Maka jangan kaget kalau sampai sekarang “permainan” jahat masih masif terjadi di dunia hukum Indonesia. Kebanyakan sarjana hukum berlomba-lomba tampil di layar televisi, asal bicara saja, yang penting kelihatan kondang dan sebagai pengacara laku. Batu akik di semua jari, ambil mic lalu dengan bangga asal ngomong saja. Mahasiswa hukum saja masih ada yang bertingkah laku anarkis dalam demonstrasi, karena mereka memang tidak memahami hukum antara hak dan kewajiban sesama masyarakat. Padahal hukum menjunjung itu. Belum lagi, ketidak-adilan yang terus terjadi dari banyak putusan pengadilan. Karena sekarang hakim-hakim itu berpikir, memutus bukan untuk memberikan rasa adil, tapi agar putusannya dibahas oleh banyak orang dan dia menjadi terkenal. Putusan praperadilan misalnya.
Itulah mengapa, kalau boleh, dengan segala keterbatasan, saya mengusulkan diajarkannya mata kuliah filsafat hukum di semester-semester awal di seluruh Sekolah Hukum di Indonesia. Ini sebagai awal untuk menghancurkan lingkaran setan tadi untuk membuat lingkaran baru yang baik untuk perkembangan pendidikan tinggi hukum pada khususnya dan pembangunan sistem hukum Indonesia pada umumnya. Hal mana, memang belajar sebagai mahasiswa hukum itu memang tidak mudah. Perlu sesuatu yang lebih yang dituntut calon-calon Sarjana Hukum. Ingat, orang-orang ini akan menentukan kehidupan banyak orang, sebab hukum selalu bersinggungan dengan kepentingan orang banyak. Kalau sarjana hukumnya abal-abal, hukumnya pasti asal-asalan. Ketidakadilan menampakkan wujudnya.
Saya sangat yakin, dengan diajarkannya filsafat hukum di semester-semester awal akan menyadarkan mahasiswa yang sampai sekarang belum sadar untuk menyadari hukum itu sejak semula. Tidak kuat, pindah jurusan saja cepat-cepat. Jangan sampai terus-terusan membiarkan penyesalan datang terlambat. Kasihan mahasiswanya, karena masa depannya jadi tidak jelas. Dan kasih sekolah hukumnya, karena oleh mahasiswa itu, sekolah hukum juga jadi jelek mutunya. Semakin awal sadar, semakin baik.
Kesulitan belajar filsafat hukum tidak boleh jadi alasan untuk tidak diajarkan kepada yang baru lulus SMA. Justru kesulitan filsafat hukum itu juga yang seharusnya menyadarkan mahasiswa yang sudah memilih masuk ke fakultas hukum, bahwa belajar hukum itu harus sungguh-sungguh karena tidak mudah. Kata Felix Frankfurter, hanya yang well read person dan cultivated person saja yang dapat menjadi Sarjana Hukum yang sejati.
Beberapa hari lalu, saya diajak berdebat oleh seorang teman sesama mahasiswa hukum semester 7. Dia dari salah satu fakultas hukum. Tapi dari awal dia mengatakan bahwa dia tidak membaca apa pun, tidak punya data apa pun, tapi dia terus memberikan asumsi yang menjatuhkan pihak-pihak tertentu dan menganggap dirinya benar terus. Kata “pokoknya” selalu digunakan. Perdebatan menjadi tidak berimbang, karena data yang saya sajikan dianggap mentah semua oleh asumsinya.
Saya mengatakan, “lebih baik persiapkan data-data dulu, besok kita berdebat lagi.” Lanjut, “Gue ingatin aja bro, kalau tindakan (asal ngomong saja) tadi terus elo pelihara, nanti SH elo bukan Sarjana Hukum, tapi Sarjana Haram atau Sarjana Hambar.” Dia cukup marah saat saya katakan seperti itu. “Kok bisa elo diterima di fakultas hukum, ya?” lanjut saya. Dia lalu bermuram durja dan beberapa menit kemudian pamit pulang. Dalam hati saya, “kasihan dia!”
Demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H