Sebelum acara Kompasiana Nangkring bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) dimulai, saya sempatkan berkeliling di dalam gedung Graha Wiksa Praniti. Di ruangan tersebut dipajang berbagai informasi mengenai teknologi yang dikembangkan olehLitbang Bidang Permukiman, dari rumah sederhana dan sehat, pengeleloaan air, hingga pengolahan limbah dan sampah.
[caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="Sumber : Dokumentasi Pribadi"][/caption]
Kementerian PUPR ternyata memiliki inovasi teknologi yang mumpuni. Sungguh sangat sayang sekali kalau hasil rekayasa teknologi tersebut hanya diketahui oleh segelintir orang. Syukurnya, Pusat Litbang Kementerian PUPR tampaknya ingin teknologi mereka dikenal dan dirasakan manfaatnya oleh khalayak ramai dengan menyelenggarakan Kolokium Hasil Litbang Bidang Permukiman tahun 2015 dengan Tema “ Dukungan Inovasi Teknologi dalam Mewujudkan Permukiman Layak Huni dan Berkelanjutan”.
Sebagai bagian dari rangkaian tersebut, Pusat Litbang Permukiman, Kementerian PUPR bersama Kompasiana mengadakan Nangkring dengan tujuan memperkenalkan kemanfaatan teknologi yang dihasilkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman (PUSKIM) dengan mengupas Penerapan Teknologi Bidang Permukiman. Acara Nangkring kali ini dibagi dalam dua kegiatan besar, yaitu: 1) Diskusi dengan 3 orang pembicara mengenai rumah layak huni yang sehat, RISHA, dan teknologi subreservoir, pengolahan air limbah, dan pengolahan IPAL terpadu; 2) Melihat subreservoir GWP, mengunjungi workshop RISHA, dan MCK Terpadu di Sumedang.
Rumah Layak Huni Hasil Rekayasa Teknologi PUSKIM
Kalau dipikir-pikir ingin memiliki rumah yang murah sesuai isi dompet, tidaklah mudah. Apalagi bagi keluarga kelas menengah kebawah dan bekerja dengan gaji yang pas-pasan. Kenyataan inilah yang dihadapi begitu banyak keluarga di negeri ini, tidak mampu membeli rumah sendiri. Agar diketahui, jumlah backlog (kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah kebutuhan rumah rakyat) sekitar 13,5 juta pada tahun 2014. Sementara itu, sebagian dari pemilik rumah masih hidup di lingkungan yang kumuh dengan sarana sanitasi yang buruk dan tidak memiliki akses air bersih yang memadai.
![Sumber : Photo Pribadi](https://assets.kompasiana.com/statics/crawl/555680550423bd827a8b4568.jpeg?t=o&v=770)
Ternyata, Kementerian PUPR tidak berdiam diri saja menghadapi kenyataan tersebut. Iwan Suprijanto, ST, MT, Kepala Bidang Program dan Kerjasama sebagai pembicara pertama, menyatakan bahwaPUSKIM berupaya untuk menciptakan rumah layak huni dengan memiliki akses terhadap air minum dan sanitasi yang memadai. Rumah yang diciptakan bukan rumah sembarangan, tetapi merupakan tempat tinggal hasil rekayasan teknologi.Nantinya hasil temuan teknologi rumah layak huni tersebut diharapkan dapat diproduksi secara masal dan diterapkan kepada masyarakat luas. Rekayasa teknologi yang dilakukan kementerian PUPR terkait dengan agenda Presiden dalam Nawacita dengan menakan 3 hal, antara lain; 1) Membangun kekuatan maritim; 2) Swasemba dapangan; 3) Pemenuhan infrastuktur dasar. Agenda nomor ketiga berkaitan dengan pemenuhan infrastruktur dasar menjadi beban kerja yang harus diselesaikan oleh Kementeriamn PUPR.
Berdasarkan agenda Presiden berkaitan pemenuhan infrastruktur dasar tersebut, Kementerian PUPR melalui RPJMN 2015-2019 memiliki program permukiman 100-0-100. Permukiman 100-0-100 maksudnya adalah menghasilkan rumah dengan 100 % akses air minum, 0 % kawasan kumuh (menghapuskan kawasan kumuh),dan 100 % akses pada fasilitas sanitasi. Untuk melaksanakan hal tersebut tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi kondisi ideal yang diharapkan mengenai tempat tinggal masih jauh dari harapan. Berdasarkan data Bappenas dan Direktorat Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum capaian pada tahun 2014, akses sanitasi untuk cakupan pelayanan nasional baru mencapai 60,5%, capaian pengurangan luasan kawasan kumuh perkotaan baru mencapai 10% dan capaian akses air minum aman nasional baru mencapai 68,5%. Ada beberapa tantangan dalam pengembangan program permukiman 100-0-100, seperti anggaran yang terbatas, perlunya pengembangan IPTEK yang terus menerus, dan dibutuhkan kerjasama antara pelaksana kebijakan (stakeholder), agar teknologi dapat terus dikembangkan secara maksimal.
Selain mengembangkan teknologi bangunan rumah, PUSKIM juga memperbaiki masalah kawasannya, seperti pengolohan air bersih dan penanganan limbahnya.Ia menjelaskan bukti nyata penerapan teknologi bangunan dan kawasannya dikembangkan di kantor PUSKIM, dengan membuat penampung air hujan dan subreservoir. Untuk teknologi sanitasi, PUSKIM juga mengembangkan komposter dan pengolah air limbah baik yang kakus maupun non kakus, serta individual maupun komunal.
Hingga saat ini, PUSKIM mampu menciptakan banyak hasil rekayasa teknologi seperti RISHA, RIKA, Struktur bangunan n-panel, dan lain-lain. Menurut Iwan Suprijanto, berbagai teknologi yang dikembangkan untuk menyelesaikan masalah permukiman yang cukup besar, seperti permukiman kumuh, masalah akses air bersih, dan pemasalahan limbah rumah tangganya.
Si Cantik RISHA
Salah satu jawaban dari permasalahan permukiman hasil rekayasa teknologi yang diciptakan PUSKIM adalah RISHA (Rumah Instan Sederhana Sehat). RISHA merupakan Rumah layak huni dan terjangkau dapat dibangun secara bertahap berdasarkan modul, dengan waktu yang diperlukan dalam proses pembangunan setiap modul 24 jam oleh tiga pekerja. Karena ukuran komponen mengacu pada ukuran modular, maka komponennya memiiki sifat fleksibel dan efisien dalam konsumsi bahan bangunan.
Berdasarkan keterangan dari Ir. Budiono Sundaru selaku perekayasa bidang Perumahan dan Lingkungan, Ujicoba RISHA dilakukan pada tahun 2002-2004. Tepat seminggu sebelum gempa dan tsunami di Aceh, 26 Desember 2004, produk RISHA diluncurkan sebagai produk rumah sederhana yang sehat dan tahan gempa. Oleh karena itu, International Organization for Migration (IOM) mengajak bekerja sama untuk membangun RISHA sebagai tempat tinggal bagi korban bencana di Aceh. Selain itu, pembangunan RISHA yang hemat waktu, membuat bangunan ini menjadi alternatif pilihan bagi korban bencana alam agar dapat memiliki tempat tinggal dengan cepat.
Selain telah dibangun di Aceh, RISHA juga telah dimanfaatkan untuk permukiman di daerah bencana banjir, longsor, dan gempa oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), serta digunakan oleh PT London Sumatera (Lonsum) untuk pembangunan rumah sebanyak 250 unit dengan tipe 6 m x 3 m untuk kawasan dengan luas 200 Ha.
![Sumber: Budiono, Mengupas Teknologi Bidang Permukiman. Nangkring PUPR, 7 Mei 2015](https://assets.kompasiana.com/statics/crawl/555680550423bd827a8b4569.jpeg?t=o&v=770)
Untuk diketahui, struktur bangunan RISHA (belum dengan dinding) bisa dibangun cukup dalam satu hari; didirikan pagi dan selesai pada sore hari. Jadi, RISHA dapat dibangun secara serba instan dengan motto BMW; B = Biaya bisa lebih murah dan efisien. M = Menjaga mutu dengan standar pedoman. W = Waktu pengerjaan bisa dilakukan dengan cepat.
![Sumber :](https://assets.kompasiana.com/statics/crawl/555680560423bd827a8b456a.jpeg?t=o&v=770)
Hal yang menarik dari RISHA adalah telah memiliki hak paten, hak cipta dan merk dagang dengan SNI. Jadi, RISHA sudah teruji dan memenuhi syarat rumah konstruksi yang layak huni atau memenuhi standar minimal bangunan.
![Sumber :](https://assets.kompasiana.com/statics/crawl/555680560423bd827a8b456b.jpeg?t=o&v=770)
RISHA mempunyai konsep bahwa seluruh komponen dapat di bongkar-pasang / knock down system, dengan analogi pada permainan anak-anak seperti lego atau tamiya. Ada beberapa keuntungan dari pemanfaatan teknologi RISHA, antara lain:
- Pembangunan Bertahap
- Dapat dikembangkan pada arah horizontal dan vertikal (2 lantai)
- Dapat dibongkar pasang
- Komponen ringan (maksimum 50 kg)
- Pemasangan hanya 1 hari (bilamana kondisi SDM dan lapangan seperti disyaratkan)
- Komponen dapat diproduksi secara home industry dalam upaya pengembangan UKM
- Fleksibilitas desain tinggi, tergantung kreatifitas arsiteknya
- Dapat mengakomodasi potensi lokal (budaya maupun bahan bangunan)
Sayangnya, meskipun RISHA terbukti sebagai rumah sederhana nan sehat, tetapi belum bisa meyakinkan Perbankan karena rumahnya dianggap mudah sekali dibongkar pasang aliasknock down. Perbankan belum melirik RISHA sebagai asset pembangunan yang dapat diberikan pinjaman modal. Padahal, kalau perbankan mau melirik si cantik RISHA ini bisa menjadi investasi yang menguntungkan serta mendukung penyediaan permukiman murah bagi masyarakat.
Teknologi Pengolahan Air dan Sanitasi
Setelah penjelasan mengenai RISHA, pembicaraan berganti mengenai pegolahan air bersih dan sanitasi. Menurut Budiono Sundaru selaku perekayasa bidang Perumahan dan Lingkungan, RISHA kurang lengkap tanpa ketersediaan air dan sanitasi. PUSKIM juga melakukan kajian mengenai pengolahan air dan sanitasi untuk mendukung program permukiman 100-0-100. Pengembangan pengolahan air dan sanitasi dimulai ketika peneliti dari PUSKIM melihat potensi air hujan yang besar untuk diolah sebagai penyediaan air bersih.
![Sumber : Dokumentasi Pribadi](https://assets.kompasiana.com/statics/crawl/555680560423bd827a8b456c.jpeg?t=o&v=770)
Subreservoir (penampungan dibawah permukaan tanah) dapat dibangun di ruang terbuka dengan ukuran minimal dengan panjang 2 m. Lahan rumah yang belum dimanfaatkan dapat dibuatkan subreservoir bagian bawahnya. Ketika hujan turun, air akan mengalir ke subreservoir tersebut, sehingga dapat mengurangi air yang tergenang di permukaan tanah. Sub reservoir ini telah dibangun di kantor PUSKIM di Cileunyi dan Turangga, Bandung. Teknologi pengolahan air ini juga direncanakan akan digunakan di kantor Pemerintahan terpadu di Tangerang Selatan.
Mari Melirik Terapan Teknologi dari PUSKIM
Setelah selesai mendisukusikan Penerapan Teknologi Bidang Permukiman, Kompasianer dibawa untuk mengunjungi lokasi kegiatan penerapan hasil litbang bidang Permukiman yang telah dilakukan oleh Pusat Litbang Permukiman, di desa Sindang Pakuon, Cimanggung Kabupaten Sumedang. Awalnya peserta nangkring diajak melihat teknologi pengolahan Air di DAS. Atang Sarbini, ST (Peneliti Bidang AMPLP) menerangkan bahwa PUSKIM berhasil menerapkan teknologi untuk air pemukaan/ aliran air sungai bagian hulu. Sebanyak 75 % air sungai yang telah diolah menjadi air bersih digunakan oleh masyarakat di RW 6 dan 25% sisanya untuk pengolahan air minum. Air minum dengan merek ‘Tirta Pakuon’ dijual dan hasilnya digunakan untuk biaya operasional pengelolaan air DAS tersebut. Jadi operasional teknologi pengolahan air tersebut tidak meminta iuran dari warga lagi.
![Sumber : Dokumentasi Pribadi](https://assets.kompasiana.com/statics/crawl/555680560423bd827a8b456d.jpeg?t=o&v=770)
Kemudian, kegiatan dilanjutkan dengan mengunjungi workshop RISHA. M. Edi Nur, ST., MT. (Peneliti Bidang Struktur dan Konstruksi Bangunan) menjelaskan bahwa workshop tersebut merupakan salah satu dari dua aplikator yang terletak di Jawa Barat. Salah satu aplikator lainnya berada di Cileunyi, Bandung.
![Sumber : Dokumentasi Pribadi](https://assets.kompasiana.com/statics/crawl/555680560423bd827a8b456e.jpeg?t=o&v=770)
Menurutnya, masih dibutuhkan lebih banyak aplikator lain, karena aplikator yang telah ada merasa kelimpungan menyiapkan bahan-bahan bangunan RISHA, karena demand lebih banyak dari pada supply. PUSKIM membuka kesempatan bagi berbagai pihak yang ingin menjadi aplikator. Untuk menjadi aplikator dapat dilakukan dengan syarat yang sangat mudah, yaitu tinggal berhubungan langsung dengan PUSKIM. Menariknya, PUSKIM tidak akan membebani royalti bagi mereka yang ingin jadi aplikator, karena lembaga penelitian dari kementrian PUPR berfungsi untuk menemukan teknologi dan tidak boleh menjadi aplikator dan tidak boleh menjual hasil teknologi yang telah dikembangkan.
Sementara itu, Rahmad sebagai pihak yang bertanggung jawab sebagai aplikator yang memproduksi dengan nama The Little Giant (TLG), menyatakan bahwa workshop yang mereka kelola bersifat pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan warga dari sekitar sebagai pekerjanya. Workshop TLG dibangun dengan biaya sekitar Rp.250juta –Rp.300 juta termasuk bangunan fisik tanpa tanah. Sedangkan tanah tempat tersebut merupakan tanah yang dimiliki oleh desa setempat.
Panel yang dibuat terdiri dari 3 jenis panel beton, yaitu : Panel 1 (P1) dengan harga Rp110,000; Panel 2 (P2) dengan harga Rp100,000, sedangkan Panel 3 (P3) berharga Rp90,000. Jika ada orang yang ingin merakit panel akan dikenakan biaya tambahan sekitar Rp12.000. Untuk membangun rumah ukuran 3 m X 6 m dibutuhkan sebanyak 136 panel, terdiri dari P1 sebanyak 76 buah, P2 sebanyak 30 buah dan P3 sebanyak 30 buah.Jadi untuk sturktur bangunannya saja membutuhkan dana sekitar kurang lebih Rp.20 juta. Kalau dipikir-pikir sangat murah, bukan.
Acara Nangkring bareng PUSKIM, Kementerian PUPR bersama Kompasiana diakhir dengan mengunjungi MCK dengan pengolahan air limbah terpadu. MCK tersebut memiliki bangunan yang keren dan sangat bersih. Setelah itu, peserta nangkring diajak bermain kuis dan berfoto bersama.
![Sumber : Dokumentasi Pribadi](https://assets.kompasiana.com/statics/crawl/555680560423bd827a8b456f.jpeg?t=o&v=770)
Begitulah rangkaian kegiatan nagkring yang berakhir sekitar Pukul 14.30 hari itu. Kesimpulannya PUSKIM telah memiliki produk hasil inovasi teknologi permukiman. Sangat disayangkan jika berbagai teknologi tersebut tidak dimanfaatkan secara luas. Sudah saatnya, berbagai pihak di luar sana melirik hasil rekayasa teknologi yang merupakan karya cipta oleh peneliti dari negeri sendiri.