Saya di sini tidak ingin mempersoalkan ada tidaknya agenda politik di balik perhelatan konser "Musik Untuk Republik" melibatkan tak kurang 60 grup band dan penyanyi kondang yang digelar tiga hari - tiga malam secara gratis dan tanpa iklan sponsor pula, 18 - 20 Oktober, di Bumi Perkemahan Cibubur, Depok -- Jawa Barat.
Tapi yang pasti bahwa pemberitaan media hari ini masih tidak beranjak dari demo mahasiswa & pelajar menentang RUU bermasalah.
Dan hari ini pula media masih memberitakan hamparan derita tangisan lagu "Menangis" Franky Sahilatua (Ciptaan: Franky S & Iwan Fals), atas bencana alam karhutla di Sumatera dan Kalimantan.
Hari ini pula media masih memberitakan hamparan derita para pengungsi lagu "Bencana Tanah Negara" (Leo Kristi), atas bencana alam gempa bumi di Ambon.
Hari ini pula media masih memberitakan derita tangisan para keluarga korban dan para pengungsi lagu "Bla Bla Bla"Â - God Bless, ciptaan Ian Antono & Remy Soetansyah, atas tragedi kemanusiaan Wamena.
Bukan berarti hari ini kita tidak merasakan arti gema nyanyian "Di Bawah Tiang Bendera" -- Franky Sahilatua & Iwan Fals.
Dengan gelaran konser "Musik Untuk Republik" yang digelar tiga hari -- tiga malam kita diajak bergembira, bereuforia, berjingkrak dan berjoget ria menikmati lagu apa saja, atau berteriak teriakan yel-yel menyambut "Rock Star" tampil di atas panggung.
Tapi lihat, di sana, di seberang sana, ada jutaan mata memandang dengan tatapan sedih dan marah.
Di sana, di seberang sana pula ada ribuan saudara kita para pengungsi yang masih membutuhkan uluran tangan.
Semoga dengan ketiga lagu tersebut; "Menangis", "Bencana Tanah Negara" dan "Bla Bla Bla" akan menggugah hati nurani dan rasa kemanusiaan kita, dan bukan berkilah mencari pembenaran cerita di balik berita atas nama tagline "Lagu Kita Tetap Sama: Indonesia Raya".
Alex Palit, citizen jurnalis, pendiri "Forum Apresiasi Musik Indonesia" (Formasi)