Duh! Jantung berdegub enggak karuan waktu membaca postingan yang menjadi viral tentang seorang guru SMK yang dipukul oleh orang tua dan siswanya di Tamalate, Makassar. Bagaimana tidak guru lagi-lagi menjadi sasaran amukan orang tua karena bermasalah dengan anak didiknya. Kekerasan antara guru, anak, dan orang tua rasanya semakin sering terjadi. Guru memar, orang tua main pukul, dan anak-anak turut menjadi bagian penting kasus kekerasan menjadi coreng bagi lembaga pendidikan.
Lantas mulailah mengalir berbagai komentar tentang betapa ‘cengengnya’ anak-anak dan orang tua orang tua yang terkesan begitu melindungi anak-anak. Tetapi persoalannya, apakah seorang guru dibenarkan main tempeleng ketika anak melakukan kesalahan. Kalau pun anak berperilaku kasar dan melontarkan ucapan kata-kata kotor, selayaknya ada perlakuan yang lebih mengayomi dari pihak guru, sebagai garda terdepan pendidik di sekolah. Nyatanya, sikap anak yang tercela tidak bisa ditindak dengan cara kekerasan dan malah tak menyelesaikan masalah. Urusannya malah semakin panjang dengan melibatkan pihak kepolisian. Pada lingkup yang lebih besar, lembaga kependidikan di bawah kementerian pendidikan dan kebudayaan juga harus bertanggung jawab dan mencari jalan keluar agar hal yang sama tak berulang kali terjadi.
Berdasarkan data pengaduan KPAI Tahun 2015, menunjukkan bahwa anak korban kekerasan sebanyak 127 siswa, sementara anak menjadi pelaku kekerasan di sekolah 64 siswa. KPAI sudah membuktikan begitu banyak kasus yang melibatkan anak bisa menjadi korban sekaligus menjadi pelaku kekerasan di sekolah. Anak nakal di rumah saja orang tua sudah mengelus dana, nah kejadiannya anak malah menjadi pelaku kekerasan di sekolah. Kalau dipikir-pikir jika kasus kekerasan terhadap dan oleh anak dibiarkan terjadi secara terus-menerus, bisa jadi nantinya kasus konflik orang tua, anak, dan guru bakal nyaring ditelinga. Kasus semakin bertambah banyak, sementara penanggung jawab lembaga pendidikan di negeri ini tak melakukan tindakan apapun.
Ambil langkah Sebelum Darah Guru Mengucur Kembali
Menurut saya, pemukulan orang tua terhadap guru adalah kejadian luar biasa yang menunjukkan terjadinya ketidakharmonisan cara mendidik antara orang tua dan guru. Orang tua mengirim anak-anak mereka untuk dididik oleh guru, tetapi harus berhadapan langsung dengan risiko kekerasan yang dialami anak-anak. Â Sementara, guru diberi tanggung jawab mendidik siswa, namun harus menerima perlakukan kasar dari siswa sekaligus orang tuanya.
Kekerasan di sekolah bagaimana pun harus dihentikan. Anggapan anak-anak jaman sekarang lebih cengeng dibandingkan anak jaman dulu yang gampang mengadu ke orang tua, juga tidak dapat dibenarkann. Justru, ada hal yang salah dari anggapan tersebut karena membiarkan benih-benih kekerasan terjadi terhadap siswa. Perlakukan kekerasan dalam berbagi bentuk tidak bisa didiamkan dan orang tua juga berhak untuk merasa bahwa aman dan nyaman selama selama  berada di sekolah. Â
Pemangku kebijakan dunia pendidikan harus mengambil langkah agar kekerasan tak berulang kali terjadi. Seperti yang dituliskan Susanto, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dalam website resmi KPAI, bahwa negara harus mengambil langkah menanggapi tingginya angka kekerasan yang terjadi di sekolah berupa penerbitan peraturan untuk mencegah terjadinya kekerasan di satuan pendidikan. Menurutnya pula sekolah sebagai lembaga pendidikan yang menyemai nilai-nilai luhur, malah kering dengan nilai, namun penuh dengan target-target dan beban. Menjadi semakin masalah, ketika guru acapkali memberikan hukuman terhadap anak-anak yang tak sanggup menanggung beban sekolah berupa kekerasan fisik.
Hal yang sangat mencolok dari berbagai kasus kekerasan di sekolah, adalah kekerasan yang melibatkan siswa, guru berserta orang tua kurang diperhatikan oleh pemerintah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan. Susanto menyarankan perlu dilakukan pendekatan manajemen sekolah dengan berbagai cara, tidak hanya berorientasi akademik, tetapi penguatan keterampilan karakter serta memastikan perlindungan anak terwujud di semua sekolah.
Hal yang paling penting pula menurut saya adalah mengikutsertakan peran orang tua, misalnya melalui komite sekolah. Namun pahitnya, komite sekolah ibaratkan hantu yang hanya menjadi bayang-bayang ketika lembaga pendidikan memerlukan sekolah. Komite sekolah sebagai wadah penyampai aspirasi orang tua seringkali dianggap bak makhluk halus. Komite sekolah itu ada, tetapi perannya semakin tergerus dan diacuhkan.
Bagaimana pun pemerintah harus menimbang-nimbang dan mencari jalan agar orang tua dan guru memiliki hubungan yang ‘mesra’ dapat mencintai anak sebagai orang yang harus dididik penuh kasih sayang. Orang tua dan guru bisa saling merangkul, bukan saling baku hantam. Ketika dunia pendidikan diperhatikan dengan penuh kasih sayang, rasanya takkan ada darah yang mengucur lagi dari sang guru. Ingatlah, guru bagai pelita dalam kegelapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H