Ilustrasi lambang hukum (Shutterstock)
Pernah, waktu saya masih duduk di semester dua (2) datang ke ruangan seorang guru besar. Kepada beliau waktu itu saya mengajukan pertanyaan, “Pak, kenapa mata kuliah Filsafat Hukum tidak diajarkan di semester-semester awal? Katakanlah di semester 1 atau 2?” Beliau menyampaikan kepada saya mengapa saya menanyakan hal itu sekaligus apa argumentasi saya “mengusulkan” hal tersebut?
Tulisan ini bukan tulisan ilmiah sama sekali, bukan juga berdasarkan kajian yang begitu mendalam dari segi keilmuan. Tulisan ini memang tidak dimaksudkan untuk itu. Hanya sekadar mau menyampaikan usulan bahwa untuk memulai kuliah di Fakultas Hukum, sejak awal harus sudah disadari apa, siapa atau bagaimana dunia hukum itu yang sebenarnya.
Sampai sekarang, di mana-mana, di fakultas hukum di Indonesia, selalu disebar dengan sengaja pernyataan kalau fakultas hukum di negara-negara maju adalah fakultasnya orang-orang cerdas. Mereka yang masuk ke fakultas hukum tidak boleh sembarangan. Di negara-negara maju, mereka yang mau masuk fakultas hukum, kabarnya harus memiliki gelar akademis ilmu yang lain terlebih dahulu. Mengapa demikian? Karena fakultas hukum memang fakultas yang punya "harga tinggi" di sana. Tidak sembarang orang bisa masuk seenaknya di fakultas calon-calon pengemban profesi hukum ini.
Beda lagi ceritanya kalau di Indonesia. Ada joke bahwa singkatan dari FH itu adalah Fakultas Hafalan. Memang inilah pandangan umum kebanyakan orang Indonesia sampai saat ini. Anaknya yang tidak pintar (untuk mengganti kata “bodoh”) di bidang eksakta, disarankan (beda tipis sama dipaksakan) masuk ke fakultas hukum. Orang tua seperti ini punya anggapan, kalau anaknya akan lebih mudah mengikuti pelajaran karena tugasnya hanya menghafal. Belum lagi mereka yang karena terlalu berambisi ingin masuk salah satu universitas tapi ke fakultas ekonomi atau teknik, membuat ilmu hukum jadi pilihan yang kedua. Maksudnya kalau tidak diterima di FE atau FT, mereka ada kemungkinan diterima di FH. Setelah satu tahun, mereka pindah jurusan ke FE atau FT, karena di sistem pendidikan tinggi Indonesia, hal itu sangat dimungkinkan. Tidak masalah rugi satu tahun, asal bisa kuliah di universitas itu. Aneh.
Fenomena berbeda tapi sama-sama ingin menunjukkan betapa buruknya citra studi hukum di Indonesia adalah betapa banyak orang tua, entah yang lulus dari fakultas hukum atau tidak, baik dalam negeri atau luar negeri, memilih menyekolahkan anak mereka ke luar negeri untuk studi strata 1 ilmu hukum. Ada yang ke Singapura (negera tetangga), ke Belanda, Amerika, ke Jepang, bahkan ke Inggris. Ada seorang pengacara yang bahkan meminta anaknya semua untuk sekolah hukum di Inggris, kalau tidak, tidak dapat warisan. Tentu sebagai hak masing-masing ini sah-sah saja. Tapi dari fenomena ini kita bisa tahu, bahkan kita sendiri sebenarnya tidak percaya dengan sistem pendidikan tinggi hukum di negera ini. Jangan-jangan yang masih menyekolahkan anaknya di sekolah hukum di Indonesia hanya karena belum punya banyak duit untuk memberangkatkan anaknya ke sekolah hukum di luar negeri.
Pertanyaannya adalah kenapa bisa terjadi seperti itu? Ada lingkaran setan dalam problematika pendidikan tinggi hukum itu sendiri (menurut saya). Untuk membahasakan lingkaran setan itu, sederhananya begini: sistem pendidikan tinggi hukum tidak diatur benar-benar oleh pemerintah apalagi menyangkut filosofinya. Regulasi untuk pendidikan tinggi hukum semata-mata di sama-ratakan dengan pendidikan untuk ilmu/jurusan lain. Padahal pemerintah sendiri sadar, bahwa tantangan dan tujuan masing-masing jurusan ilmu untuk menghasilkan sarjana tentu beda-beda. Selanjutnya, karena sistem dari pemerintah tidak jelas seperti itu, maka seluruh pendidikan tinggi mau tidak mau tunduk pada regulasi buatan pemerintah itu, misalnya dalam hal penerimaan dan standar-standar penerimaan mahasiswa ke fakultas hukum. Tidak aneh ada ungkapan “garbage in-garbage out”. Ini sudah dua unsur, pemerintah dan perguruan tingginya sendiri.
Lebih menarik yang selanjutnya, mahasiswa fakultas hukumnya dikaitkan dengan pola ajar di perguruan tinggi hukum itu. Kalau berkenaan dengan pola ajar, saya batasi tentang tema tulisan ini, yaitu mata kuliah filsafat hukum yang seharusnya di ajarkan di awal-awal perkuliahan mahasiswa hukum, artinya diajarkan di semester-semester awal, yaitu semester 1 atau paling lama di semester 2. Apa alasannya? Pertama, filsafat hukum yang saya pelajari ketika saya sudah semester 7 sekarang ini, pada dasarnya ingin mencoba memahami (bukan sekadar mengetahui) hukum sampai ke akar-akarnya. Mempertanyakan hukum dan menggalinya sedalam mungkin. Namanya filsafat, tentu sarat dengan mempertanyakan. Bahkan sampai mempertanyakan mengapa hukum harus dipelajari? Apa benar hukum itu ada? Lalu, sebenarnya hukum itu apa? Oleh karena ini, mata kuliah filsafat hukum akan membuka cakrawala ata keseluruhan hukum itu sendiri (kalau diajarkan dengan benar oleh dosen). Kalau demikian mengapa tidak dilakukan (membuka cakrawala mahasiswa hukum itu) di awal-awal masa kuliah?
Kedua, kalau anggapannya filsafat hukum itu diajarkan di awal-awal semester, mahasiswa diharapkan sudah terbuka pikirannya dan sadar bahwa belajar hukum itu tidak mudah seperti kebanyakan orang pikirkan. Perlu daya kritis imajinatif dan kreatif dalam memahami hukum. Nalar yang logis untuk membangun argumentasi yang sejalan dengan logika sehat. Hukum tidak semudah menghafal pasal di peraturan, tapi harus dapat menangkap makna yang terkandung dalam pasal itu baru kemudian dijalankan. Filsafat hukum (seharusnya) mengajarkan hal itu. Oleh karenanya, argumentasi yang mengatakan bahwa matakuliah Pengantar Ilmu Hukum (PIH), ilmu negara, etika, atau logika bisa dipakai untuk mencapai yang demikian, tidak bisa diterima sama sekali. Mata kuliah-mata kuliah itu masih terlalu sederhana, belum lagi (atas cerita-cerita dari banyak teman di universitas "lain") dosen tidak mengajarkannya dengan serius, hanya sesukannya saja. Malas ke kampus, kelas ditiadakan, padahal untuk mahasiswa awal.
Ketiga, karena kenyataannya filsafat hukum selalu ditempatkan sebagai mata kuliah untuk mahasiswa tingkat akhir (sebagian orang termasuk para dosen menyetujui pendapat ini karena mereka merasa orang-orang yang baru lulus SMA belum bisa menerima mata kuliah seberat filsafat hukum), maka banyak sekali mahasiswa hukum yang menyadari tentang sulitnya belajar hukum setelah mereka sudah ada di semester tingkat akhir. Mereka baru sadar (setidaknya sedikit sadar) kalau belajar hukum itu harus punya kemampuan yang lebih; logika yang lurus, nalar imajinatif dan kreatif. Bukan orang yang abal-abal. Penyesalan pun datang terlambat. Mau keluar dari fakultas hukum, tapi sudah tingkat akhir. Mau bertahan, tapi sudah tahu tidak akan jadi apa-apa walaupun punya gelas Sarjana Hukum (SH) di belakang nama. Jadilah, mahasiswa-mahasiswa putus asa yang tidak ada gunanya di Fakultas Hukum, alias mahasiswa-mahasiswa sampah.
Lengkaplah lingkaran setan dalam pendidikan tinggi hukum di Indonesia ini, yaitu berasal dari pemerintah, dari perguruan tingginya, dari sistem ajarnya dan lebih-lebih dari mahasiswa hukumnya. Semua berkolaborasi untuk menghancurkan dunia hukum di negara yang kata UUD 1945 sebagai negara hukum ini. Mengerikan sekali.