Semestinya dukung-mendukung pemilihan Presiden sudah berakhir. Tak ada lagi saling sanjung, puji, singgung, cibir yang diungkapkan. Semua kelakuan itu selayaknya berhenti ketika Presiden yang baru telah dilantik. Namun itu hanya seperti oase di padang pasir. Kejengkelan akan kemenangan calon dipihak lawan, dan kekalahan dipihak kawan masih menggelayut dihati. Mereka yang menang pasti tak tahu betapa sakitnya berada dipihak yang kalah, dan mereka yang kalah juga tak menerima suka cita yang dirayakan pihak pemenang. Padahal mau tidak mau diujung dari sebuah kompetisi harus ada pemenang. Ya pemenangnya cuma satu, jadi Presidennya juga satu saja. Kalau ada dua pemanang berarti itu pemenang tandingan. Kayak kelakuan anggota DPR terhormat itu loh, bikin tandingan. Padahal jelas-jelas mereka itu tidak bisa bikin tandingan karena kalah jumlah suara.
Pasalnya, masalah copras capres ini merembet kemana-mana. Angggota DPR masih saja ribut dan terbelah menjadi dua kelompok sampai sekarang. Padahal tadinya, koalisi itu mereka bentuk untuk pemilihan Presiden. Anehnya koalisi-koalisian itu malah dibawa-bawa ke parlemen. Apa para anggota dewan yang terhormat itu lupa kalau rakyatlah yang memilih mereka. Apa juga lupa kalau mereka dipilih bukan dilotre. Sudah jelas begitu kelakuannya menjadi tontonan publik, kok masih ngaku-ngaku semua yang mereka lakukan demi kepentingan rakyat. Entah rakyat yang mana. Jangan-jangan mereka punya rakyat bentukan sendiri yang mau manut-manut melihat dagelan mereka itu.
Akibat copras capres itu dampaknya tidaklah kecil. Proses pemilihan Presiden itu dapat merusak sendi-sendi hubungan sosial antara kita yang disebut rakyat ini. Antara teman berkelahi, suami-istri pisah ranjang, dan sanak family tercerai berai. Bukan main ikatan persaudaraan dan kekerabatan luluh lantak dibuat pemilihan Presiden. Aku dan kamu tidaklah sama, aku memilih si A dan kamu memilih si B. Padahal, bukan perkara mudah merajut kembali tali silturahmi yang terputus. Ya namanya juga tali, kalau disatukan lagi akan ada bekas pada sambungannya.
Nah, persoalannya menjadi semakin pelik ketika imbas perseturuan tersebut turut mengusik Presiden dan wapres beserta kabinetnya yang mulai bekerja. Kalau dulunya saling serang antara dua kubu, kini serangan mulai diarahkan kepada pemerintah yang baru berkuasa. Ada saja yang salah dari tindakan Presiden dan menteri-menterinya, padahal yang mereka lakukan itu baru awalan dan belum memiliki dampak yang besar. Baru saja mulai bekerja, kesalahan demi kesalahan mulai dicari-cari. Pemerintah bikin bantuan buat orang miskin itu salah karena tak ada aturannya, niat membantu TKI itu salah karena bekerjanya tidak ilmiah, merumuskan strategi perikanan dan kelautan itu salah karena menterinya enggak enggak tamat SMA, sampai Presidennya juga salah karena tampangnya terlalu ndeso. Ok Baiklah, mungkin pemerintah yang berkuasa tetap harus dikontrol, namun fungsi pengawasan juga dilakukan sesuai dengan aturannya dan bukan sembarang ngomong sana-ngomong sini. Ujung-ujungnya bukan mengkritik malah cenderung nyinyir. Pokoknya Pemerintah salah!
Kalau sifat kenyinyiran ini terus diucapkan mau sampai kapan pun apa yang dilakukan pemerintah tetap saja salah. Jika kesalahan-kesalahan yang diungkapkan karena ketidaksukaan terhadap Presiden yang terpilih, maka kebencian demi kebencian akan terus ditunjukkan.Kebencian itu harus berhenti sampai disini. Ini bukan soal aku SUKA Jokowi dan Kau Suka Prabowo. Ini Soal pemerintah yang harus bekerja untuk kita, untuk rakyat. Kini, rakyat tinggal menanti bagaimana pemerintah bekerja demi kemaslahatan rakyat. Kalau ternyata pemerintah tak bekerja demi rakyat, maka marilah bersama-sama berteriak menuntut janji pemerintah, demi Indonesia yang berdaulat, seperti Janji Presiden Joko Widodo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H