Foto : Stasiun kereta api kota Medan
Kapan Naufal jumpa oppung ke Medan? Empat tahun lalu, aku terakhir bertemu dengan ayah tepat pada hari pernikahanku. Rona wajahnya menunjukkan kegembiraan saat itu. Senang, dia selalu menawarkan senyum kepada setiap tamu yang menyalaminya. Aku adalah anak keempat dari enam bersaudara yang menemukan jodohku di tanah priangan ini, Kota Cianjur. Setelah menikah aku memang tak pernah bertemu dengan ayah lagi. Ada saja halangan untuk tak menyanggupi permintaan ayah untuk berkunjung ke Medan. Sampai kini, saat aku sudah memiliki anak berusia 3 tahun. Naufal, buah cintaku bersama Novi.
Tahun pertama kami menikah, waktu lebaran tahun 2012, Ayah memintaku pulang dengan alasan ingin melihat cucu laki-lakinya yang baru berumur sebulan saat itu. Setelah berdiskusi dengan dokter anak dan istriku, aku bilang pada ayah, “iya ayah, cucumu umurnya baru sebulan, tak bisalah dia dibawa kesana”. Resiko kalo dibawa di dalam pesawat”. Dokter anak sebagai rujukan kesehatan anak kami sebenarnya membolehkan Naufal berpergian dengan pesawat, perjalanan jauh ke Kota Medan. Tetapi istriku terlampau khawatir, apalagi Naufal adalah anak pertama kami. Dia tak mau terjadi hal di luar kekuasaan kami, tak mau kehilangan buah cinta pertama kami. Aku amini kekhawatirannya ini, meski berbalas kekecewaan pada dari ayah, “tak apalah nak, mungkin tahun depan kalian bisa pulang.”
Tahun 2013, sama seperti tahun sebelumnya. Sejak awal Ramadhan, Ayah mewanti-wanti agar aku bisa pulang ke Medan. “Kumpul keluarga besar Harahap kita tahun ini di rumah, pulang kau ya.”Sempat aku menyanggupi permintaannya. Istriku pun sudah setuju membawa Naufal ke Medan untuk bertemu Oppungnya. Ayah ingin sekali melihat cucu laki-lakinya. Sebagai anak laki-laki keturunan batak, Naufal adalah pembawa marga, cucu yang diharapkan kehadirannya di dunia. Namun, akhirnya rencana tinggallah rencana, aku tiba-tiba mendapat pekerjaan penelitian ke Kota Mataram. Pekerjaan yang sangat mendadak, karena seorang kawan yang seharusnya diutus ke sana mungundurkan diri dari tempatku bekerja. Berkali kali aku meminta maaf sama ayah, “maaf ya ayah, maaf. Kami tak bisa pulang ayah, Aku ditugaskan ke luar kota hingga menjelang lebaran. Setelah lebaran pun harus melanjutkan pekerjaan. Mendadak pula ngasih tahunya.” Ayah tak berkata banyak, “aku belum pernah melihat anakmu, cucuku, nak”, hanya itu yang dikatakannya.
Lebaran memang menjadi perayaan penting buat keluarga batak seperti keluargaku. Apalagi setiap tahun ada perkumpulan kerluarga besar semarga dari satu oppung. Lebaran ini sebagai waktu yang tepat mengenalkan anak-anak kepada keluarga besar, tujuannya agar kami para anak dan cucu bisa saling bertegur sapa mana tahu bertemu pada suatu kesempatan. Hari Lebaran ini pula biasanya orang tua menunjukkan kesuksesan anak-anaknya yang bekerja di luar kota. Tetapi hal yang paling penting bagi ayah adalah kerinduan pada anaknya. Anak yang jarang pulang sejak di bangku kuliah.
Selama kuliah 6 tahun mengejar gelar sarjana sosial, aku memang hanya sekali pulang ke Medan. Aku memutuskan untuk menghabiskan waktu di Kota Kembang, Kota Bandung. Rindukah aku sama ayah? Ya jelas rindu, anak mana yang tak rindu saja ayahnya. Aku tak pulang toh karena hasil didikan ayah, ayah sendiri yang bilang kalau belum sukses jangan coba-coba pulang ke rumah. Sayangnya saat mulai bekerja dan mengejar impian menggapai kesuksesan itu, waktu menjadi tak begitu bersahabat. Aku malah tak bisa pulang Karena tuntutan pekerjaan.
Tahun 2015, tahun ini aku bisa pulang ke Medan. Aku sudah memberi kabar pada adik dan abangku bisa berkumpul bersama di rumah, tempat kami dibesarkan. Mamakku senang bukan kepalang menyambut rencana keluarga kecilku pulang ke Medan. “Naufal ke Medan ya, nanti maen di ayunan oppung,” Tahun ini hanya ada Mamak, tak ada lagi ayah. “Doa ayahmu selalu menyertaimu nak, dia selalu mengharapkan kau pulang , berkumpul bersama abang, kakak, dan adikmu”, kata mamak saat aku menutup telepon.
Tahun 2014 lalu, sebetulnya aku pulang ke pulang ke Medan. Tetapi tak sempat bertemu ayah karena malah Ayah yang pergi. Ramadhan tahun lalu, ayah semakin melemah Karena penyakit gulanya. Kuajak istriku pulang. Kami harus membalas kerinduan ayah. Meski waktunya sempit, aku paksakan membeli tiket tepat sehari sebelum lebaran dan pulang 2 hari kemudian. Sayangnya, kali ini tidak sekedar waktu yang tak bersahabat, takdir Tuhan berkata lain. Pada malam lebaran tahun itu, sesampainya di Medan, kami langsung menuju rumah sakit Pirngadi Medan. Ayah sudah tak sadar lagi. Kugendong anakku Naufal, lalu Kutarik tangannya kearah tangan ayahku. Meski tak ada balasan genggaman tangan dari ayah. Tak ada lagi tawa dan senyum seperti yang kulihat terkahir kali pada hari pernikahan kami, “Ayah ini Naufal cucumu, cucumu ayah. Kata ayah mau ketemu cucumu.” Ayah tetap aja diam tak menjawab perkataanku. Hanya air mata yang menemani kesedihanku dan juga istriku malam itu. Kami merasa bersalah dan hanyalah penyesalan yang datang pada akhir peristiwa. Tak lagi ada ayah yang selalu berkata, “Kapan Naufal Jumpa Oppung?”
Ayah, rinduku padamu kutitipkan dalam cerita ini. Semoga kelak kita dapat bertemu. Aku segera pulang ke Medan, meski kau tak lagi menelpon dan menanti kami.
*Oppung : Sebutan kepada kakek
*Mamak : Sebuatan kepada ibu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H