Menyimak mutu pendidikan di Negara kita sungguh sangat memprihatinkan. Seakan akan kita terpuruk di jurang yang teramat dalam dan sulit untuk bangkit lagi. Bagaimana tidak? Tanda tanda nya saja sama sekali nggak nampak. Bagaimana bisa kita membayangkan pada tahun sekian pendidikan kita maju. Mending kalo kalo kita masih berada di tahap 1, berarti nanti masih ada harapan kita besok di tahap 2 dan seterusnya. Tapi kita masih di angka 0 besar dan belum ada tanda tanda perbaikan yang terarah, semua serba coba coba dan hasilnya sampai saat ini nihil.
Salah siapa? Pemerintah? Sekolah? Guru? Orangtua? Siswa? Lingkungan atau siapa? Tentu semua punya andil dalam menciptakan pendidikan yang tidak karuan tersebut. Guru misalnya, banyak guru yang tidak kompeten atau tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya terutama disekolah swasta. Kalopun sudah kompeten tapi tidak memiliki jiwa pengabdian yang tinggi sehingga menjadi kurang bersemangat dalam mengajar, tidak mengevaluasi metode pembelajarannya yang sudah kuno, atau cara mengajar yang cenderung membosankan, tidak menguasai TI atau bahkan sering meninggalkan kelas saat mengajar termasuk sering kosong.
Orang tua, banyak sekali orang tua yang kurang perhatian dan tidak perduli dengan masalah pendidikan anaknya, mereka pasrah saja kepada sekolah untuk mendidik anaknya tanpa mau tau seperti apa perkembangan anaknya, padahal waktu disekolah rata rata hanya 6 jam sehari, sedangkan sebagian besar waktunya justru diluar sekolah.
Siswa, kalo kita cermati jarang sekali pelajar sekarang yang mau membuka buku di rumah. Mereka terlalu asik dengan hiburannya sendiri seperti mainan hp, nonton TV, main game, nongkrong dan masih banyak sekali aktifitas mereka yang membuat mereka melupakan belajar.
Lingkungan, pola hidup materialislis yang berada disekitar kita memang telah lama meracuni pola pikir para pelajar sekarang. Merusak mental mereka sehingga keinginannya yang terlalu tinggi tanpa mau berusaha bersusah payah untuk meraihnya.
Dari beberapa unsur yang terlibat dalam pendidikan diatas tentunya Pemerintah yang mempunyai andil terbesar dalam menciptakan pendidikan yang carut marut ini, besarnya dana yang tidak tepat sasaran atau bahkan tidak sampai ke sekolah, tidak pahamnya pemerintah dengan permasalahan pendidikan di lapangan atau di sekolah sekolah terutama di sekolah swasta. Sering gonta ganti kurikulum dan kebijakan yang tidak jelas dan serampangan pelaksanaannya, semua itu menjadi garda terdepan dalam menciptakan kesemrawutan pendidikan kita.
Marilah kita tengok ke bawah, bagaimana memprihatinkannya kondisi pendidikan di sebagian besar sekolah swasta di negeri tercinta ini . Sengaja penulis mengambil contoh sekolah swasta, karena disinilah akar permasalahannya. Jumlah sekolahan swasta jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan sekolah negeri. Mungkin bisa mencapai 3 berbanding 1. lihatlah bagaimana hasil Tes Uji Coba UN mereka, berapa sekolah yang mampu mencapai rata rata 5 bisa dihitung dengan jari. Berapa jumlah siswa yang mendapat nilai dibawah 3? Banyak sekali, bagaimana ini tidak memprihatinkan? Sekolah 3 tahun seolah olah tidak ada hasilnya sama sekali. Terlebih lagi berapa siswa yang mau ikut pelajaran tambahan UN dengan baik? Bahkan pada minggu terakhir menjelang Ujian Nasional hampir sebagian besar siswa swasta yang tidak mengikuti pengayaan materi UN. Karena mereka sudah yakin lulus dengan melihat prosentase kelulusan 100 persen di sekolah mereka pada tahun lalu.
Terlalu mudahnya untuk Lulus mungkin salah satu penyebab siswa siswa sekarang tidak mau belajar. Pemerintah tidak tahu dengan masalah ini. Buktinya sudah 3 tahun mereka tidak merubah kriteria kelulusan ujian nasional. Rata rata untuk lulus juga sudah beberapa tahun tetap berada di angka 5,50 yang memungkinkan anak masih bisa lulus meskipun salah satu pelajaran mendapat nilai 1,00. hal ini terlalu mudah bagi mereka. Apalagi dengan adanya system penngunaan nilai sekolah yang ikut dihitung untuk menentukan kelulusan. Padahal kita tau bahwa semua sekolah meninggikan nilai sekolah pada angka yang sangat tidak wajar karena takut siswanya banyak yang tidak lulus.
Sebenarnya pemerintah pada beberapa tahun lalu pernah menetapkan kriteria kelulusan yang sangat sulit, masih ingat di ingatan kita banyak sekali siswa tidak lulus UN. Karena untuk lulus siswa harus mendapatkan nilai minimal 4,00 di setiap mata pelajaran yang diujikan secara nasional, tapi kemudian pemerintah tidak tahan terhadap gelombang unjuk rasa yang memprotes kebijakan tersebut sehingga sekarang malah mengganti aturan tersebut dengan kriteria yang teramat mudah sehingga nyaris seolah olah tanpa kriteria. Hal ini mungkin yang membuat kita kembali ke 0 lagi . Seharusnya pemerintah tidak perlu mengganti kriteria kelulusan pada beberapa tahun yang lalu. Mungkin hanya perlu diturunkan sedikit sehingga tidak terlalu banyak yang tidak lulus UN, misalnya nilai minimal untuk lulus 3,00. begitu dan pada tahun tahun berikutnya dinaikan sedikit demi sedikit hingga tidak ada masyarakan yang terkejut dengan kebijakan tersebut. Toh lama lama masyarakat juga siap dengan aturan tersebut. Apa kita akan seterusnya berkutat dengan nilai 3,00.
Permasalahan diatas mungkin bukan satu satunya faktor yang merusak pendidikan kita, ada yang lebih penting menurut penulis. Yaitu jumlah rombel yang terlalu banyak . Lihatlah jumlah siswa rata rata di sekolah swasta 40 orang per kelas. Bagaimana mungkin seorang guru dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik jika sekali mengajar mereka harus menghadapi 40 orang sekaligus. Seharusnya jumlah maksimal siswa adalah 20 0rang jika ingin pembelajaran berjalan dengan baik. Jika jumlah rombel masih 40 orang, sampai kapanpun mutu pendidikan kita tidak akan pernah maju karena pelaksanaan pembelajaran yang sangat tidak memenuhi syarat sehingga berjalan semrawut.
Pertanyaanya, mungkinkah sekolah swasta bisa menerapkan jumlah rombel maksimal 20 orang ? Pasti bisa, dengan syarat semua guru dibayar oleh pemerintah sehingga tidak ada alasan bagi sekolah swasta tidak mampu melaksanakan pembelajaran karena tidak bisa menggaji guru. Hal inilah yang harus dipikirkan pemerintah karena membutuhkan dana yang tidak sedikit. Pemerintah dituntut mengalokasikan dana pendidikan secara tepat sasaran, melakukan efisiensi anggaran untuk hal hal yang tidak terarah dan tidak jelas karena banyak sekali dana yang dihambur hamburkan di setiap departemen dan kementrian untuk proyek proyek yang kurang tepat sasaran.
Kapan pendidikan kita akan maju? Dengan kebijakan yang tepat paling tidak ada harapan bahwa pada tahun sekian pendidikan di negeri tercinta ini bisa disejajarkan dengan negara negara lainnya di dunia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H