Kita sering kali kesusahan dalam mengungkapkan perasaan, pikiran dan pengalaman-pengalaman diri kepada orang lain dengan baik. Padahal, kita membutuhkan untuk bisa mencurahkan hasrat-hasrat tersebut, namun kita tidak bisa mengendalikannya. Tidak jarang kita diselimuti perasaan takut akan penilaian orang lain atas pengungkapan kita, khawatir dengan respon orang lain yang tidak diinginkan, tidak tahu harus memulai dari mana dan bagaimana harus mengungkapkannya dan lain-lain. Hal-hal tersebutlah yang sering kali menjadi penghambat kita untuk bisa menyampaikan perasaan dan pikiran-pikiran kita kepada orang lain. Jika hasrat-hasrat tersebut tidak mampu kita penuhi, maka diri kita berusaha me”repress” sebagai upaya mempertahankan diri atau berusaha bertahan dan beradaptasi dengan kenyataan, dengan kata lain tubuh kita berusaha mencari pengalihan-pengalihan sebagai upaya penyelesaian atas konflik psikologis.
Manusia juga disebut dengan homo sapiens (makhluk sosial), artinya ia akan selalu berinteraksi dengan lingkungan. Semakin besar gesekan yang terjadi dengan lingkungannya, maka memberi peluang besar untuk terjadi problem atau problem psychology. Beberapa dari individu sering kali mengalami kejadian-kejadian yang membuat dirinya stress berat, entah karena konflik kerja, masalah keluarga, masalah dengan kawan sejawat, gagal atas pencapaiannya, dan pengalaman-pengalaman traumatis. Pengalaman-pengalaman tersebut membuat individu merasa tidak nyaman apabila ia tidak mampu menyampaikan, mengungkapkan atau menyalurkannya dengan baik. Artinya, kondisi-kondisi tersebut menuntut individu untuk mampu adaptif agar tidak terjadi stress, terlebih stress berat.
Dalam menghadapi permasalahan individu memiliki dua pilihan, flight or fight, berlari atau bertahan. Individu yang mampu bertahan atas konflik yang dialami membuat dirinya lebih adaptif dari pada individu yang berlari. Individu yang lari dari kenyataan memiliki beberapa cara untuk bisa bertahan hidup, salah satunya dengan berusaha membuang ingatan-ingatan yang menyakitkan dalam hidupnya. Awalnya individu akan mampu menceritakan pengalamannya secara utuh, namun karena usaha penghindaran yang ia lakukan lambat laun beberapa bagian dari pengalaman menyakitkan akan hilang. Ia tidak bisa lagi mengingatnya secara rinci, hanya potongan-potongan peristiwa yang masih lekat dalam memorinya. Tidak jarang pula memori-memori yang dilupakan adalah peristiwa penting dalam pengalamannya. Hilang ingatan biasa kita kenal dengan istilah amnesia. Amnesia dalam psikologi abnormal merupakan salah satu dari contoh gangguan disosiatif. Gangguan disosiatif adalah individu yang mengalami perubahan sementara pada aspek kesadarannya yang mengakibatkan hilangnya identitas pribadi, menurunnya kewaspadaan terhadap lingkungan, dan gerakan tubuh yang aneh.
Amnesia berasal dari bahasa Yunani a yang berarti “tidak” dan mnasthai yang berarti “mengingat”. Seseorang yang menderita amnesia disosiatif tidak mampu mengingat informasi pribadi yang penting, biasanya setelah suatu episode yang penuh stress. Informasi-informasi itu tidak hilang secara permanen, namun tidak dapat diingat lagi selama episode amnesia. Amnesia sendiri terdiri dari amnesia organic maupun psychogenic. Amnesia organic disebabkan oleh kerusakan otak akibat dari penyakit, obat, kecelakaan ataupun operasi. Sedang amnesia organic adalah ketidakmampuan individu untuk mengingat informasi baru, yang dikenal dengan istilah anterogate amnesia dan ketidakmampuan mengingat kejadian sekitar 5-10 detik peritiwa sebelum terjadi kecelakaan disebut dengan amnesia reterogate. Selain itu amnesia reterogate dapat juga disebabkan oleh keinginan untuk melupakan kejadian yang mengarah pada pengalaman traumatis.
Paparan di atas jika dipandang dengan pendekatan psikoanalisa, maka orang-orang yang mengalami amnesia adalah orang-orang yang tidak adaptif atau tidak mampu menyelesaikan kecemasan-kecemasannya. Upaya penghindaran atas ingatan traumatik merupakan salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri yang tidak baik. Sebab, masalah ada bukan untuk dihindari tetapi harus dihadapi dan diselesaikan dengan baik. Salah satu cara untuk mewujudkan mental healthy adalah kita bisa mengungkapkan apa yang dirasakan dan dipikirkan, dengan kata lain kita mampu katarsis dalam berbagai bentuk. Di sini, saya ingin memberi saran bagi pembaca dan bagi diri saya sendiri khususnya untuk lebih asertif dalam menghadapi konflik. Asertif adalah mampu mengungkapkan perasaan, pikiran, dan pengalaman-pengalaman diri kepada orang lain dengan tidak berusaha menyakiti atau melukai orang lain. Maksudnya, melalui perilaku asertif ini membuat kita jauh dari kemungkinan-kemungkinan untuk mengalami amnesia sebagai akibat dari ketidakmampuan diri untuk beradaptasi dengan kenyataan. Mari kita menjadi pribadi yang sehat dengan membentuk perilaku asertif sejak saat ini. Akhirnya, tulisan ringan ini semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H