Mohon tunggu...
Richard Sianturi
Richard Sianturi Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Lulusan FH Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kebangkitan Nasional dan Mahasiswa Kini

20 Mei 2015   17:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:47 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kabarnya tanggal 20-21 Mei 2015 akan banyak demonstrasi yang dilayangkan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo. Mulai dari aktivis-aktivis sampai tingkatan mahasiswa-mahasiswa direncanakan akan meramaikan ibu kota Jakarta untuk melaksanakan demo. Semuanya ditujukan kepada pemerintahan Presiden Jokowi karena dinilai tidak memberikan kinerja yang pro rakyat, lamban mengatasi masalah hingga asumsi bahwa Presiden Jokowi dikelilingi oleh politisi-politisi jahat yang bermain demi kepentingannya atau partainya semata.

Pemberantasan korupsi cenderung terlihat dilumpuhkan dengan sengaja. Kasus yang paling nyata adalah ketika Komjen BG diusulkan menjadi Kapolri menggantikan Jendral Sutarman padahal sebelumnya sudah ada rapot merah dari KPK. Polemik antara KPK dan Polri yang sampai saat ini masih keruh dan memalukan. Kemudian, kebijakan atas harga bahan bakar minyak kelihatan dibuat-buat semaunya tanpa melihat kemampuan rakyat. Di sisi yang lain, banyak pula yang mengkritisi tentang kinerja para menteri sehingga muncul wacana dari banyak pengamat bahwa harus segera dilakukan reshuffle kabinet. Wajar kalau kenyataan seperti ini membuat masyarakat marah, tidak terkecuali mahasiswa.

Kemarahan inilah yang memicu sebagian dari rakyat Indonesia merasa harus melakukan demonstrasi (besar-besaran) tanggal 20-21 Mei 2015 mendatang. Sebagian rakyat itu adalah mahasiswa yang sering disebut-sebut sebagai agen perubahan, penerus dan pelurus bangsa. Kelompok pemuda yang sering menyebut dirinya sendiri sebagai intelektual muda. Beberapa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas sudah mendeklarasikan bahwa mereka akan turun ke jalan pada tanggal tersebut. Di media sosial sudah menyebar undangan terbuka yang mengajak seluruh mahasiswa di Indonesia untuk ikut berpartisipasi dalam demo mengkritik pemerintah itu.

Momentum Hari Kebangkitan Nasional dan hari peringatan reformasi menjadi waktu yang dirasa tepat untuk melaksanakan demonstrasi itu. Pertanyaan muncul, apakah demonstrasi mengkritisi (bahkan sebagian mengatakan sebagai momen untuk menjatuhkan Presiden) pemerintah itu dapat mencapai tujuannya dalam momentum Hari Kebangkitan Nasional? Lebih jauh, apakah tepat jika tindakan demikian lahir dan dilakukan oleh mahasiswa dengan berbagai titelnya yang bagus-bagus itu?



Kebangkitan Nasional

Tanggal 20 Mei 1908 adalah hari lahirnya organisasi pertama di Indonesia yakni Boedi Oetomo. Ini menandakan hari lahirnya semangat nasionalisme, persatuan dan kesatuan demi mencapai kemerdekaan Indonesia dari kondisi terjajah. Adalah R. Soetomo yang menjadi penggerak berdirinya organisasi ini yang menghimpun kalangan para pelajar STOVIA di Jakarta. Ia ingin melawan sistem kolonialisme yang membodohi masyarakat pribumi dengan cara-cara dan sistem-sistem pemerintah kolonial.

Kebangkitan nasional yang dimaksud adalah karena pada saat itu terlihat semangat membela, semangat nasionalisme dan semangat persatuan di antara putera-puteri bangsa demi kemerdekaan Indonesia. Dari semangat-semangat itulah maka muncul kesadaran untuk mencapai kemerdekaan bangsa yang sebelumnya tidak pernah ada. Dalam konteks demikian maka terdapat perbedaan-perbedaan mendasar dari perjuangan sebelum dan sesudah tahun 1908 (Yustina, 2014).

Pertama, perjuangan yang tidak serempak yang menunjukkan belum adanya semangat persatuan. Kedua, kepemimpinan yang karismatik sehingga tidak adanya regenerasi semangat kepemimpinan. Ketiga, perjuangan yang masih menggunakan senjata dan keempat tentang masih mudahnya para pejuang pribumi yang diadu domba oleh pemerintah kolonial.

Perjuangan dalam bentuk yang demikian dirasakan oleh sekelompok pemuda sebagai perjuangan yang tidak relevan lagi pada masa era tahun 1908, sehingga gerakan perjuangan mereka ubah menjadi sebaliknya. Boedi Oetomo meyakini bahwa perjuangan melawan penjajahan hanya dapat dicapai dalam persatuan dan kesatuan. Lebih lanjut, perjuangan tidak bisa lagi dengan kekerasan melainkan dengan organisasi intelektual itulah mengapa organisasi Boedi Oetomo dibentuk berlandaskan semangat untuk menghimpun para pelajar/para intelektual untuk bersatu melawan penjajahan kolonial.

Konteks kebangkitan nasional yang dimulai pada tahun 1908 terus berkembang hingga pada tahun 1928 terdapat momentum kebangkitan nasional Sumpah Pemuda. Momentum ini juga menjadi tonggak yang memperkuat semangat Boedi Oetomo dalam mencapai persatuan demi kemerdekaan Indonesia. Salah satu asas perjuangan Boedi Oetomo yaitu medewerking tot de verwezenlijking van de Indonesischeidsgedachte (ikut berusaha untuk melaksanakan cita-cita persatuan Indonesia) semakin nyata dengan lahirnya Sumpah Pemuda.

Hingga perjuangan kemerdekaan terjawab pada 17 Agustus 1945 dimana Indonesia merdeka dari tangan penjajah tidak lain adalah karena diawali dengan adanya semangat persatuan dan kesadaran bahwa untuk mencapai kemerdekaan perlu adanya tindakan bersama dan intelek. Tindakan kekerasan sudah tidak relevan karena tidak berdaya guna apa-apa.

Mengubah Paradigma

Sejalan dengan perjalanan historis kebangkitan nasional yang membawa Indonesia ke gerbang kemerdekaan, sebenarnya peranan pelajar begitu penting dan menentukan. Organisasi Boedi Oetomo dan Sumpah Pemuda semua diinisiasi dari semangat kebersamaan dan persatuan para pelajar, para pemuda. Semangat itu didasari dengan kesadaran akan pentingnya bertindak dalam kerangka intelektulitas yang sesungguhnya. Kini hal itu sangat sulit didapatkan.

Semakin kesini, mahasiswa Indonesia semakin kelihatan menjauhi semangat bertindak sebagai kaum intelektual yang mengedepankan semangat berpikir kemudian bertindak. Kuantitasnya bisa dibilang cukup banyak dan ini sangat memprihatinkan. Semangat juangnya seakan-akan harus dilaksanakan hanya dengan demonstrasi dan berteriak sambil membakar ban di tengah jalan. Alih-alih membela kepentingan rakyat, malahan mereka mengganggu masyarakat. Niatan mereka untuk menyampaikan aspirasi masyarakat kebanyakan seringkali salah maksud dan tujuan sebab mereka tidak berusaha mengkaji terlebih dahulu secara komprehensif masalah yang terjadi. Sederhananya: ada yang keliru sedikit, dianggap tidak pro rakyat dan harus didemo.

Paradigma bahwa mahasiswa adalah lapisan masyarakat yang dapat membuat perubahan kepada bangsa kini dimaknai begitu terlampau sempit: apapun boleh dilakukan, karena semata-mata ingin membela rakyat, titik. Mungkin bisa dikatakan sebagai pengalaman masa lalu bahwa pada tahun 1998 demonstrasi mahasiswa dapat menjatuhkan Presiden Soeharto dan memunculkan reformasi. Mungkin inilah yang membentuk paradigma bahwa mahasiswa bisa berkontribusi hanya dengan berdemo di jalanan, membakar ban dan teriak-teriak tanpa arah pembicaraan yang jelas. Padahal situasi dan kondisinya sudah jauh berbeda.

Gambaran mahasiswa yang suka saling lempar batu dengan petugas kepolisian, saling dorong dengan petugas penjaga kantor pemerintahan, mahasiswa yang suka membakar ban dan merusak pagar kantor pemerintahan menjadi tontonan sehari-hari yang kini sering diperlihatkan di layar kaca dan media-media. Kondisi ini sebenarnya tidak menggambarkan semangat nasionalisme dan kekuatan pemuda dalam membangun bangsanya seperti pernah ditunjukkan oleh pemuda-pemuda di zaman pra kemerdekaan. Pemikiran rekan-rekan saya mahasiswa cenderung menjadi semakin sempit. Inilah yang menjadi persoalannya: pemaknaan akan semangat perjuangan untuk mencapai kebangkitan nasional, semuanya salah kaprah!

Persoalan ini muncul salah satunya karena sistem pendidikan tinggi yang masih amburadul. Kurikulum pendidikan tinggi yang belum bisa menyeimbangkan antara daya berpikir rasional (hard-skill) dan kecerdasaan emosional (soft-skill). Hal ini sesegera mungkin harus dijawab oleh pemerintah.

Pada intinya, sudah terjadi degradasi semangat juang mahasiswa masa kini. Pemaknaan akan kebangkitan nasional semata-mata dimaknai hanya perihal membela rakyat tanpa memikirkan sisi-sisi kebangsaan yang lainnya. Kalau kenyataannya seperti ini, saya sendiri sebagai mahasiswa, tidak yakin kalau-kalau demo besar-besaran tanggal 20-21 Mei 2015 mendatang akan berdampak baik bagi masyarakat. Saya malah menyakini bahwa pada hari itu, mahasiswa yang hanya berdemo tanpa tujuan akan mendapat hujatan dari masyarakat kebanyakan. Semoga tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun