Presiden baru-baru ini memberikan Kartu Indonesia Pintar (KIP) kepada keluarga kurang mampu untuk membantu meringankan biaya pendidikan anak-anak mereka. Penyaluran KIP tersebut sontak menjadi pemberitaan yang ramai dibicarakan, bagaimana tidak Presiden yang baru saja menjabat itu langsung dengan cepat membantu rakyatnya. Meski begitu, tidak sedikit orang yang mengkritik prosedur penyaluran dan mempertanyakan sumber dana bantuan tersebut. Ada juga yang curiga kalau KIP merupakan siasat pemerintah agar rakyat tak terlalu resah dan gelisah jikalau BBM benar-benar dinaikkan nantinya.
Bagi saya, bantuan pendidikan tersebut tidaklah istimewa dan tidak pula membuat Presiden dapat disamakan seperti sinterklas nan baik hati yang memberikan hadiah dengan percuma bagi anak-anak di negeri ini. Jangan sampai terlena karena negeri ini bukanlah negeri dogeng. Presiden sedang menjalankan tugasnya untuk memperhatikan sektor pendidikan. Apalagi pendidikan merupakan bagian dari amanat konstitusi. Pada Pasal 31 ayat 1 dan ayat 2 Undang –Undang Dasar 1945, dituliskan sebagai berikut: ayat (1)Setiap warga berhak mendapat pendidikan; ayat (2)Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; Berdasarkan Pasal 31 Ayat 1 dan Ayat 2 UUD 1945 tersebut dengan jelaslah dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan hak bagi rakyat dan pemerintah harus mengeluarkan anggaran untuk membiayai pendidikan dasar bagi setiap warga negara tanpa terkecuali. Jadi bantuan yang diberikan oleh pemerintah bukanlah semata-mata karena kebaikan sang Presiden, namun sudah menjadi kewajibannya untuk meningkatkan akses pendidikan bagi keluarga miskin sebagai bagian dari warga negara.
Atas dasar amanat konstitusi itu pula, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBN. Pada tahun 2014, anggaran pendidikan telah mencapai Rp 375,4 triliun dan direncanakan akan meningkat sebesar Rp 404,0 triliun pada tahun 2015 (sumber: baca disini). Anggaran itu bukanlah infaq atau sumbangan dari pemerintah ataupun dana pribadi Presiden Jokowi. Namun uang sebanyak itu adalah milik negara yang penggunaannya dimanfaatnya semaksimal mungkin demi kepentingan rakyat.
Anak-anak dari keluarga miskin memang harus lebih diperhatikan, karena kesempatannya mengakses pendidikan tidak sebaik anak-anak dari keluarga kaya. Selain itu, biaya pendidikan itu tidaklah murah. Walau uang iuran sekolah digratiskan pun, orangtua dari keluarga miskin juga harus membeli baju seragam, buku tulis, sepatu, biaya transportasi maupun biaya pendidikan lainnya. Karena biaya pendidikan yang tidak murah itu mengakibatkan tidak sedikit anak-anak yang putus sekolah dan tidak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.
Pemerintah memang harus hadir melindungi rakyatnya dengan mendukung para orang tua dari keluarga miskin, agar tetap mampu menyekolahkan anak-anak mereka. Pemerintah juga harus terus diingatkan untuk membangun dan membiayai berbagai lembaga pendidikan yang berkualitas bagi rakyatnya. Bukan apa-apa, jika pemerintah setengah hati memperhatikan pendidikan bagi kaum miskin, bisa jadi negeri ini kehilangan banyak orang-orang yang mungkin saja bertalenta seperti Soekarno, Hatta, Habibie, Emil Salim, dan banyak cerdik pandai lainnya, karena tidak memperoleh peluang untuk mewujudkan cita-cita hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H