Seperti banyak disebutkan oleh para filsuf, keindahan musik bukan hanya terletak pada permainan harmonisasi nada, melodi, dan lirik, melainkan pada dialektika bunyi. Pada dialektika bunyi inilah artikulasi sebuah lagu memancarkan makna dan auranya.
Dalam wacana seni realisme, keindahan bunyi pada bahasa musik tidak sekadar bermakna ungkapan simbolik, tetapi juga merepresentasikan sebuah narasi atas realitas sosial yang biasanya selalu dikaitkan dengan pokok-pokok persoalan humanisme (kemanusiaan).
Musik sebagai media komunikasi tidak ada bedanya dengan bahasa, yaitu suatu artikulasi bunyi yang bermakna lebih dari sekadar instrumentasi bunyi yang di dalamnya dapat mengungkapkan pesan-pesan, gagasan-gagasan, atau bahkan berupa pernyataan sikap yang di dalamnya dapat bersifat kemanusiaan, sosial, politik, dan budaya.
Tidak mengherankan bila kemudian disebutkan bahwa musik mengambil peran cukup penting dalam kehidupan. Itulah sebabnya jiwa suatu masyarakat atau bangsa dapat dipelajari dari watak musiknya.
Dalam konteks seni, pemahaman tentang estetika itu selalu berhubungan dengan ungkapan nilai keindahan, kebaikan dan kebenaran. Sebagaimana dikatakan filsuf Plato, bahwa sumber rasa keindahan adalah cinta kasih. Karena adanya kecintaan, maka manusia selalu ingin kembali menikmati apa yang dicintainya itu. Rasa cinta pada manusia ini bukan hanya tertuju pada keindahan, tetapi juga kebaikan (moral) dan kebenaran (ilmu pengetahuan). Tak heran bila kemudian Plato menempatkan musik memiliki pengaruh cukup kuat dalam bidang kehidupan. Bahkan disebutkan, musik tidak sekadar sebagai sarana hiburan, juga mencerminkan moralitas suatu masyarakat.
Menurut Filsuf Plato dalam bukunya yang sangat terkenal, yaitu Republik, musik mempunyai peran cukup kuat dalam kehidupan termasuk dalam kehidupan kenegaraan. Menurutnya, musik memiliki pengaruh cukup kuat di bidang politik. Musik dapat menggambarkan kekuatan, kebaikan maupun kejahatan. Bahkan kejayaan atau keruntuhan suatu negara dapat disebabkan watak musiknya
Masyarakat yang memandang musik hanya sebagai hiburan semata, sebagai alat untuk bersenang-senang, serta sebagai media umtuk mabuk-mabukan, pastilah masyarakat bermoral rendah. Dalam hal ini, Plato menempatkan musik tidak semata-mata sebagai hiburan, tetapi mampu menyentuh perasaan dan mengandung pedoman-pedoman atau arahan-arahan yang tertuang di dalam syair yang diungkapkan dalam musik.
Jadi dalam berkarya, seorang seniman sudah seyogyanya tidak hanya menuangkan kebebasannya dalam berekspresi, tetapi juga mampu membangkitkan kesadaran pada nilai humanisme (kemanusiaan) dengan cara memahami realitas sosial sekaligus memberikan makna pada kehidupan. Tahapan pendewasaan dalam menyerap dan memahami karya seni yang berpijak pada realitas sosial inilah yang akan membawa manusia pada transformasi kesadaran yang pada akhirnya berkembang sebagai sebuah gerak dialektika.
Untuk memahami sebuah karya musik secara total memang diperlukan sebuah wacana apresiatif karena musik itu sendiri merupakan sebuah ungkapan ekspresi dari perasaan atau pikiran seniman yang di dalamnya mengandung nilai estetika, spiritual, etika, moralitas, atas penggambaran sendi-sendi bangunan realitas sosial atau nilai-nilai sosial yang hidup di tengah masyarakat. Melalui ungkapan simbolisasi lirik, syair atau bait-bait yang terkandung di dalam lagu-- atau bahkan nada-nada itu sendiri -- pencipta lagu mengutarakan ragam pesan yang pada akhirnya akan diterima, dinikmati, dipahami, dihayati, dan dimaknai oleh penikmat atau pendengarnya.
Sekarang tinggal bagaimana mengintegrasikan musik sebagai sebuah karya seni dalam kegiatan besar manusia yang bernama kebudayaan dan bidang kehidupan lainnya. Sebagaimana kodratnya, musik bisa ditempatkan jauh lebih spesifik lagi. Tidak sekadar sebagai hiburan semata, melainkan juga mewartakan kaidah-kaidah kebenaran dan kebajikan serta membebaskan manusia dari segala bentuk jeratan keirasionalan dan kesadaran semu serta melawan segala bentuk dehumanisasi.
Dalam kehidupan politik, musik dapat berfungsi sebagai kontrol sosial dengan cara melakukan kritik sosial dalam mengungkapkan beragam persoalan yang terjadi di masyarakat. Misalnya pelanggaran hak asasi, kepincangan sosial atau ketidakadilan. Tema-tema tersebut dapat diangkat menjadi narasi, tema lagu, atau nyanyian sebagai bentuk kepekaan, kepedulian, dan tanggung jawab sosial seniman. Bahkan bahasa lagu jauh lebih mampu berbicara karena memiliki relevansi sosial yang mampu menembus sekat ruang dan waktu.