Mohon tunggu...
Phadli Harahap
Phadli Harahap Mohon Tunggu... Freelancer - Aktif di Komunitas Literasi Sukabumi "Sabumi Volunteer"

Seorang Ayah yang senang bercerita. Menulis dan Giat Bersama di sabumiku.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Antara Sinta dan Burung Ayah

24 Maret 2015   19:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:06 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Bunda, aku mau minta boneka berbie,” Marni yang sedari tadi diam saja sambil memasak, tiba-tiba menangis.Dia menangis menghadap kompor gas yang diatasnya terdapat wajan berisi kerupuk.

Sinta nama anaknya Marni. Anak pertamanya. Semua anaknya ada empat orang. Hari ini ulang tahunnya, pada 24 Maret 2015, sudah 7 tahun mau naik kelas 2 SD. Dia ingin sekali memiliki boneka lucu seperti Afika anak tetangga rumah. Maka dia mintalah boneka lucu, boneka berbie di hari ulang tahunnya. Dia memang menunggu hari itu, karena dilihatnya Afika juga memiliki boneka itu di hari ulang tahunnya, dirayakan pula. Sinta juga diundang waktu itu dan ikut menyanyi selamat ulang tahun.

Cuma Sinta kesal bukan kepalang, Bundanya malah menangis ketika Sinta meminta boneka Berbie. “Baru juga minta boneka berbie, sudah nangis,” pikir si Sinta polos. Ke kamarlah Sinta paranya yang manis berubah cemberut dan sambil memegang perut sedikit lapar. Tadi pagi cuma makan sedikit, nasi goreng tanpa telur sepiring berdua bersama Nanda, adik bungsunya umur tiga setengah tahun. Diciumnya adiknya itu yang sedang tidur di kasur kapuk itu. Sinta sungguh sayang sama Nanda. Selain sering makan berdua, dia juga tidur bersama nanda dan juga Lusi, anak nomor dua Marni. Makan sepiring berdua dan tidur sekasur bertiga.

Siang itu Rohim, ayah Sinta belum pulang ke rumah. Setiap siang selalu saja begitu, jarang di rumah. Bukan karena Rohim bekerja seperti di pabrik atau kantoran gitu. Rohim main burung bersama Rasyid teman akrab sejak kecil tidak lain juga tetangga belakang rumah. Kalau kecil gemar main layangan, sudah sama-sama menikah sama-sama main burung.

Sudah jam satu siang. “Semoga saja Bang Rohim bawa uang,” pikir Marni. Marni sudah lelah berdiri lama di dapur. Kadang pula dia jongkok sambil menopang dagu memperhatikan tabung gas 3 kilo pemberian pemerintah waktu Yusuf Kalla menjadi presidennya. Sudah hampir selesai pula dia memasak kerupuk, tetapi yang lain belum dimasak. Nasi pun tinggal sedikit, itu pun berwarna merah. Sisa nasi goreng tadi pagi. Dilihatnya sebentar ke kamar, Sinta tertidur sambil memeluk Nanda. SedangKAN dua anaknya yang lain main masak-masakan di depan rumah. Ratih anak ketiganya, tadi sudah mendatangi Marni sambil mengeluh, “bunda masak kerupuknya sudah selesai?”

Lalu, Marni bilang keRatih, kalau memasaknya hampir selesai, tinggal masak kerupuknya saja. Itu sepuluh menit yang lalu. Tetapi sekarang sudah selesai. Tidak ada alasan lagi nanti kalau Ratih ke dapur lagi, kerupuk sudah masak. Tetapi yang lain belum dimasak.

Syukurnya 15 menit kemudian, Rohim pulang. “Ketemu besok ya Rasyid”, berpisah di depan rumah bersama teman karibnya itu. Marni bergegas ke depan rumah.”Bang Rohim…” belum selesai bicara Rohim malah melongos masuk ke rumah. “Lihat ini Marni, burungnya bagus kan,” katanya pada Marni. “Gue baru beli burung ini tadi sama si Riskan orang gang Mahmud tiga ratus rebu.” Marni terhenyak.

“Bang, abang sudah makan,” dia bertanya pada Rohim seperti biasanya. Seperti hari kemarin-kemarin kalau suami yang dinikahinya 8 tahun yang lalu itu pulang siang hari. “Ya belumlah Mar… Lo kan tahu gue baru pulang,” kata Rohim.

“Bang, beras kita habis, enggak ada nasi. Anak anak juga belum makan,” Rohim tercekat, uang sudah habis buat beli burung. “Yahhh, kenapa enggak lo bilang dari pagi. Ini gue sudah beli burung.“ Marni menangis.

Tangisannya membangunkanSinta anak pertamanya. “Beli burung lagi? Sinta kan kepengen Berbi,” pikir Sinta sambil keluar kamar. Ternyata Sinta menunggu ayahnya juga, mau minta boneka Berbie di hari ulang tahunnya. Namun apa daya diurungkan niatnya, sementara ibunya malah menangis tersedu sedan melihat Sinta mendekati kedua orang tuanya.

“Bunda kenapa? Bunda nangis gara-gara burung itu? Burungnya kan bagus”, Marni berusaha menahan tangisnya tetapi tidak bisa. Semakin terisak. Rohim pun termangu, meski dia menyesal. Tetapi dia sebenarnya merasa puas bisa membeli burung. “Bunda belum masak nasi buat kalian nak, bunda tahu kalian lapar,” Marni menangis semakin sedih. Disilangkan tangannya ke meja dan ditutupi mukanya pakai tangannya menghadap meja. Rohim pun meletakkan burungnya disebelah meja, maksud hati ingin mendiamkan tangis istrinya.

Namun tak lama terkejutlah dia. Sinta berlari ke sarang burung yang baru dia beli. Dibukanya pintu kecil sarang burung yang bersuara cuit-cuit dari tadi. Terbanglah burung itu lepas dari sangkarnya. “Sana burung, jangan berisik, aku lapar. Bunda sedang menangis. Kau jangan berisik,” berbicara sambil melepaskan burung yang dibeli Rohim dari si Riskan. Kali ini, Rohim pun ikut menangis.

“Oh… Ternyata ayah lapar juga,” cetus Sinta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun