Mohon tunggu...
Phadli Harahap
Phadli Harahap Mohon Tunggu... Freelancer - Aktif di Komunitas Literasi Sukabumi "Sabumi Volunteer"

Seorang Ayah yang senang bercerita. Menulis dan Giat Bersama di sabumiku.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Papajar di Kalimaya

14 Juni 2015   19:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:03 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi-pagi sekali, anak laki-laki saya yang belum punya adik membangunkan ayahnya dari tidurnya. Dia ternyata ingat kalau malam hari kemarin, ayahnya mengajak berenang di kolam renang yang letaknya berada di dalam komplek perumahan di kawasan Kalimaya, Cianjur. Pagi ini, dia benar-benar senang bukan kepalang dan minta mandi sama ibunya. Meskipun kata saya enggak usah mandi dulu, karena berenang itu kegiatannya ya mandi jebur-jebur. Anak saya malah keukeuh, “ayah, kata ibu kalau mau pergi itu harus mandi dan memakai baju yang bagus.”
Tak lama, kami pun pergi ke kolam renang Kalimaya, suasana minggu ini cukup cerah. Matahari tersenyum manis di atas sana. Ketika kami datang, area kolam masih sangat sepi pengunjungnya cuma 5 orang, keluarga kecil kami dan dua orang lainnya yang sedang berpelukan di pojokan kolam. Untuk masuk kolam renang dengan suasana alam terbuka, pengunjung cukup membayar Rp15.000. Anak berumur dibawah 5 tahun tak usah membayar. Kolam renang Kalimaya memiliki dua kolam renang besar; satu kolam dibagi tiga sesuai tingkat kedalamannya (setinggi lutut, dada, dan di atas kepala orang dewasa) dengan pembatas berupa tali yang digantungkan benda bulat berwarna putih sebesar bola kasti. Sementara satu kolam lainnya tidak dibagi-bagi dengan hiasan perosotan tempat bermain anak-anak, kolam itu tampaknya digunakan untuk anak di atas 5 tahun, tetapi bukan pula untuk orang dewasa. Kalau anak saya, dia senang bermain di kolam yang kedalamannya cuma setinggi lutut orang dewasa. Maklum, dia berumur 3 tahun.


Suasana sepi kolam renang hanya berlangsung lima menit saja, tak lama pengunjung lain pun datang beduyun-duyun. Bukan satu atau dua orang saja. Pengunjung yang datang mungkin hingga ratusan orang. Istri dan anak saya yang tadinya sebagai penguasa kolam pun tersingkir oleh rombongan ibu-ibu dan anak-anaknya. Mereka berenang kejebur-jebur tak tentu arah. Anak saya sampai megap-megap kecipratan air dari anak-anak pengunjung lain yang berenang di dekatnya.

Setelah diamati dengan seksama, sebagian pengunjung kolam renang datang bergerombolan. Mereka datang dengan keluarga, warga se-RT, dan sekelompok lainnya yang sebagian besar adalah ibu-ibu dan anak-anaknya. Pengunjung yang datang segerombolan itu ternyata membawa tikar/ alas lainnya dan banyak makanan dari nasi komplit lauk-pauk hingga makanan ringan. Sebagian dari mereka langsung menikmati makanan tersebut dan sebagian lagi berenang dulu baru makan.


Suasana kolam renang pun menjadi riuh berubah bak rumah makan yang menyediakan tempat lesehan. Kapan lagi makan sambil basah-basahan di kolam renang. Sangkin ramainya pengunjung, pengelola kolam renang menyuruh dua orang untuk menjaga anak-anak yang kejabar-jebur yang tentu saja tak begitu diperhatikan oleh orang tua mereka yang lebih asik makan-makan.


Istri saya yang sadar suaminya sedang takjub memperhatikan keriuhan para pengunjung itu berbisik, “ayah, mereka lagi Papajar.” Saya yang bukan orang cianjur tentu terkesima, “kirain Papajar ditempat rekreasi atau rumah makan doang,” kata saya pada istri. Istri saya pun menjawab, “kolam renang kan tempat rekreasi juga.” Sejujurnya, saya pun baru ikut merayakan Papajar bersama mertua, keluarga saya, dan keluarga adik ipar di rumah makan hari Jumat yang lalu (12/6). Cuma ya saya enggak menyangka, orang Cianjur juga Papajar di kolam renang.


Setelah menikahi perempuan cantik asli dari Cianjur, Papajar menjadi tak asing bagi saya. Hampir setiap tahun dari masa pacaran dulu, saya selalu diajak ikut Papajar bersama keluarga istri saya. Sebenarnya makan bersama di atas tikar ini juga dilakukan orang batak bersama sanak keluarga, tetapi kalau sedang berpergian atau berekreasi saja. Bukan sebagai kebiasaan menjelang Ramadhan.


Menunggu Fajar Ramadhan
Papajar merupakan tradisi makan bersama yang dilakukan menjelang bulan suci Ramadan dengan cara makan bersama. Biasanya, kegiatan itu dilakukan di objek-objek wisata. Jika dikaitkan dengan bulan Ramadhan, Papajar berarti menyambut hari pertama melaksanakan ibadah puasa. Denny Rusyandi, budayawan yang aktif di Lembaga Kesenian Cianjur (LKC) mengaku meyakini Papajar itu berkaitan erat dengan makna bulan Puasa, "Puasa kan diawali dengan terbitnya fajar dan diakhiri terbenamnya matahari. Tidak jauh berbeda dengan tradisi Papajar dimana makna ini mengandung arti menjemput fajar (sumber ada di sini.”

Cikal bakal Papajar tenyata bukan kegiatan makan bersama di tempat wisata, tetapi mewujud dalam kegiatan berkumpul dan memanjatkan doa secara bersama-sama di suatu lapangan terbuka yang biasanya dilakukan di alun-alun Kabupaten Cianjur. Kabarnya, Papajar sudah dilakukan sejak jaman penjajahan. Setiap menjelang bulan suci Ramadhan, sebagian warga Cianjur yang bertempat tinggal jauh dari kota seperti dari daerah Cugenang, Pacet, Warungkondang, Ciranjang dan sekitarnya berbondong-bondong datang ke Masjid Agung untuk mengetahui kapan dimulainya hari pertama melaksanakan ibadah puasa (Lengkapnya baca di sini). Warga datang dengan membawa perbekalan berupa makanan dan menyantapnya secara beramai-ramai di kawasan alun-alun, sambil menunggu waktu pengumuman oleh mualim Masjid Agung.
Seiring waktu dengan perkembangan media informasi, warga tidak perlu lagi datang ke Masjid Agung untuk mengetahui waktu hari pertama puasa. Apalagi jaman sekarang, umat Islam tinggal menunggu pengumuman hari puasa pertama versi pemerintah dari Menteri Agama melalui televisi pada malam hari menjelang Bulan Ramadhan.
Papajar memiliki makna “mempererat tali silaturahmi” baik antara sesama keluarga, maupun dengan rekan satu profesi. Papajar dijadikan sebagai kegiatan untuk lebih mendekatkan diri antar sesama. Papajar juga sebagai bentuk rasa syukur, karena Tuhan masih memberikan kesempatan pada umatnya untuk merayakan ibadah puasa wajib di Bulan Ramadhan.
Papajar sebagai tradisi warga Cianjur masih melekat sampai saat ini, namun terjadi perubahan yaitu, dari ritual keagamaan menjadi kegiatan berekreasi sebelum menyambut bulan puasa. Namun masih memiliki pemaknaan yang sama, yakni sebagai wujud silaturahmi untuk menjaga keeratan antar sesama. Seperti apa yang saya tuliskan, Papajar di kolam renang pun tak masalah, yang penting dapat berkumpul bareng keluarga, kerabat, tetangga dan teman kerja.

 

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun