Mohon tunggu...
rindu keadilan
rindu keadilan Mohon Tunggu... -

muslim yang sedang belajar

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bukan Siti Nurbaya

27 Januari 2011   07:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:08 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laki-laki dan perempuan, merupakan makhluk yang Allah SWT ciptakan dengan style berbeda. Laki-laki bertubuh kekar, sedang wanita berotot lembut. Laki-laki lebih banyak menggunakan rasional, sedang wanita lebih banyak menggunakan perasaaan. Laki-laki secara fitrah berjiwa memimpin perempuan, sedang perempuan secara fitrah butuh kepemimpinan lelaki. Dengan perbedaan ini, Allah menunjukkan kebesaran-Nya. Dua jenis manusia yang jika bersama akan saling menutupi kekurangan, melejitkan kelebihan, memiliki perasaan tenang, dan kenikmatan2 lain yang diberikan-Nya.

Menikah...jika seorang laki-laki dan perempuan saling memiliki kecenderungan, menikah adalah jalan terbaik dan yang diridhoi oleh tuhan. Mereka akan mendapatkan apa yang selama ini tidak mereka dapatkan. Mereka akan merasakan apa yang selama ini tidak mereka rasakan.

Ini yang menjadi jawabanku ketika ada beberapa teman yang bertanya, “Gimana rasanya habis nikah?”. Undefined. Tidak bisa dijelaskan dengan kata maupun gambar atau grafik. Alhamdulillah, tanggal 17 kemarin adalah bulan ke tiga hari jadi kami. Meski sudah menikah 3 bulan, baru saya rasakan berumah tangga selama tiga minggu. Yah, kewajiban saya menyelesaikan amanah kuliah yang belum selesai membuat kami harus menjalani LDR. Suami saya bekerja di pulau seberang, Kalimantan. Sedang saya masih kuliah di Semarang. Komunikasi kami memang tidak pernah putus, bisa jadi sms sehari di inbox sampai lebih dari 50 message, telpon pagi, sore, malem juga ga pernah berhenti kecuali memang di kantor lagi super sibuk, atau saya yang sedang ada acara juga... Hmm, itu semua kami nikmati... Berasa masih ABG yang lagi pacaran aja... Maklum, kami menikah tidak dengan pacaran seperti calon pengantin sekarang pada umumnya. Kami menikah karena perjodohan, proses yang dianggap kuno oleh sebagian masyarakat. Tapi inilah jalan yang kami pilih. Hanya 52 hari proses ini berawal hingga akad terucapkan.

Kami dikenalkan oleh guru ngaji saya. Tapi banyak yang bertanya, “Koq bisa semarang dapat kalimantan? Tetanggaan ya dulu? Temen sekolah ya?” Dan dengan lantang aku menjawab, “Kalau Allah sudah menghendaki, apa saja bisa terjadi.” Kadang aku lanjutkan, “Jodoh kan satu dari rejeki yang sudah Allah tuliskan di lauhl mahfudz (kitab ketetapan manusia ketika ditiupkan ruhnya), nama dan orang sudah Allah tetapkan, tapi keadaan ketika bertemu dan bagaimana proses bertemunya itulah yang menjadi bagian dari iktiar kita.” Begitulah, aku (dan ternyata dia juga) sama-sama meyakini kebaikan jodoh yang Allah tunjukkan melalui jalan ini. Sosok yang sama2 tidak kita kenal, jangankan wajahnya, namanya saja masih asing di kepalaku.

Baiklah, aku cerita dari awal...

Ibunda suamiku lah orang pertama yang memiliki inisiatif atas perjodohan ini. Beliau adalah juga ibu dari adik kosku, teman sekamarku dulu. Dulu memang beberapa kali beliau sempat kontak2 denganku, menanyakan kabar putrinya kalau hp putrinya sedang tidak bisa dihubungi, atau sekedar menitipkan pesan pemberitahuan kalau putrinya mau pulang. Hanya satu tahun aku sekos dengan putri ibu tersebut. Dan dua tahun berlalu... Tiba2 beliau menghubungiku kembali. Memang sudah wajar aku dihubungi sama ibu beberapa adik tingkat di kampusku, karena aku memang menjalin komunikasi dengan mereka sejak awal registrasi mahasiswa baru. Tapi ibu yang satu ini cukup unik, beliau meneleponku pertama kali (setelah sekian lama kami tidak saling berhubungan) menanyakan kabar putrinya yang dulu sekamar denganku, bagaimana aktifitasnya, akademiknya, dsb. Aku masih bisa menjawab pertanyaan2 beliau karena kebetulan aku cukup dekat dengan dia meski tidak satu kos lagi. Hari berikutnya ibu tersebut menelponku lagi, kali ini menanyakan hal yang mengagetkan, “Mau ga jadi menantu ibu? Menikah dengan anak laki2 ibu? Dia sudah kerja, sudah lulus tahun 2006, bla bla bla...” waktu itu dalam hatiku, ini ibu bercanda kali ya...? Akhirnya cuma aku dengarkan sampai beliau selesai bicara, dan di akhir statemen, beliau menyatakan keseriusannya. Kontan aja aku bingung. Bagaimana mungkin aku tiba-tiba mengiyakan menerima lamaran hanya dalam waktu beberapa menit yang aku belum sama sekali mengenalnya, belum sama sekali melihat, mendengar, bahkan hanya sekedar foto. Dengan diplomatis aku menjawab, “Nanti saya istikhoroh dulu ya bu...”

Fiufh... Akhirnya bisa bernafas, meskipun belum lega. Waktu itu aku segera bikin janji sama guru ngajiku buat ketemuan besoknya. Dan curhat sama kakakku melalui telepon. Kakak menasehatiku biar bersiap menikah, dan menenangkanku soal keluarga, dia yang mau melobykan bapak dan ibu. Besoknya aku bertemu dengan guru ngajiku, seorang ibu rumah tangga yang berkarir di ranah politik, sibuk, makanya sebelumnya udah janjian dulu. Aku ceritakan apa adanya, tak luput statemen ibu itu, “Kalau mbak nggak berkenan dengan anak saya, minta tolong dicarikan teman mbak yang kayak mbak...” Artinya aku menyerahkan sama beliau, guru ngajiku, jika ada teman ngajiku yang mungkin lebih mendesak untuk menikah, monggo diproses dengan dia aja. Aku tidak terlalu berharap, tapi juga menaruh harapan. Intinya sih aku nggak mau keGRan dulu, jika memang jodoh, Allah pasti memudahkan. Itu juga yang menjadi doaku...

Sekarang lebih lega dari sebelumnya. Aku berusaha menghilangkan pikiran2 dan perasaan2 yang muncul, terus terang mengganggu aktivitasku dan ramadhanku. Sampai 5 hari paska itu, ibu tadi menelpon lagi, meminta jawaban kepastian dariku. Ups, kali ini aku lebih bingung jawaban apa yang harus aku berikan, sementara guru ngajiku belum memberi jalan keluar, padahal proses ini aku percayakan sepenuhnya pada beliau. Dengan diplomatis lagi (tapi agak gelagapan) aku menjawab pada ibu itu, “Maaf bu, saya belum bisa istikhoroh. Putra ibu akan saya pertimbangkan, dan saya juga minta pertimbangan pada Allah, guru ngaji saya, juga keluarga saya. Kalau jawaban iya atau tidak, belum bisa saya jawab sekarang. Saya juga belum mengenal putra ibu, sifat dan kepribadian, bahkan foto juga saya belum pernah lihat...” belum selesai aku ngomong, ibu itu memotong dan menjanjikan akan mengirim foto putranya via mms nanti, terus beliau malah cerita gimana dulu waktu mau menikah dengan suaminya. Aku dengarkan dengan perasaan dan pikiran yang sibuk sendiri.

Memaksa, tidak ah... Aku hubungi guru ngajiku yang sudah janji akan mengurus proses ini lagi. Sehari setelah itu beliau telepon, “Kirim biodata dan foto ke emailku ya. Aku sudah kontak sama guru ngajinya di sana, mantep nit. Bismillah aja ya... Banyak doa n istikharoh.” Segera besoknya aku kirimkan apa yang beliau minta. Kemudian ada sms, “Siapkan diri dan hati. Berlanjut atau tidak, setelah biodata diterima.” Alhamdulillah, semakin ada kejelasan. Tidak oportunis sih, tapi kebetulan rentetan kejadia ini pas bulan Ramadhan, jadi aku punya kesempatan lebih untuk mendekatkan diri pada-Nya. Selang 3 hari, biodata calon suamiku aku terima via email. Di situ tertulis harapannya, “Harapan terbesar setelah menikah nanti tentunya adalah Istri dapat selalu menyertai saya ke tempat manapun dimana saya ditugaskan karena tujuan yang saya sebutkan di atas hanya dapat berjalan optimal apabila kebersamaan itu tetap terjaga.” Buat aku ngga masalah jika nanti harus mengikuti ke manapun dia bekerja. Tapi sempat agak takut tidak dapat izin dari orang tua, soalnya beberapa waktu sebelum proses ini ada, bapak pernah berujar, “Pokoknya syarat buat calon suaminya kamu, mau tinggal di rumah ini.” Kalau harapan calon suamiku tadi begitu, bearti nggak memenuhi kriteria dari bapak donk...

Dalam kegelisahan itu, aku semakin banyak berdoa, “Ya Allah, jika memang dia terbaik untukku, untuk keluargaku, untuk agamaku, mudahkanlah proses ikhtiar ini. Tapi jika dia tidak baik untukku, untuk keluargaku, untuk agamaku, maka jauhkanlah kami segera, dan gantilah dengan yang lebih baik lagi.” Dan alhamdulillah doaku terjawab, tanpa loby yang panjang, bapak tidak keberatan dengan syarat tersebut. Satu kemudahan lagi Allah berikan.

Hingga hapeku berdering, tertera nama guru ngajiku, “Nit, gimana? Udah mantep kan? Mantep aja ya, aku mantep koq nit. Besok tanggal 9 ta’aruf ya, sore, di rumahku. Nanti kalau ngga tanggal 11, tanggal 13, langsung khitbah.” Antara seneng, bingung, campur aduk, sampai ngga konsen di rapat (waktu itu aku lagi rapat Cuma bertiga). Koq udah ditentukan waktu khitbahnya? Kalau gitu buat apa ada taaruf ya? Batinku waktu itu... tapi ga papa lah, ngga tahu kenapa, ada perasaan kangen, pengen segera ketemu calon suamiku itu, (kangen apa penasaran ya...hehe...).

Hari yang ditunggu-tunggu. Sepulang iktikaf, pagi-pagi, guru ngajiku kembali telepon. Memberi tahu kalau ketemuannya dimajuin jadi jam 11 di rumah Bu Yani. Deg degannya jadi tambah kenceng. 4 jam lagi aku ketemu calon suamiku... Waktu yang tersisa aku gunakan untuk menyiapkan pertanyaan2 yang akan aku tanyakan nanti. Hingga jam menunjukkan pukul 11. Acara non formal pun dimulai. Grogi. Dag dig dug. Sampai2 pertanyaan yang aku siapin tadi hilang semua. Hanya menanyakan 2 hal yang jadi pertanyaan titipan dari guru ngajiku. Dia juga hanya menanyakan 2 hal yang dengan mudah aku jawab, karena lebih ke komitmen kelak. Selesai. Jam 11.40 selesai ketika adzan dzuhur terdengar. Udah gitu aja... “Nanti mungkin tanggal 11 atau 13 saya dan keluarga akan silaturahim ke rumah anti.” Allah....

Begitulah, proses yang kami pasrahkan pada Allah... hingga 39 hari setelah bertemu menjadi hari akad kami. Dan di hari akad tersebut adalah baru ketiga kalinya aku bertemu dengan calon suamiku. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Aku berusaha mencairkan suasana, begitu pun dia. Kami sama-sama belajar mengenal satu sama lain. Dan komitmen kami untuk selalu berbaik sangka, bicara apa yang diinginkan, menerima apa adanya kekurangan dan kelebihan masing2. Itu yang membuatku kadang bertanya, bagaimana kehidupan rumah tangga orang2 yang memulainya dengan pacaran dan janji2 manis tanpa dilandasi komitmen sebagaimana komitmen pernikahan.

3 bulan menikah, perjalanan yang tidak singkat. Beberapa kali aku dibuat menangis olehnya, meski aku yakin suamiku tidak bermaksud begitu. Aku pernah sekali marah, hanya jawaban iya dan tidak, sudah dan belum, yang keluar dari mulutku ketika suamiku telepon. Dan sumpah, aku menyesalinya. Aku menyesal membuat suamiku sedih dalam perasaan bersalah. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi.

3 bulan menikah. Banyak hal yang kami benahi. Benar kata buku yang aku baca, “Menikah menyempurnakan separuh agama.” Sifat-sifat jelekku terkurangi satu per satu. Begitu pula dengannya. Pengetahuan kami bertambah luas. Budaya diskusi yang kami terapkan harapannya akan menjadi budaya juga untuk anak-anak kami kelak. Ibadah kami juga semoga semakin berkualitas...

3 bulan menikah, rasanya syukur selalu yang terasa...

Yang belum menikah, ayo buruan nikah... :)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun