Kenaikan bahan bakar minyak tentu saja berdampak bagi keluarga miskin. Tidak usah menganalisanya terlalu rumit, dampaknya itu dapat dilihat dari bahan-bahan kebutuhan pokok yang pasti turut mengalami kenaikan. Kenaikan harga tersebut membuat beban pengeluaran dari keluarga miskin semakin meningkat. Dengan begitu, kondisi kehidupan tentu saja menjadi semakin berat. Lalu mengahadapi kenyataan tersebut, kemana kaum miskin harus mengadu? Kaum miskin tentu saja mengadukan nasibnya kepada pemerintah yang secara konstitusi diberi tanggung jawab untuk melindungi nasib mereka. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H dan Pasal 34 menekankan bahwa negara harus memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat.
Atas landasan UUD 1945 tersebut, pemerintah melakukan upaya meredam goncangan kehidupan secara sosial dan ekonomi pada warga miskin dengan menyalurkan Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan kartu Kelurga Sejahtera (KKS) sebagai bentuk pengalihan subsidi dari Bahan Bakar Minyak (BBM). Menurut saya, kebijakan tersebut tidaklah cukup, pengalihan subsdi tersebut harus diiringi dengan peningkatan sarana dan pelayanan pada bidang kesehatan dan pendidikan. Kalau cuma memberi bantuan demi bantuan, tanpa ditunjang kualitas yang mumpuni sama aja menempatkan kaum miskin kelompok rakyat yang dinomor duakan. Padahal pada dasarnya, setiap orang sebagai warga negara berhak untuk menjalani kehidupan dengan prinsip persamaan dan keadilan.
Antara Mutu Pendidikan dan Janji Kemerdekaan
Permasalahan pendidikan tak lepas dari kualitas pelayanan dan sarana berbeda yang dapat diakses antara kaum miskin dan kaum kaya. Anak-anak dari keluarga kaya mampu menempuh pendidikan di sekolah negeri/ swasta dengan iuran yang mahal, bangunan megah yang dipenuhi berbagai sarana penunjang kegiatan ekstrakulikuler, guru yang mengajar dengan dwi bahasa dengan fokus pada mata pelajaran tertentu, disediakan pula kursus music, tari, bahasa asing dan lain-lain. Sementara kaum miskin cukuplah mengenyam pendidikan di sekolah negeri/ swasta berbiaya murah dengan kualitas apa adanya, guru yang mengajar dengan latar bidang pendidikan yang berbeda, tanpa pernah mengikuti kursus, dan boro-boro bisa berbahasa asing.
Pemerintah tidak boleh bertolak pinggang mentang-mentang telah memberi bantuan sokongan dana dalam bentuk KIP, kalau pada kenyataannya kualitas sarana dan pelayanan pendidikan bagi kaum miskin tidak pernah ditingkatkan. Apalagi kalau uang dari KIP tidak mencukupi untuk menunjang berbagai biaya kegiatan siswa miskin dalam menempuh pendidikan. Jadi, pemerintah harus mampu menangkal stigma “betapa tidak adilnya pendidikan” dinegeri ini.
Meski begitu masih ada secerca harapan dengan hadirnya Anies Baswedan sebagai menteri sebagai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah. Anies Baswedan menyatakan “mencerdaskan kehidupan bangsa” diletakkan sebagai salah satu janji kemerdekaan. Untuk menepati janji tersebut, ada pekerjaan besar yang harus dipikirkan bersama yaitu prinsip “keadilan pendidikan” yang ditujukan untuk semua rakyat Indonesia dari berbagai latar belakang dengan mengupayakan pemerataan, seperti mendirikan pusat-pusat keunggulan pendidikan di berbagai tingkatan berbagai daerah, terutama di Indonesia Tengah dan Indonesia Timur. Selain itu, mengupayakan warga negara dari berbagai tingkatan ekonomi dapat menjangkau pendidikan yang berkualitas(sumber: baca disini).
Orang Miskin juga Boleh Sehat
Ketika menjadi Gubernur, Kartu Jakarta Sehat (KJS) menjadi program andalan untuk peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo. KJS mendorong ketersediaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi penduduk Provinsi DKI Jakarta, terutama bagi keluarga miskin dan kurang mampu dengan sistem rujukan berjenjang (sumber: baca disini). Atas dasar pengakuan terhadap keberhasilan program tersebut, Presiden Joko Widodo menginisiasi KJS untuk diterapkan dalam lingkup yang lebih luas menjadi program Kartu Indonesia Sehat (KIS). Namun persoalannya, mampukah KIS menciptakan perlindungan terhadap hak akan pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi rakyat miskin? Berkaca dari berbagai program kesehatan yang ditujukan untuk kaum miskin, KIS seharusnya dapat memfasilitasi akses kesehatan yang sama seperti apa yang diterima oleh golongan warga kelas menengah keatas. Warga tak perlu lagi menghadapi berbagai penolakan, administrasi yang berbelit, kualitas pelayanan rumah sakit yang buruk, hingga pengobatan yang ternyata tidak benar-benar gratis. Sehingga, jargon mengejek “orang miskin dilarang sakit” tak pernah lepas dari atribut keluarga tak mampu.
Menariknya, meski KIS menjadi program kebanggaan pemerintah yang baru, beberapa pemimpin daerah sepertinya menolak pengalihan subsidi dalam bentuk kartu tersebut. Walikota Surabaya, Tri Rismaharini telah menerapkan teknologi informasi dan komunikasi dalam e-governance. Warganya dapat mengakses fasilitas kesehatan dengan pelayanan langsung ke poliklinik tanpa harus menunggu dengan nomor antrian di lobi depan Rumah Sakit. Semua data dan riwayat kesehatan sudah tercatat dalam program e-health, yang bisa diketahui dari scan sidik jari. Sehingga data kesehatan pasien telah dapat diketahui dengan mudah.
Sama halnya Nurdin Abdullah, Bupati Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan yang sedikit mengkritisi Program Sang Presiden. Dia mengatakan bahwa warga di daerahnya tidak perlu kartu (KIS) karena mereka cukup menelepon 113. Maka, dokter akan mendatangi rumah warga dengan ambulans. Jadi pelayanan kesehatannya bersifat jemput bola. Bupati Nurdin menilai justru yang harus yang harus dianggarkan adalah bagaimana menjaga kesehatan masyarakat, seperti menjadikan lingkungan yang awalnya buruk dan tidak produktif menjadi area yang sehat.
Memperbaiki Nasib Si Miskin
Program pemerintah seringkali memposisikan kaum miskin sebagai warga yang harus dibantu dengan program yang sifatnya hanya untuk membuat mereka “tidak susah-susah amat”. Orang miskin yang penting bisa sekolah dan berobat ke puskesmas/ rumah sakit meski dengan pelayanan kelas “bawah”. Kondisi ini terus terulang ketika kepemerintahan terus berganti. Tak ada yang berobah. Orang miskin tetap dilarang sakit dan tak boleh sekolah. Semestinya Pemerintah mulai membangun sudut pandang kalau Keluarga miskin perlu diperbaiki nasibnya dan tidak berada dalam nasib kemiskinan waktu demi waktu. Pemerintah sah-sah saja mengklaim pengalihan subsidi akan memperbaiki nasib rakyat miskin. Namun, kemiskinan bukanlah tameng dibalik hiruk-pikuk kebijakan pemerintah. Pemerintah harus mengangkat harkat dan martabat kaum miskin yang juga bagian dari rakyat yang harus terus diperhatikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H