Berawal dari ajakan sahabatku Ahmad Faiqi yang sekarang menjadi anggota Wanadri, untuk berlebaran di kampungnya di Bulak Waru - Tegal, 14 tahun yang lalu tepatnya bulan Februari 1997. Setelah 3 hari kami di Tegal terbesit keinginan secara tiba-tiba untuk melakukan pendakian ke Gunung Slamet. Karena pemandangan gunung ini sungguh indah terlihat dari Tegal.
_______________________________________________________________________________________
Kamipun mulai melakukan persiapan. Kami mengajak serta keponakan Faiqi yang masih kelas 2 SMP namanya Parto. Setelah habis sholat Jum'at perjalanpun dimulai dengan hichhicking menuju Purwokerto. Lalu disambung ke Purbalingga hingga akhirnya kami sampai juga di Desa Bambangan. Desa terakhir menuju pendakian.
Malam di dusun Bambangan. Sunyi & gelap. Maklum disini tidak ada listrik. Kami istirahat di rumah Pak Muheri selaku kuncen (juru kunci) Gunung Slamet yang rumahnya dijadikan pos pendakian. Para pendaki wajib mengisi buku tamu sehingga semua pendaki yang melakukan pendakian terdata. Ini dimaksudkan untuk mengantipasi apabila terjadi musibah seperti pendaki yang tersesat di hutan.
Kami banyak bertemu dengan para pendaki dari Pulau Jawa. Dan ada juga yang dari Kalimantan & Sulawesi. Mereka semua membawa alat-alat pendakian cukup komplit seperti tenda dome, kompor gas mini, tas carrier dll. Hanya grup kamilah yang minim perbekalan dan perlengkapan. Tas yang kami pakaipun hanya sebuah daypack. Peralatan tenda dan kompor gas tidak kami bawa. Yang kami bawa hanya tekad yang membara untuk menggapai puncak Slamet.
Disini kami berkenalan dengan grup dari Jakarta. Mereka bertiga juga. Karena ada peraturan tidak boleh tim kurang dari 6 orang akhirnya grup kami gabung dengan mereka. Jadilah kami sekarang berenam. Dan kamipun sepakat untuk mendaki mulai jam 10 malam. Tenaga kami bertiga mungkin sudah terkuras selama hichhiking dan tracking hingga sampai dusun Bambangan ini. Kami bertiga masih meluruskan otot yang menegang sambil tidur-tiduran. Untuk makan disini pakai ala prasmanan. Ambil sendiri dan dijamin murah. Makan pakai daging ayam saat itu hanya Rp 2000.Padahal harga sebungkus nasi plus daging ayam di Jakarta sekitar Rp 4500 saat itu.
Pukul 23.00 tepat kami berenam berpamitan dengan Pak Muheri untuk melakukan pendakian. Kabut menyelimuti kampung. Gelap gulita. Yang ada hanya lampu tempel yang terbuat dari kaleng yang diisi minyak tanah. Kami mendaki jalan yang masih beraspal hinggal ujung. Di ujung jalan aspal terdapat sumber air. Kamipun mengisi air ke dalam botol air mineral yang sudah kami persiapkan. Disinilah perbatasan antara kampong dengan perkebunan. Setelah itu kami melewati jalan setapak yang basah oleh gerimis yang turun malam itu. Dari keremangan malam kulihat tanaman kol, bawang dan kentang menghiasi pinggir jalan setapak. Setelah sejam kemudian barulah kami memasuki hutan yang berkanopi. Kami sudah tidak melihat langit yang gelap lagi. Semuanya tertutup oleh pohon besar. Jalur semakin menanjak. Sesekali kami temui jalur tangga alami dari akar pohon yang besar. Semakin lama tenaga kami mulai habis. Rasa ngantukpun mulai mendera sebagian pendaki. Akhirnya jam 1 malam kami sepakat untuk berhenti dan istirahat. Kamipun mencari tempat yang layak untuk tidur. Dan diantara pohon-pohon randu kami membuka kantung tidur. Dan kamipun terlelap dalam tidur panjang.
****
ESOK HARINYA.PAGI NAN DINGIN menusuk tulang sumsum. Satu persatu kami terbangun. Kompor gaspun kami nyalakan untuk memasak kopi dan menghangatkan tangan yang membeku. Setelah sejam kami menyeduh kopi dan merokok tenaga kamipun mulai pulih. Dan kamipun mulai melanjutkan pendakian lagi.
Hutan gunung slamet banyak tumbuh pohon pinus. Kanopi hutan terbuka. Sinar mentari menyapu lantai hutan. Diketinggian 2700 mdpl kami menemui hutan yang terbakar. Cukup luas. Entah berapa hektar. Dijalur ini kami duduk sejenak merenggangkan otot-otot kaki sambil makan indomie kering. Burung jalak menghampiri kami. Meminta sedikit makanan yang kami makan. Di bawahnya pemandangan kota Purbalingga dan Laut Jawa terlihat indah. Udara dingin walau terik matahari terasa membakar kulit ini.
15 menit berlalu, kami melanjutkan pendakian. Tak terasa puncak sudah didepan mata. Kami sudah berada di pos Samaranthu sekitar pukul 8 pagi . Disini perbatasan vegetasi dengan batuan. Pendakian puncak berbatu ini harus hati-hati karena banyak batuan yang mudah longsor. Ditambah lagi dengan badai angin yang saat itu melanda sebagian besar gunung-gunung di Jawa Tengah membuat pendakian ini sungguh melelahkan.