codet-codet di kaki saya adalah bukti bahwa saya adalah seorang anak gunung. Ketika kuliah saya bertanya dalam hati, kenapa saya tidak seperti anak-anak lainnya yang berasal dari kota yang mapan dan dengan segala ketersediannya membuat mereka sudah paham teknologi sejak kecil. Dan di KKN inilah saya menemukan jawabannya, ya saya disiapkan untuk menjadi salah seorang mahasiswa yang memperkenalkan permainan gunung saya di Pulau Rote, dan saya tidak malu untuk melakukan itu. Pengalaman masa kecil yang dengan senang hati saya bagikan kepada anak-anak di Dusun Papela, sebuah kenangan yang tidak akan pernah terlupakan, karena pengalaman adalah guru terbaik. Dan saya berharap mereka suatu saat nanti mengenakan jas almamater berwarna tanah milik UGM dan berharap mereka menjadi sumber inspirasi di masa ketika mereka tumbuh dan dewasa.
Di selatan katulistiwa mereka, merengkuh merah putih di segitiga layar kapal
Membawanya turun ke kedalaman samudera laut selatan
Napas ditahan untuk mencapai kedalaman samudera
Kedalaman akan keyakinan bahwa mereka masih Indonesia
Bukan hanya sekedar lagu kita satu
Ita esa kata mereka
sajak nasionalis lekat di hati mereka
Hitam mereka memberikan warna latar yang sempurna untuk Indonesia
ITA ESA-ROTE NDAO
***
“Cogito Ergo Sum”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H