Mohon tunggu...
Safinah Al- Mubarokah
Safinah Al- Mubarokah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Behavioristik Tidak Ramah Pada Manusia

16 Desember 2014   04:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:14 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam menjalani kehidupannya manusia akan diliputi berbagai situasi mulai dari yang menyenangkan, mengharukan, menyedihkan, hingga situasi yang menegangkan. Manusia memiliki cara tersendiri untuk menghadapi situasi-situasi tersebut. Pada situasi yang menyenangkan manusia cenderung untuk melepaskan semua penat, melupakan semua beban yang dipikul dan mengeksplor seluruh kebahagiaan yg dimilikinya. Sebaliknya, pada kondisi mengharukan dan menyedihkan manusia perasaannya dirundung rasa sedih, bersalah, seolah-olah hanya dirinya yang mengalami ujian hidup dan lain-lain. Sedangkan pada situasi yang menegangkan tidak jarang perasaan manusia diselimuti oleh rasa ”cemas”, khawatir, takut dan sebagainya. Kondisi tegang sering dikaitkan dengan perasaan cemas pada individu.

Pada dasarnya, kecemasan merupakan hal wajar yang pernah dialami setiap manusia. Kecemasan sudah dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Kecemasan adalah suatu perasaan yang sifatnya umum, di mana seseorang merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupu wujudnya. (Wiramirahardja, 2005). Kecemasan merupakan reaksi normal terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang. Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (dalam Widuri, 2007) kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Kecemasan adalah reaksi yang dapat dialami siapapun, namun cemas yang berlebihan apalagi yang sudah menjadi gangguan akan menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya.

Kecemasan adalah rasa khawatir, takut yang tidak jelas sebabnya dan merupakan kekuatan yang besar dalam menggerakkan tingkah laku, baik tingkah laku yang menyimpang ataupun yang terganggu. Keduanya merupakan pernyataan, penampilan, penjelmaan dari pertahanan terhadap kecemasan tersebut (Gunarsa, 2008). Cemas muncul disebabkan oleh ketidakmampuan individu dalam mengatasi malasah atau tidak adanya rasa aman yang diawali dari perasaan subjektif terhadap suatu kondisi tertentu dan menimbulkan tingkah laku menyimpang.

Menanggapi tingkah laku yang menyimpang, dalam psikoterapi menyuguhkan beberapa bentuk terapi dengan pendekatan-pendekatannya. Salah satu bentuk terapi yang digunakan adalah terapi tingkah laku dengan pendekatan “behavioris”. Dalam pendekatan ini menekankan pada pengubahan tingkah laku maladaptif menjadi tingkah laku adaptif melalui proses belajar, operant conditioning, classical conditioning, dan observational learning. Selain itu, pada proses terapi ini meniadakan unsur kognisi pada manusia.

Terapi tingkah laku membatasi metode-metode dan prosedur-prosedur pada data yang dapat diamati. Ia memandang manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya serta segenap tingkah laku manusia merupakan proses belajar. B.F Skinner (dalam Correy, 2005) menyatakan bahwa para behavioris radikal menekankan bahwa manusia dikendalikan oleh kondisi-kondisi lingkungannya. Mereka tidak memberi tempat kepada asumsi yang menyebutkan bahwa tingkah laku manusia dipengaruhi oleh pilihan dan kebebasan. Filsafat behavioristik radikal menolak konsep tentang individu sebagai agen bebas yang membentuk nasibnya sendiri.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan behavioristik menganggap manusia lemah, tidak memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri, dan dikendalikan oleh stimulus-stimulus dari lingkungan. Dalam bersikap, individu dipengaruhi oleh tiga hal, yakni afeksi, kognisi dan behavior. Sedangkan pada terapi tingkah laku dalam proses terapinya hanya menitikberatkan manusia dari sisi behavior tanpa melibatkan sisi kognitif dan afeksinya. Terapi ini tidak humanis terhadap manusia. Bisa jadi terapi ini tidak menyembuhkan tetapi justru memperburuk kondisi klien, sebab dengan sifatnya yang didaktif maka terapis memiliki kebebasan untuk mengarahkan klien menjadi seperti yang diinginkan tanpa adanya kebebasan dari pihak klien sendiri.

Terapi ini bisa mengubah tingkah laku, tetapi tidak mengubah perasaan-perasaan. Seperti pada teknik terapi disensitiasi sistematik dan flooding, klien akan diberi penguatan negatif dan dibanjiri dengan situasi-situasi yang dapat membangkitkan kecemasannya hingga klien jenuh dan tidak menghindar dari konsekuensi-konsekuensi yang diakibatkannya. Hal ini sebanding dengan pengondisian klasik yang memandang manusia hanyalah makhluk reaktif atas stimulus-stimulus yang diberikan. Ia tidak bebas menentukan kehendaknya.

Seperti yang kita ketahui bahwa sebagian besar perilaku patologis dan neurotik berawal dari pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang tidak realistik atau bisa dikatakan bahwa kesalahan dalam memandang dunia (berpersepsi). Pikiran, pandangan, serta perasaan tersebut akan membentuk tingkah laku. Dapat disimpulkan bahwa tingkah laku merupaka respon dari pikiran, perasaan, serta pandangan-pandangan manusia. Artinya, untuk mengubah tingkah laku hal yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah mengubah pikiran-pikirannya (sisi kognisi). Salah satu perilaku maladaptif yang dapat diterapi dengan terapi tingkah laku adalah fobia. Fobia tersebut diawali oleh kecemasan terhadap sesuatu. Sedang kecemasan sendiri berawal dari pikiran dan perasaan takut serta khawatir akan sesuatu yang belum terjadi secara berlebihan.

Dari runtutan proses perilaku menyimpang (fobia) di atas maka dapat disimpulkan bahwa fobia muncul akibat pikiran dan perasaan takut berlebihan terhadap sesuatu. Artinya, untuk dapat mengubah tingkah laku yang lebih adaptif seharusnya terapis mengawali dengan mengubah pandangan-pandangan klien terhadap dunia luarnya, memberi kebebasan terhadap klien untuk memiliki kehendak dan mengarahkan dirinya sendiri serta menyadari akan potensi diri yang karenanya digunakan untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Tidak seperti yang dilakukan para terapis behavioris yang menyampingkan sisi kognisi pada manusia.

Tujuan akhir dari terapi ini adalah mengubah tingkah laku menjadi tingkah laku adaptif. Namun, ketika proses terapi hanya menekankan sisi behavior pada manusia tidak menutup kemungkinan bahwa suatu saat perilaku maladaptif akan muncul kembali, sebab klien tetap memiliki pandangan dan perasaan-perasaan yang belum berubah terhadap sesuatu di luar dirinya. Dapat diartikan bahwa terapi tingkah laku hanya mereduksi gejala-gejala tanpa menghilangkan gejala-gejala secara holistic (menyeluruh) dan sifatnya jangka pendek. Jika sebuah terapi tidak bersifat humanis, mengapa masih terus dipertahankan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun