Mohon tunggu...
Phadli Harahap
Phadli Harahap Mohon Tunggu... Freelancer - Aktif di Komunitas Literasi Sukabumi "Sabumi Volunteer"

Seorang Ayah yang senang bercerita. Menulis dan Giat Bersama di sabumiku.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Catatan Kecil Akhir Tahun dari Amran, Siapa yang Tak Mau Sekolah?

31 Desember 2015   20:14 Diperbarui: 31 Desember 2015   23:15 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Siapa yang tak mau sekolah pak, aku mau terus sekolah. Tapi kalau orang tua melarang menyekolahkan, kita mau apa?” Amran berbicara agak berteriak.

Aku tercekat mendengarnya, mengangguk, mencoba untuk memahami apa yang dikatakannya. Ia adalah satu dari sebagian besar anak yang tak melanjutkan sekolah di desa ini, desa yang hanya memakan waktu 2 jam dari Kota Makassar. Desa Cikoang Namanya.

“Anak-anak di sini pak, paling sekolah sampai SMP. Seperti aku inilah. Syukur itu juga. Kawan-kawanku banyak itu yang cuma sampai SD, sekolahnya.”

Persis seperti kata kepala desanya, 60 persen dari penduduknya memang cuma lulus SD, sisanya 30 persen SMP, dan 10 persen SMA. 10 persen itu juga baru sepuluh tahun terakhir.

“Aku cuma diam sajalah pak, pas bapakku bilang tak usah kau lagi sekolah. Cari uang sajalah. Sekolah tinggi juga, paling-paling menjadi penjaga toko alfamidi. Tak banyak kerjaan buat orang yang sekolah tinggi disini”.

Orang tua di desa ini sebagian besar sekolah hanya sampai SD, bisa dibilang 90 persennya. Syukur juga itu kalau bisa tamat. Sebagian dari 90 persen itu putus ditengah-tengah, ada yang kelas dua SD, kelas tiga SD, ada pula yang kelas lima SD tak lagi sekolah. Begitulah, orang tua Amran sendiri juga mengaku cuma sekolah sebentar, kira-kira Cuma sampai kelas 4 SD.

“Seperti orang tuaku pak. Sebagian besar orang tua disini tak sekolah. Hanyalah tamat SD. Mereka enggak tahu pentingnya sekolah itu.”

Sekolah tinggi adalah keniscayaan bagi para orang tua di desa dekat pesisir pantai ini. Toh setinggi-tingginya sekolah paling menjadi penjaga toko Alfamidi yang gajinya cuma enam ratus ribu rupiah sebulan. Tak ada bedanya dengan pedagang baso yang bisa menerima uang yang sama, bahkan bisa lebih.

“Kalau bapakku bilang, sekolah SD pun bisanya kerja nanti. Aku bisa menjual baso. Tak perlu sekolahkalau cuma untuk membuat baso saja. Sudah. Aku bisa mendapat uang.”

Sebagian anak-anak yang putus sekolah, sudah bisa berkerja menjadi tukang baso dan menjadi tukang bangunan. Usia SMP adalah waktu mereka mulai belajar bagaimana mencari uang. Waktunya kehidupan memasuki tahap lanjut. Orang tua cenderung memberi pilihan, agar anak-anak mulai berkerja.

“Buktinya, aku bisa bekerja. Aku bisa menjual baso. Anak lulusan SMP sepertiku. Ya sudah bisalah mencari uang. Kata bapakku dulu, untuk apa sekolah? Sudah banyak insinyur, sudah banyak polisi, sudah banyak guru. Untuk apalagi sekolah? Dari kecil, aku sudah dibilang begitu sama bapak.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun