Hari Guru Nasional kembali datang, dan seperti biasa, kita semua berlomba-lomba mengucapkan "Selamat Hari Guru" dengan penuh haru. Tak lupa, ada juga beberapa rangkaian bunga plastik dan spanduk bertuliskan "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa." Oh, betapa indahnya pujian itu! Sebuah pengakuan bahwa guru adalah pahlawan... meski pahlawan yang masih berjuang mengisi saldo e-wallet karena honor mengajar belum cair.
Mari kita jujur: menjadi guru di Indonesia adalah profesi dengan tuntutan level dewa, tetapi kompensasi level siswa magang. Guru dituntut serba bisa---mengajar, mendidik, menjadi konselor, administrator, bahkan kadang-kadang teknisi komputer. Semua ini dilakukan di tengah peralatan sekolah yang mungkin lebih layak masuk museum.
Ah, jangan lupa soal kurikulum. Rasanya seperti menonton film thriller: penuh kejutan! Baru saja akrab dengan satu metode, tiba-tiba kebijakan berubah. Konon katanya demi pendidikan abad 21, padahal Wi-Fi sekolah saja belum sampai abad 20. Sungguh inovasi tiada henti, hanya saja sering kali inovasi ini terasa lebih seperti eksperimen, dan gurulah yang menjadi kelinci percobaannya.
Tentu saja, di tengah hiruk-pikuk administrasi yang menumpuk---dari laporan harian hingga pengisian platform daring yang entah kenapa selalu error di jam penting---guru tetap diminta tersenyum. Bukan karena bahagia, tapi karena "menjadi guru harus sabar." Sebuah pepatah yang membuat guru terus menelan pahitnya kenyataan dengan senyum manis.
Namun, mari kita rayakan juga sisi humor dari profesi ini. Misalnya, bagaimana seorang guru bisa dengan fasih menjelaskan rumus matematika kepada siswa, tetapi bingung menghitung kapan tunjangan profesi sebenarnya akan masuk. Atau bagaimana guru bisa memberikan motivasi luar biasa kepada murid-muridnya, sementara diri sendiri sudah nyaris burnout karena terlalu banyak meeting daring tanpa hasil yang jelas.
Tentu, ada harapan besar di balik semua ini. Kita tidak hanya berharap guru diberi "tepukan di pundak" setiap Hari Guru, tetapi juga diberi hak yang lebih layak---gaji yang manusiawi, fasilitas yang memadai, dan kebijakan yang tidak berubah-ubah seperti cuaca tropis. Mungkin suatu hari nanti, spanduk bertuliskan "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" akan diganti menjadi "Pahlawan dengan Jasa yang Diakui dan Dibayar Setimpal."
Sampai hari itu tiba, para guru di Indonesia tetap berdiri gagah. Bukan karena sistem mendukung mereka, tetapi karena cinta mereka kepada anak-anak bangsa. Selamat Hari Guru Nasional 2024! Tetaplah hebat, meski sering kali merasa "dibebani untuk kuat."
Salam hormat, dari bangsa yang selalu berjanji untuk memperbaiki pendidikan, meski janji itu sering kali terlupa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H