Mohon tunggu...
Phadli Harahap
Phadli Harahap Mohon Tunggu... Freelancer - Aktif di Komunitas Literasi Sukabumi "Sabumi Volunteer"

Seorang Ayah yang senang bercerita. Menulis dan Giat Bersama di sabumiku.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mendirikan Taman Baca Masyarakat di Kampung sebagai Cara Memberikan Akses Buku bagi Anak di Pelosok Sukabumi

17 Mei 2019   12:15 Diperbarui: 17 Mei 2019   15:09 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, 17 Mei 2019 dirayakan sebagai Hari Buku Nasional. Pagi-pagi sekali, saya kirimkan pesan gambar kepada teman-teman komunitas untuk memberi Selamat. Pesan belum berbalas itu saya sampaikan di group WhastApp para penggerak literasi Sukabumi dibawah naungan Sabumi Volunteer. Isinya muda-mudi yang peduli kondisi atas rendahnya minat baca di negeri ini. Meski, Sabumi Volunteer tak benar-benar menerima pernyataan yang menyebutkan minat baca anak-anak Indonesia rendah. Masalahnya bukan pada minat baca, namun akses terhadap bukunya yang sangat kurang. 

Anda yang hidup di kota dan dalam status sosial kaum mampu untuk membeli buku, persoalan memiliki buku mungkin tak jadi persoalan. Uang ada, toko buku dekat, dan membaca bisa sambil santai di rumah. Kondisi tersebut berbeda dengan anak-anak yang hidup di perkampungan pelosok Sukabumi. Sudahlah lokasi kampungnya jauh dari kawasan perkotaan, sekolah nyaris roboh, tidak ada perpustakaan, ditambah tidak mampu pula membeli buku. Kalau untuk mengakses buku saja begitu sulit, apa yang mau dirayakan saat Hari Buku Nasional seperti hari ini. 

Padahal, kepemilikan buku bagi anak-anak adalah penopang terwujudnya kualitas dan prinsip pendidikan yang berkeadilan. Anak-anak seharusnya memiliki hak dan akses yang sama untuk membaca buku. Tetapi kenyataannya kan tidak begitu. Anak-anak yang tinggal di pelosok mungkin akan mengernyitkan kening ketika membicarakan pendidikan berkeadilan. Wong sekolah mau rubuh gitu kok mau adil bagaimana, beda dengan bangunan sekolah di kota yang jauh lebih bagus. 

Sabumi Volunteer berani menunjukkan tentang kondisi dunia pendidikan pelosok Sukabumi yang carut marut. Di Cerengrang, Kutaluhur, Ciayunan, Jampang, dan banyak daerah lain kondisi fasilitas pendidikannya tidak memadai. Enggak usah membicarakan pemerintahnya kemana, ada kok Pemerintahnya. Bupatinya masih menjabat juga. Tetapi isu pendidikan pasti kalah seksi dengan isu kepariwisataan selalu dibicarakan saban hari. Bahasan Geopark Ciletuh, Jembatan Gantung Situgunung, dan beragam Curug di Sukabumi lebih menarik untuk dibahas. Tetapi, bukan itu persoalannya. 

Pesoalannya adalah siapa yang mau turun tangan mengatasi akses buku yang rendah pada anak-anak pelosok di Sukabumi. Jawabannya adalah tidak lain dan tidak bukan, ya warga Kabupaten Sukabumi itu sendiri. Sehingga, muncullah inisiatif sekumpulan anak muda untuk mendekatkan akses buku ke Pelosok Sukabumi. 

Anak-anak muda dari Sabumi Volunteer mendekatkan buku kepada anak-anak dengan mendirikan taman baca masyarakat (TBM) di lingkungan tempat tinggal mereka. Masyarakat yang ingin mendirikan TBM diminta untuk menyediakan tempat dan bersedia mengelola TBM-nya kelak. Cukup itu saja syaratnya. Pekerjaan besar selanjutnya adalah tugas Sabumi Volunteer yang mencari buku, mengumpulkan donasi, hingga mengantarkan ke lokasi. 

Pendirian TBM membuat anak-anak dapat mengakses buku dengan mudah. Mereka bebas membaca buku kapan saja mau itu pagi, siang, sore atau malam hari pun bisa. TBM biasanya didirikan di rumah warga, halaman rumah, ataupun menempel di bangunan sekolah (baik madrasah maupun sekolah biasa). 

Kenapa mendirikan TBM? Alasannya mendirikan sebuah TBM itu berbiaya murah, paling-paling harus menyediakan rak sederhana sebagai wadah untuk menyimpan buku. Jadi pengelola tidak mengeluarkan uang yang banyak apabila ingin mendirikan TBM.  

Setelah berdiri, TBM akan menjadi tempat berkumpul anak-anak. Mereka bisa membuka buku dengan bebas bahkan sambil bermain. Sistem pengelolaannya pun diserahkan kepada warga lokal setempat. Dari semua TBM yang didirikan tidak ada pungutan biaya bagi anak-anak yang ingin membaca buku. Semua gratis.

Nah, masalah yang sering diharapai relawan literasi Sabumi Volunteer itu adalah sering kehabisan stok buku ketika ada permintaan untuk mendirikan TBM yang baru. Kalau sudah begitu, para relawan meminta waktu sekitar sebulan agar bisa mengumpulkan buku secukupnya. Untuk mendirikan TBM yang baru, setidaknya membutuhkan 200 buah buku dengan beragam judul dan tema yang berbeda. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun