[caption id="attachment_338279" align="aligncenter" width="300" caption="Iwan Fals (foto: Alex Palit)"][/caption]
Dalam politik tak ada yang tak ada, segala kemungkinan bisa terjadi, termasuk menghalalkan cara nyolong suara disertai penyematkan hadiah. Inilah gambaran dunia politik sebagaimana diungkap Iwan Fals pada lagu “Asik Nggak Asik” di album “Manusia ½ Dewa”. Setidaknya gambaran politik ini tercermin pula pada realita politik kita hari ini di Pilpres 2014.
Dunia politik memang asik nggak asik, kadang asyik kadang nggak, di situ yang asyik, begitu kata Iwan Fals. Meski didalamnya dipenuhi intrik dan kecurangan seperti dengan memanipulasi perolehan suara, seperti kata Iwan, colong sana colong sini. Seperti orang nyolong mangga, kalau gak nyolong gak asik.
Iwan Fals memang bukan politikus atau pengamat politik, ia hanyalah seorang penyanyi yang lagu-lagunya banyak mengangkat tema sosial. Lewat media komunikasi bahasa musik dan nyanyian Iwan melontarkan kritiknya, termasuk melontarkan kritikan politiknya seperti di lagu “Asik Nggak Asik”.
Bahkan Iwan mengibaratkan dunia politik itu dunia politik seperti orang adu jangkrik kalau nggak ngilik nggak asyik. Juga seperti orang main catur, kalau nggak ngatur nggak asyik. Di mana para pion-pionnya bingung nggak bisa mundur, nggak mungkin kabur, sementara raja tenang gerak selangkah sambil menyematkan hadiah. Rakyat nonton jadi supporter beri semangat jagoannya, walau tahu jagoannya ngibul.
Kalau di catur pion tidak bisa disogok. Sedang di percaturan politik, pion baru bergerak melangkah kalau sudah disogok. Sementara raja cukup gerak selangkah sambil menyematkan hadiah berupa money politics. Dan permainan uang adalah salah satu senjata yang paling sering digunakan dalam praktik politik. Apa yang diungkapkan lewat lagu ini sebenarnya luapan kritikan tajam Iwan terhadap maraknya politik uang dan colong-colongan suara seperti memanipulasi data pemilih atau patpat-kulipat pada penghitungan suara.
Dan apa yang diungkap di lagu “Asik Nggak Asik” kini digelar di persidangan gugatan sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK) dan sidang kode etik di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Di mana kubu Prabowo – Hatta sebagai penggugat (pemohon) mensinyalir terjadi adanya kecurangan-kecurangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menjalankan pelaksanaan Pilpres 2014.
Proses persidangan ini menghadirkan dan meminta keterangan kesaksian para saksi dari kubu pasangan capres – cawapres No.1 sebagai pihak yang merasa dirugikan atas tindak kecurangan-kecurangan dan pelanggaran, termasuk pelanggaran kode etik dilakukan oleh KPU sebagai penyelenggara Pilpres 2014. Di mana dalam gugatan ini dinilai bahwa integritas profesionalisme, netralitas dan independensi KPU sudah terkontaminasi oleh kepentingan politik pragmatis memuluskan pemenangan pasangan Jokowi - JK.
Terlepas apa putusan MK dan DKPP atas gugatan sengketa Pilpres 2014 dan pelanggaran kode etik ini nanti. Setidaknya inilah realita dunia politik kita di hari ini, di mana politik uang, memanipulasi penghitungan perolehan suara dan pelanggaran kode etik dalam penyelenggaraan pilkada atau pemilu masih masif terjadi, termasuk di Pilpres 2014 sebagaimana tersingkap dan terungkap yang kita saksikan di sidang MK dan DKPP. Kalau nggak nyolong nggak asik!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H