Mohon tunggu...
Ikhwan Wahyudi
Ikhwan Wahyudi Mohon Tunggu... Administrasi - membaca menambah wawasan, menulis menuangkan pemikiran, berdiskusi mengasah gagasan

membaca menambah wawasan, menulis menuangkan pemikiran, berdiskusi mengasah gagasan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bisakah Bisnis MLM Menyejahterakan Bangsa?

9 Januari 2014   12:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:59 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Seorang sahabat yang sudah lama tidak berkomunikasi dengan saya, tiba-tiba saja menelpon. Pada awalnya ia bertanya kabar dan aktivitas sehari-hari. Anehnya, pembicarannya terkesan sok hangat bin akrab.Jelas ini tidak lazim karena bukan karakter beliau yang biasa saya kenal.

Karena sejak kuliah saya diajarkan oleh dosen satu filosofi bagaimana hakikat prilaku manusia " sikap sama dengan kepentingan" saya mulai curiga. Semakin lama ia mulai menyerempet membahas pekerjaan dan pencapaian hidup saya.

Dari pengalaman saya selama ini, kalau seseorang yang sudah lama tak berkomunikasi dengan kita, tiba-tibak sok akrab dan mulai membahas pencapaian hidup kita, hawa-hawanya dua atau tiga kalimat lagi akan muncul tawaran bisnis baru dan tentu saja itu adalah multi level marketing.

Ternyata oh ternyata kecurigaan saya untuk kesekian kalinya terbukti karena pola penawaran bisnis MLM masih menganut staus quo. Basa basi menjalin silaturahmi dengan seluruh kenalan lama karena ada kepentingan untuk memprospek bisnis MLM adalah silaturahmi yang paling kering, garing tidak tulus dan ikhlas. Tentu saja ini tidak dilarang, tapi mengapa alasan menyapa sahabat hanya karena ingin memprospeknya. Diluar itu saat lebaran, ulang tahun, atau agenda lainnya tak terpikir untuk sekadar berkirim pesan seluler.

Ah, kembali ke topik tadi. Ia menawarkan saya bergabung dengan bisnis barunya. Tidak main-main ia bercerita bisnisnya dengan semangat 45 itu akan menyejahterakan bangsa ini. Tidak hanya itu, negara ini akan dibeli. Ngeri-ngeri sedap saya mendengarnya. Dengan lugu saya bertanya ,kira-kira berapa uangnya sampai akan membeli negara ini ? Saya pun bertanya emang siapa yang telah menjual bangsa Indonesia sampai ente mau membelinya. Trus berapa harga bangsa ini ? terus terang saya tersinggung. Cukup sudah Indonesia dijajah Belanda dan Jepang, sekarang bisnis ente mau membeli bangsa ini. muka gila, mana ada jual beli negara sekarang ?

Sahabat saya tertawa mendengar pertanyaan saya. Penjelasannya pun semakin teknis. Jika saya bergabung dengan bisnisnya bayar sekian kemudian membangun jaringan , maka dalam waktu sekian bulan tinggal ongkang-ongkang kaki , tanpa kerja keras lagi penghasilan puluhan hingga ratusan juta akan saya terima.

Setelah ia selesai menjelaskan semuanya, saya pun memberikan apresiasi dan dukungan atas bisnis yang sedang digarapnya. Saya dukung penuh karena kalau beliau sukses saya turut bahagia. Karena ia sahabat saya, dengan halus saya menolak dengan alasan bukan tipe orang yang cocok menjalankan bisnis MLM.

Tentu saja, sahabat saya berusaha keras meyakinkan bahwa kalau saya menolak tawarannya bergabung dengan bisnisnya, itu adalah kesalahan terbesar yang saya lakukan dalam hidup ini dan akan menyesal seumur hidup dunia akhirat. Ia meyakinkan semua orang bisa bergabung dengan bisnis itu dan tidak perlu kemampuan apapun karena bisa dipelajari. Apalagi bisnis itu katanya adalah solusi atas segala-galanya, jangankan mensejahterakan diri sendiri, Indonesia saja mau dibeli.

Tentu saja kegigihannya perlu diapresiasi. Seorang pengusaha harus gigih dan pantang mundur. Pasti dalam pelatihan-pelatihan yang diikutinya, orang-orang yang menolak seperti saya akan disebut sebagai orang yang memiliki mental blok yang negatif, pikiran sempit, tidak mau maju, sulit menerima perubahan dan akan melarat seumur -umur karena menolak tawarannya.

Ia pun menganalogikan apa yang sedang dilakukannya ibarat sedang bermain bola kaki. Penonton akan merasa lebih hebat dan terus menyoraki setiap pergerakan yang dilakukan pemain. Kalau pemain mencetak gol akan dipuji, kalau kalah akan dimaki. Namun setidaknya pemain sudah mencoba bermain ketimbang penonton yang hanya duduk mengamati diluar lapangan.

Saya hanya diam saja, sambil dalam hati berpikir apa benar ia sedang bermain bola dan saya yang menolak adalah seorang penonton. Kalau dipikir-pikir menurut saya pola berpikir analoginya agak keliru. Jika memang saya adalah penonton seharusnya ia berterima kasih sudah ada yang mau menonton dan memberi komentar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun