Sewaktu mau menikah dulu, Mamak (Ibu) saya yang orang batak memberi wejangan tentang betapa pentingnya arti sebuah pernikahan. “Nikah itu anakku berarti kau memasuki tahap kehidupan yang baru. Kau harus bertanggung jawab lahir dan bathin sama perempuan yang kau nikahi. Jangan coba-coba kau sakiti istrimu. Sampai mati Mamak tak rela kalau kau sampai sia-siakan istrimu itu, ”begitulah kata Mamak empat tahun yang lalu ketika hari akad nikah semakin dekat. Mamak yang telah menikah lebih dari 35 tahun dengan ayah pasti tahu betul asam-manis pernikahan. Jika pernikahan sampai terasa pahit tentulah salah satunya entah itu istri atau suami tidak bahagia hidup dalam ikatan perkawinan.
Sejatinya pernikahan memang salah satu tahap paling penting dalam kehidupan, ketika manusia menjalani masa peralihan dari tingkat remaja ke tingkat berkeluarga. Hidup pastilah berubah, ada tanggung jawab yang dibawa kedalam ikatan pernikahan. Pernikahan mengatur kelakukan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan sex, menjaga keturunan, dan pemenuhan kebutuhan hidup keluargnya. Pernikahan juga berdampak pada tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan akan harta, status sosial yang baru, dan menjaga hubungan sanak keluarga antara suami dan istri.
Tetapi gagasan pernikahan itu sungguhlah ideal dan belum tentu berlaku untuk semua orang. Beberapa hari ini gembar-gembor tentang Redi Eko Saputro yang bakal menikahi Wina Lia pemilik rumah yang dibelinya tersiar di berbagai media online. Hal ini tentulah menarik, karena ihwal perkawinan disatukan dengan paket penjualan rumah. Bak gayung bersambut, awal mula seolah-olah transaksi jual-beli rumah plus nikah itu berjalan lancar, Wina tampak sumbringah. Rumah terjual dan dia tak tidur sendiri lagi. Namun belakangan terbuka tabir ternyata Redi secara resmi masih suami dari perempuan lain bernama Endang. Seperti sudah kepalang tanggung, pihak-pihak terkait memberi beribu alasan tentang kondisi pernikahan sebelumnya dan Wina pun mengaku terkejut atas kenyataan tersebut.
Bagi saya ini sungguh tak wajar dan bertolak belakang hakikat pernikahan yang merupakan salah satu tahap penting dalam kehidupan. Dibalik keinginan menikahi pemilik rumah yang telah dibeli tersebut, seorang pria begitu tega menyatakan kalau pernikahan dengan istri yang kabarnya telah ditalak itu tak bahagia dan berakhir singkat. Pernikahan dianggap telah berakhir meskipun belum dinyatakan resmi oleh pengadilan. Semudah itulah, pembeli rumah membuat alibi untuk memuluskan rencana pernikahannya dan disebarluaskan kepada khalayak ramai lewat media massa.
Dikisah pernikahan lainnya, Krisna Mukti yang tak lain artis merangkap anggota DPR ternyata rumah tangganya sedang goncang dan sedang digugat cerai oleh istrinya. Anehnya bukan berupaya memperbaiki rumah tangganya. Sang artis malah menceritakan kisah dibalik perkawainan tersebut. Aib pun diumbar ke media massa. Sungguh ini adalah pernikahan karena rasa belas kasihan. Kedua belah pihak mulai saling menjatuhkan satu sama lain. Lalu, salah satu pihak menyatakan pernikahan mereka rekayasa semata dan pihak lain menyawab kalau tidak ada yang direkayasa. Ini pernikahan resmi. Hingga, tak tahu bedanya siapa yang benar dan salah. Gendang terlanjur bertalu-talu, disuguhkanlah kepada khalayak ramai bahwa pernikahan tersebut sungguh jauh dari kata bahagia dan rasa cinta sehidup semati.
Bagi saya yang baru menikah empat tahun dan sedang bahagia-bahagianya, kasus tersebut sungguh tak pantaslah ditiru. Seolah-olah pernikahan cuma peristiwa biasa, tak ada tanggung jawab dari pasangan suami dan istri untuk mempertahankan ikatan hubungan yang telah dirangkai dalam janji nan suci. Hal yang dilakukan kedua laki-laki dari kasus tersebut sungguh memuakkan dan tak bertanggung jawab kepada perempuan yang telah mereka nikahi. Kalaulah tak cinta dan tak sayang, janganlah mengikat janji suci pernikahan dan menyakiti perasaan perempuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H