Mohon tunggu...
Phadli Harahap
Phadli Harahap Mohon Tunggu... Freelancer - Aktif di Komunitas Literasi Sukabumi "Sabumi Volunteer"

Seorang Ayah yang senang bercerita. Menulis dan Giat Bersama di sabumiku.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayah

13 November 2014   03:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:56 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tahun 2003

“Kau kuliah di Medan sajalah Phadli,” ayah mencoba menasehatiku. Dia nampaknya tak mau membuat mamak (ibu) semakin marah karena aku tak bisa dibilangin, keras kepala dan masih ngotot supaya bisa kuliah di pulau Jawa. “Tapi ayah, cobalah tengok itu abang Hend dan Aan, orang itu bolehnya kuliah jauh-jauh, kenapa pula aku enggak boleh,” aku tetap tak setuju dengan keputusan mamak. Kalau ayah berbeda, dia itu cuma ikut-ikutan saja apa yang mamak bilang. Aku tahu ayah pasti mau mendengar apa yang kuminta. Dari kecil, dia yang ngajarin kami supaya kuliah jauh-jauh. Aku masih ingat waktu dia bilang, anak laki-laki jangan lama-lama tinggal di rumah pergilah mengejar dunia.

Seminggu setelah perdebatan itu, mamak tetap tak mau membelikanku tiket kapal terbang ke Jakarta. Disuruhnya aku kuliah di USU saja tak usah jauh-jauh. Lagian, dianggapnya otakku tak sanggup masuk kampus negeri seperti abangku. “Si anak bandel yang tahunya main saja mana mau belajar,” itu terus yang dibilangnya sejak waktu aku sekolah, karena aku memilih pindah dari kelas IPA ke kelas IPS, tak sanggup menerima pelajaran Matematika, kimia dan Fisika. Sedangkan ayah seperti biasa, dia tak mau suasana semakin gaduh. Dibujuk-bujuknya aku untuk mengurungkan niatku kuliah di pulau jawa. “Janganlah kau jadi anak durhaka,” katanya.

Namun nasib berkata lain. Aku tak kehabisan akal. Waktu kutahu kawanku mau kuliah ke Jakarta, kubilang sama dia, “minta tolonglah sama mamakmu belikan tiket buatku juga. Nanti dibayar ayahku.” Kebetulan pula mamak kawanku itu guru agama di SMA dan bapak kawanku ini marga Harahap juga. Tiket jadi dibeli dan mamak kawanku sendiri yang datang ke rumah memberikannya ke mamakku. “Anak ibu harus kuliah ke pulau jawa,” kata mamak kawanku. Mamak dengan terpaksa tak bisa menolak, meski mukanya menunjukkan tanda tak setuju. Tapi apa mau dibilang, tiket sudah dibeli dan ayah harus membayarnya pula. Jadilah aku terbang ke Jakarta.

Tujuh Tahun Kemudian

“Maaf ya nak, ayah enggak bisa datang ke wisudamu. Kau dikawani sama tulangmu yang di Bandung itu saja ya,” suara ayah begitu datar kudengar di telinga. “Tak apa-apa ayah, yang penting Ayah tahu aku sudah lulus kuliahnya,” aku mencoba untuk memaklumi ketidakhadiran kedua orang tuaku karena usia yang semakin senja. Pada akhirnya, aku lulus kuliah dari Univesitas Padjadjaran, tepat tujuh tahun. Lulus dengan waktu maksimal dan terancam tak mendapat gelar sarjana.

Tujuh tahun sebelumnya...

Ayah mengantarku ke Bandara Polonia dengan kereta (sepeda motor) Honda Prima-nya dan kawanku sudah menunggu di sana. Aku menyalaminya dan meminta doanya supaya aku berhasil kelak menempuh pendidikan dibangku kuliah. Dengan sorot mata yang tajam dia bilang padaku, “Nak, aku ini Cuma lulus SD. Ayah tak pernah sekolah tinggi-tinggi kayak kalian. Kusekolahkan kau kayak kakak dan abangmu, supaya kalian tak seperti ayah. Tak jadi orang bodoh. Bagus-bagus kau disana dan kuliahlah yang baik. Ayah tak bisa ngasih apa-apa kecuali pendidikan ini. Inilah bekalmu buat hari depanmu”,air mata hampir terjatuh. Tetapi namanya anak laki-laki tak boleh cengeng dan kubilang sama ayah, “tenang saja ayah. Aku dengar apa yang ayah bilang.”

Bulan Juli 2013…

Aku menyempatkan untuk singgah sebentar ke rumah disela-sela waktu pekerjaanku. Kali ini, aku mendapat tugas melakukan penelitian tentang kemiskinan ke Kota Medan, kota kelahiranku.

“Jadi apalah kerjamu sampai ditugaskan ke sini?”, tanya ayahku. “Aku lagi penelitian ayah selama dua minggu di Medan inilah. Pokoknya kerjanya meneliti masyarakat.” Untuk urusan kuliah dan pekerjaanku, ayah tampaknya tak pernah paham dengan penjelasanku. “Oh itu ya apa namanya, Arkeologi?, kerjanya jadi peneliti ya?”,

Pada akhirnya, setelah kepergian ke Jakarta. Aku memilih Jurusan Antropologi UNPAD, dan pindah ke Jatinangor hingga lulus tujuh tahun kemudian. Aku berhasil memperoleh gelar sarjana seperti 5 orang saudaraku yang lain. Semua ini berkat dorongan kedua orang tua, terutama ayah. Ayah yang selalu sabar membimbing dan bekerja demi pendidikan pendidikan anak-anaknya.

Selamat Hari Ayah, untuk Ayah. Selamat hari Ayah juga untuk para Ayah lain di luar sana yang sedang menuntun anak-anaknya menjadi manusia yang lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun