Mohon tunggu...
Alex Palit
Alex Palit Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Membaca Bambu Mengungkap Makna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

[Surat Buat Prabowo Subianto] Becik Ketitik Ala Ketara

19 Februari 2018   19:42 Diperbarui: 19 Februari 2018   20:02 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasehat guru bijak mengajarkan: diam itu emas

Ia akan menjadi sahabat pendamping untuk merenung

Ia akan menjadi sahabat sejati yang tidak pernah berkhianat

Ia akan menjadi penasehat ulung di kala kita sedang menimbang sesuatu

Ia adalah cahaya pengetahuan utama manusia yang akan mengajarkan kepada kita kata bijak

Diam itu bukan berarti membisu, ia mendengar, ia mengajak kita untuk merenung sampai tiba saatnya, baru berkata

Ketika "diam itu emas", kata-kata menjadi berlian

Kita sering menilai bahkan mengadili sesorang secara tidak fair, tidak berimbang bahkan sampai memvonisnya hanya atas dasar asumsi. Kita sering pula secara serta-merta menuding, menghujat bahkan sampai memfitnah dengan tendensi untuk mempersalahkan orang lain walau hanya atas dasar prasangka atau asumsi tanpa dukungan data bukti-bukti faktual sekalipun. Sementara kita seakan lupa atau melupakan baik-baiknya, jasa-jasanya, prestasi keberhasiannya yang pernah ditorehkan tidak dipujikan atau diacungi jempol. Malah kalau perlu ditutup-tutupi, atau kalau perlu file-nya dihapus untuk tidak diingatkan lagi, dihilangkan, seakan semua itu tak pernah ada.

Kita juga sering bersikap naif dalam melakukan penilaian terhadap seseorang dengan tidak objektif, termasuk ketika menelusuri atau membolak-balik halaman rekam jejak seseorang, justru kejelekkannya yang dicari-cari, dikorek-korek, diungkit-ungkit, dibeberkan untuk dimunculkan, sementara jasa-jasanya dilewati. Dicari jeleknya buat dicaci, dihujat dan dipersalahkan, sebaliknya yang baik-baiknya tidak dipujikan dan diacungi jempol. Itulah! Demi hasrat kekuasaan duniawi sering menjadikan kita tidak lagi punya  timbang rasa.

Sementara sejarah selalu mengajarkan kepada kita warisan kearifan budaya lokal nenek moyang dengan apa yang disebut mikul dhuwur mendem jero. Lewat pengenalan mikul dhuwur mendem jero, kita senantiasa diajak untuk menimbang segala sesuatu secara lebih arif, angkat yang baik, kubur yang tidak baik, demi kebaikan yang jauh lebih besar lagi. 

Meski menorehkan satu luka perasaan, tapi tidak merubah "Sang Rajawali" menjadi mahluk picisan. Meski namanya hingga kini terstigmatisasi oleh aneka sangkaan yang ditudingkan kepada dirinya, ia tetap tegar menghadapinya dan tidak pula merengek minta dibela, dikasihani. Ia tetap yakin pada pepatah filosofi hidup 'becik ketitik, ala ketara' yang baik akan tampak dan yang jelek akan terungkap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun