Perjalanan ini kutulis untuk mengenang pendakianku di akhir tahun 1997. Saat itu aku dan 2 orang temanku yaitu Chandra Magga dan Bambang Heriyanto merencanakan pendakian ke daerah Jawa Tengah. Kitapun sepakat memilih Gunung Sindoro. Perjalanan dimulai dari kota Serang-Banten menuju Jakarta via kereta api. Lalu lanjut ke Jawa Tengah dengan cara hitchhiking (numpang truck). Saat itu istilah backpacker belum begitu tenar seperti sekarang. Jadilah kami backpacker plus mountaineer. Hingga akhirnya setelah melewati perjalanan selama 2 hari kami sampai di kota Wonosobo dengan perjuangan yang cukup melelahkan.
****
Matahari memancarkan sinar orange saat kami menginjakan kaki dikota Wonosobo. Kota kecil nan asri dikelilingi 2 gunung berketinggian diatas 3000 mdpl membuat kota ini sejuk nan dingin berada diatas ketinggian 700 mdpl. Segera kami menuju warung makan untuk mengganjal perut yang keroncongan. Sore ini kamipun mendapat kenalan orang Wonosobo dan orang Baduy yang merantau kesana. Aku lupa namanya.
Selepas sholat maghrib di Masjid Agung Wonosobo kami menuju alun-alun kota Wonosobo untuk bermalam dan mendirikan tenda dome. Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing terlihat jelas dari alun-alun ini. Dan kamipun terlelap dalam mimpi indah akan kisah petualangan kami esok hari.
Kamis, 18 Desember 1997
Hari ini kami melanjutkan perjalanan menuju Dataran Tinggi Dieng. Tepatnya desa Kejajar Dusun Sigedang. Sebuah desa yang dipenuhi perkebunan teh yang dikelola oleh PTPN. Turun di pertigaan desa kami lanjutkan dengan berjalan kaki menuju Desa Sigedang yang berada diatas gunung. Setelah kira-kira 3 jam tekking kami sampai didesa terakhir. Desa Sigedang. Kami langsung menuju sebuah mushollah ditengah desa. Disana kami berkenalan dengan warga setempat. Namanya Sarodin. Kami diajak makan bersama dirumahnya. Lauknya nasi jagung dengan sayur daun urang aring. Wow sungguh pengalaman yang sangat berkesan.
Selepas sholat Maghrib kami diantar Sarodin menuju rumah Ibu Lurah. Lho, pak lurahnya kemana? Ternyata disini yang menjadi lurah adalah perempuan. Jadi tidak ada Pak Lurah..hehe.. Kami berbincang sejenak dengan Ibu Lurah yang sangat ramah menjamu kami sebagai tamunya.
Ba'da Isya kami mulai mempersiapkan pendakian menuju puncak Sindoro.Setelah pamit kepada Sarodin dan keluarganya kami menusuri jalan aspal hinggal ujung desa. Udara sangat dingin. Diselimuti kabut yang tebal. Menembus malam. Membelah perkebunan teh. Jari-jari tangan terasa membeku. Padahal sudah kami lindungi dengan sarung tangan yang sengaja kami beli di desa Sigedang.
Malam semakin larut. Kabut semakin menutupi jarak pandang kami. Udara dingin menggigit kulit kami. Menerobos melewati pori-pori pakaian yang kami pakai. Awalnya kami melewati perkebunan the. Semakin keatas kami melewati hutan terbuka yang ditumbuhi pohon pinus. Beberapa kali kami berhenti sejenak mengatur napas. Semakin lama kami berhenti, udara dingin semakin menyerang kami. Oleh karena itu kami hanya istirahat tidak lebih dari 5 menit setiap berhenti.
Jum'at, 19 Desember 1997
Setelah mendaki selama 5 jam, sinar orange mentari di ufuk timur mulai tampak. Jalur pendakian semakin landai. Pertanda Puncak Sindoro sudah dekat. Saat kami istirahat sejenak, kami menoleh kebelakang. Subhanallah...tampak sebuah pemandangan yang sangat indah. Pegunungan Dataran Tinggi Dieng yang diselimuti awan dan kabut. Kami seperti diatas awan. Daengpun mengbadikan pemandangan ini dengan kamera pocket. Aku, Daeng Chandra dan Bambang 'Roleng' Hariyanto istirahat cukup lama untuk menikmati keindahan alam ini.