Mohon tunggu...
Ikhwan Wahyudi
Ikhwan Wahyudi Mohon Tunggu... Administrasi - membaca menambah wawasan, menulis menuangkan pemikiran, berdiskusi mengasah gagasan

membaca menambah wawasan, menulis menuangkan pemikiran, berdiskusi mengasah gagasan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Revolusi Desa Mendobrak Kebuntuan Pembangunan

30 November 2014   06:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:28 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_338698" align="aligncenter" width="480" caption="Buku Revolusi dari Desa Saatnya Dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya Kepada Rakyat karya Bupati Malinau Dr Yansen TP (Foto : Ikhwan Wahyudi)"][/caption]

Seakan telah menjadi kelaziman,  menjelang pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia, desa menjelma menjadi   gadis  cantik mempesona, layaknya primadona elok  di mata para politisi. Deretan janji manis laksana angin surga terngiang-ngiang merdu  meluncur manis dari mulut calon wakil rakyat kepada warga desa.

Pada musim kampanye apapun yang menjadi persoalan warga desa akan segera dicarikan jalan keluarnya. Tak perlu khawatir, jalan dibuat,  bila perlu diaspal hingga ke pinggir sawah. Jembatan dibangun, kalau belum adanya sungainya tak usah khawatir  sekalian sungainya  disiapkan.

Hasil pertanian akan ditampung dan dibantu memasarkannya. Bibit unggul  dibagikan, pupuk tersedia dengan lengkap dan murah. Anak-anak desa tak usah cemas menatap masa depan, ada beasiswa pendidikan hingga ke perguruan tinggi.

Harapan dan janji manis itu  tersebut selalu terngiang di telinga warga desa setiap pelaksanaan pemilu. Tentu saja  warga desa diliputi kebahagian melimpah ruah. Hilang sudah penat seharian mencangkul disawah karena kesulitan yang mendera selama ini .

Namun,  apa hendak dikata, janji tinggal janji, pemilu silih berganti. Yang desa tetap seperti dulu masih terbelakang, politisi boleh silih berganti datang tiap pemilu yang nasib seakan enggan berubah, janji tinggal janji.

Melihat dan membandingkan kondisi desa dengan ibu kota negara, ibarat melihat Indonesia dengan satu tubuh tapi dua wajah yang saling berjauhan dan amat timpang. Ibu Kota sangat boros dengan segala bentuk pembangunan . Jalan yang sudah diaspal pun akan dilapis berulang-ulang. Sementara, saat melangkah ke desa akan terasa ada ketimpangan amat jauh dari sisi pembangunan.

Jika disatu sisi wajah Tanah Air amat glamor, penuh dengan riasan kosmetika pembangunan dan kemewahan, pada bagian lain ada wajah lesu  kuyu yang kehilangan harapan dan masih terus menanti.

Pertanyaanya apakah orang desa tidak layak menikmati kue pembangunan . Kenapa mereka selama ini hanya menikmati pembangunan laksana trickle down effect atau hanya menerima tempias dan tetesan kecil kue saja setelah habis dilahap di kota. Mengapa mereka hanya menjadi komoditas suara dengan segudang janji ketika kampanye.

Paradigma Pembangunan Desa

Sejak era kemerdekaan pemerintah telah menggunakan  sejumlah pendekatan   dalam membangun desa.  Pada awalnya digunakan paradigma pertumbuhan yang mengedepankan  pertumbuhan ekonomi secara masif yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, ternyata pendekatan pertumbuhan tersebut hanya menguntungkan sekelompok kecil masyarakat. Sedangkan sebagian besar masyarakat apalagi di desa masih tetap miskin sehingga muncul istilah yang kaya semakin kaya dan yang miskin kian susah.

Kemudian, muncul paradigma pemerataan  yang mengedepankan prinsip kue pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh kalangan secara merata. Paradigma pemertaan menggunakan pendekatan top down atau dari atas ke bawah  agar  pembangunan dapat dinikmati oleh masyarakat serta kemiskinan dapat dientaskan.

Karena dirasakan pendekatan pemerataan juga belum maksimal, kemudian muncul gagasan untuk menggunakan pendekatan baru yaitu pendekatan pembangunan yang berpusat pada sumber daya manusia. Sejalan dengan pendekatan ini, juga ditemukan paradigma baru yaitu  pembangunan partisipatif.

Pembangunan partisipatif menggunakan prinsip pemerintah bertugas sebagai fasilitator dan dinamisator yang menyalurkan aspirasi dan keinginan masyarakat agar tepat sasaran . Pendekatan pembangunan partisipatif menjadi benang merah buku yang ditulis Bupati Malinau Yansen TP beranjak dari pengalaman langsungnya melalui Gerakan Desa Membangun (Gerdema).

Jika selama ini desa selalu mendapatkan remah-remah kecil kue pembangunan, Yansen menyadari bahwa ada pendekatan yang salah, sehingga dalam buku setebal  196 halaman yang berjudul Revolusi dari Desa Saatnya  Dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya Kepada Rakyat  ia memaparkan upaya yang dilakukan dengan memulai pembangunan dari desa.

Buku ini menjadi berbeda dengan buku sejenis yang bercerita tentang  pembangunan desa karena Yansen mencoba memaparkan konsep  yang  telah diaplikasikan langsung pada  106 desa di Malinau. Tidak hanya itu apa yang dilakukan pun mendapat penghargaan Innovative Goverment Award dari Kementerian Dalam Negeri Pada 2013.

Oleh sebab itu ada beberapa catatan yang bisa diberikan terkait buku yang diterbitkan Elex Media Komputindo tersebut, pertama, jika ditilik lebih jauh sebenarnya  pesan yang hendak disampaikan melalui buku tersebut adalah sebuah terobosan baru untuk mendobrak kebuntuan pembangunan terutama pada masyarakat desa. Pesan yang disampaikan menjadi kuat dan bermakna karena apa yang ditulis telah  diaplikasikan langsung.

Kini warga desa di Kabupaten  Malinau dapat menentukan sendiri kebutuhan mereka karena pemerintah kabupaten mengucur dana hingga Rp1,2 miliar . Dengan dana yang ada tersebut setidaknya kebuntuan pembangunan yang selama ini terjadi mulai terurai. Ketika masyarakat diberikan keleluasaan menentukan apa yang dibutuhkan maka partisipasi menjadi tinggi dalam pembangunan.

Kedua, pada 2014 setelah melalui proses yang panjang dan berliku akhirnya DPR bersama pemerintah mengesahkan UU Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Namun, para legislator yang terlibat langsung dalam proses pembuatan UU tersebut perlu merasa malu kepada Bupati Malinau karena jauh sebelum UU itu digagas apa yang tengah digodok di DPR telah dipraktikan di lapangan.

Jika proses pembuatan UU Desa itu butuh proses panjang, pendapat para pakar dan ahli, perdebatan , hingga studi banding ke luar negeri sehingga biaya yang dikeluarkan terbilang besar, di Malinau untuk membuat hal serupa tidak menghabiskan sumber daya sebesar itu. Ini agaknya membuka mata kita semua untuk suatu terobosan tak perlu sesuatu yang mahal.

Ketiga, mungkin sebelumnya tak banyak yang tahu dimana Malinau. Tetapi dibalik ketidakpopuleran itu dari sudut Kalimantan sana lahir konsep besar yang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mandiri. Memberikan kepercayaan kepada masyarakat dalam proses pembangunan masih barang langka karena rakyat dianggap tidak tahu apa-apa. Sementara ada begitu banyak pakar pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di kota kota besar hingga ibu kota negara. Namun, ditengah keterbatasan yang dimiliki sebagai daerah pemekaran tidak menghalangi untuk melakukan terobosan.

Keempat, sebagai daerah pemekaran baru, Kabupaten Malinau mementahkan hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri yang menyatakan hampir 78 persen daerah yang dimekarkan gagal dalam mewujudkan cita –cita untuk mensejahterakan masyarakat. Jika pemekaran dianggap sebagai eforia semata untuk memberikan akses kepada elit lokal untuk mendapatkan kursi kekuasaan, Malinau merupakan salah satu dari 22 persen daerah pemekaran yang berhasil membuktikan bahwa tidak melulu pemekaran adalah bagi-bagi kekuasaan sementara rakyat tetap sengsara.

Namun, satu hal yang menjadi catatan dari buku ini adalah ketiadaan daftar pustaka dimana hal itu merupakan sesuatu yang urgen untuk melihat lebih luas konsep-konsep dan teori pembangunan desa yang banyak dikutip dari berbagai ahli. Pada Bab I banyak diambil sejumlah konsep dan pendapat ahli, tapi tidak dicantumkan pada daftar pustaka sehingga pembaca yang ingin tahu lebih dalam menjadi terkendala.

Tetapi, apa yang dilakukan Yansen di Malinau setidaknya memberikan pesan kepada segenap elemen bangsa, keterbatasan bukan kendala untuk tetap bisa menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi kemaslahatan orang banyak karena sebenarnya yang paling utama ada itikad dan kemauan yang kuat.

Judul buku : Revolusi dari Desa | Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat.

Penulis: Dr Yansen TP., M.Si.

Editor: Dodi Mawardi.

Penerbit: PT Elex Media Komputindo.

Halaman: xxviii + 196 halaman

Tahun: 2014

ISBN: 978-602-02-5099-1

[caption id="attachment_338699" align="aligncenter" width="600" caption="Bupati Malinau Dr Yansen saat acara Kompasiana Nangkring mengupas buku Revolusi Dari Desa (Foto : Ikhwan Wahyudi)"]

1417276939627437540
1417276939627437540
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun