PGRI adalah momen refleksi: sejauh mana kita, sebagai bangsa, menghargai peran guru? Kalau mau jujur, kita seringkali lebih sibuk bikin spanduk ucapan daripada benar-benar memahami tantangan yang mereka hadapi.
Hari Guru Nasional dan HUT ke-79Guru itu luar biasa. Mereka rela bekerja dengan semangat tinggi, meski gaji yang diterima kadang lebih rendah dari tagihan Wi-Fi bulanan. Mereka dituntut profesional, tapi fasilitas yang diberikan seringkali jauh dari kata layak. Di banyak tempat, guru masih harus "mengajar kreatif" di kelas tanpa buku yang memadai, tanpa alat peraga, bahkan tanpa kursi yang cukup untuk murid-murid. Tapi, ya, biar serba minim, guru tetap diharapkan mencetak generasi emas. Ajaib, bukan?
Selain itu, siapa yang tidak kenal dengan beban administrasi guru? Dari menyiapkan rencana pelajaran hingga laporan bulanan, pekerjaan mereka kadang lebih mirip staf administrasi daripada pendidik. Padahal, murid tidak akan ingat indahnya tabel absensi atau daftar nilai di laporan semester. Yang mereka ingat adalah cara guru menginspirasi, menyentuh hati, dan membantu mereka memahami dunia. Tapi, tampaknya sistem kadang lupa bahwa tugas utama guru adalah mengajar, bukan mengisi formulir sepanjang waktu.
Dan, mari kita bahas standar ganda soal pendidikan. Guru sering dibilang "pahlawan tanpa tanda jasa." Tapi mari jujur: kalau benar tanpa tanda jasa, kenapa banyak yang masih mempertanyakan gaji mereka? Kenapa kesejahteraan guru honorer masih jadi masalah klasik yang berlarut-larut? Di satu sisi, kita memuja guru sebagai pilar bangsa, tapi di sisi lain, kita sering lupa bahwa pilar juga butuh pondasi kuat untuk berdiri tegak.
Tentu saja, ada momen-momen yang menghibur juga. Guru punya "superpower" yang tak dimiliki siapa pun: tatapan mata yang bisa bikin satu kelas mendadak sunyi. Mereka juga ahlinya dalam pertanyaan jebakan seperti, "Menurut kamu ini susah nggak?" yang mana jawaban apa pun pasti salah. Kalau jawab "susah," mereka bilang kita kurang belajar. Kalau jawab "nggak susah," tiba-tiba disuruh maju ngerjain di papan tulis.
Tapi, di balik semuanya, guru tetap menjalani profesi ini dengan cinta. Mereka adalah orang yang percaya pada potensi murid, bahkan ketika muridnya sendiri belum percaya. Mereka adalah bukti nyata bahwa kesabaran manusia itu bisa mendekati tanpa batas.
Jadi, di Hari Guru Nasional ini, mari kita ucapkan terima kasih dengan cara yang lebih dari sekadar kata-kata. Mari dorong kebijakan yang benar-benar mendukung mereka. Mari jadikan pendidikan prioritas, bukan cuma slogan di masa kampanye. Dan mari berhenti menganggap guru sebagai "pahlawan ajaib" yang bisa menyulap dunia tanpa dukungan yang nyata.
Selamat Hari Guru Nasional dan HUT ke-79 PGRI. Untuk semua guru di Indonesia, terima kasih sudah setia menginspirasi kami, meskipun sering kali yang kalian dapatkan lebih banyak kritik daripada apresiasi. Semoga suatu hari, sistem pendidikan kita akan benar-benar seindah visi yang selalu kalian perjuangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H