Sejak Pindah ke Sukabumi pada Februari 2016, saya mulai berkenalan dengan orang-orang yang bergiat di dunia literasi. Mereka telah membangun lebih dari 10 rumah baca pada kampung yang berbeda di Kabupaten dan Kota Sukabumi. Seorang kawan bernama Ifram mengenalkan saya dengan mereka yang kebetulan sedang berkumpul di Rumah Baca Bambu Biru, di Kampung Cibiru, Sukabumi. Dari perkenalan itu, saya menyatakan kalau berminat juga mendirikan rumah baca di rumah saya. “Coba saja kang, nanti kita bantu menyediakan buku,” jawab salah satu diantara mereka secara spontan.
Sebetulnya, saya bukan mau meminta untuk disediakan buku, tetapi meminta saran dan cara agar rumah baca bisa berjalan dan tidak berhenti di tengah jalan. “Pokoknya mah kang, kenal dulu dengan lingkungan rumah, biar warga merasa memiliki,” Kata kang Iponk waktu itu. Kang Ipong merupakan sosok digaris depan menggandeng teman-temannya untuk terus bergiat membangun rumah baca di Sukabumi.
Seiring waktu berlalu, rumah baca di rumah saya tak pernah terwujud, karena hanya anak-anak usia PAUD dan TK. Teman-teman anak saya yang berumur 4 tahun. Anak-anak usia SD yang diperkirakan sudah bisa membaca malah enggan berkunjung ke rumah. Saya dan istri sudah mengumpulkan buku untuk anak saya sejak si kecil baru lahir, makanya saya yakin bisa mendirikan rumah baca, meski jumlah bukunya tak begitu banyak. Tetapi apa daya, jadilah buku-buku si kecil tetap teronggok diraknya dan sesekali malah menjadi alat bermain anak saya dan teman-temannya.
Sadar dengan kondisi yang tak memungkinkan untuk mendirikan rumah baca. Maka saya meniatkan untuk membantu Rumah Baca Bambu Biru, kebetulan lokasinya tak begitu jauh dari rumah saya. Saya pun berbicara dengan Kang Pibsa sebagai pengelola rumah baca akan membantu mencarikan buku. Saya mengikuti saran teman-teman penggiat rumah baca untuk mencari buku dari pertemanan, komunitas, dan media sosial.
Saya pun mulai bergerilya mencari buku dengan mengontak teman, membagikan permintaan donasi di komunitas, dan beriklan di sosial media. Trik tersebut ternyata jitu, seorang teman dari Tangerang bernama Bang Luter mengatakan akan mengirimkan banyak buku. Tidak main-main rupanya, dia mengirimkan buku dengan berat paket 44 kg. Saya sumringah sekali ketika menerima buku tersebut. Saya betul-betul tak menyangka ada orang yang mau menyumbang buku sebanyak itu. Tak lama dari pengiriman itu, seorang teman yang berkerja di Kementerian Kehutanan pun memberi pesan akan segera mengirimkan buku juga. Sejujurnya saya senang bukan main atas dua kiriman tersebut.
Gayung bersambut, beberapa hari kemudian email saya dibalas dan Femina Group menyatakan akan memberikan 100 judul buku untuk di donasikan kepada Rumah Baca Bambu Biru. Ada jedah waktu satu bulan, hingga buku benar-benar bisa diterima dan disalurkan langsung ke rumah baca. Jadilah dari semua donasi itu dalam tempo beberapa bulan, buku bertambah lebih dari 200 buku.
Saat ini masih banyak orang baik yang menyumbangkan buku, sehingga buku yang awalnya hanya sekitar 200 buah. Kini, buku yang dimiliki Rumah Baca Bambu Biru berjumlah sekitar 1.200 buku dan rak telah bertambah satu buah. “Anak-anak senang sekali kalau ada buku baru,” kata kang Pibsa suatu kali ketika membicarakan tentang pengembangan kegiatan rumah baca.
Tidak ada Perpustakaan di Sekolah
Pendirian rumah baca yang lokasinya di rumah Kang Pibsa ini memang tampak disambut baik oleh anak-anak dan warga sekita, karena sekolah Madrasa Ibtidaiyah (MI) Kampung Cibiru tidak memiliki perpustakaan. Kondisinya sangat jauh dengan kondisi sekolah yang ada di perkotaan.