Selasa, 1 Maret 2016, siang hari saya menemani seorang kakak yang menyumbangkan beberapa judul buku ke perpustakaan daerah di Kotaraja, Jayapura. Kami bertiga bersama putranya, Dharma. Dalam perjalanan dengan mobil, Dharma bercerita dengan saya. Ia suka bertanya. Bahkan saat melihat batang kayu kering yang tergeletak pun ia bertanya, “Om kenapa kayu ini ada di sini?” Ia memiliki kemampuan berbicara dan menganalisis. Saat saya bertanya, “Ade, umur berapa tahun?” Ia menjawab, “Five”. Ia berumur limat tahun. Usianya lima tahun, tetapi ia sudah bisa membaca dan menulis. Saat kami melintas di depan perpustakaan, ia membaca papan nama sekolah yang sama dengan sekolahnya dan ia protes, “Ibu, kenapa nama sekolahku ada di sini juga?”
Cerita tentang Dharma yang cerdas di usia lima tahun sekilas mengingatkan kita pada ribuan anak-anak Papua lainnya di kampung-kampung terpencil yang tidak pernah mengalami pendidikan anak usia dini (PAUD), taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD, sekolah menengah Pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Dharma menjadi cerdas karena mendapatkan pendidikan yang memadai dalam keluarga (dari ibunya) dan bersekolah di salah satu sekolah swasta ternama di kota Jayapura. Bahasa pengantarnya, bahasa Inggris. Di usia lima tahun Dharma sudah bisa mengenal dan menggunakan beberapa kata dalam bahasa Inggris. Ia akan bertumbuh menjadi pribadi yang dewasa secara spiritual, emosional dan intelektual.
Pada sisi lain, ribuan anak Papua yang tinggal di kampung-kampung terpencil akan tetap tinggal dalam keterbelakangan seperti yang dialami oleh orang tua dan leluhur mereka. Tahun 2011-2012, saat saya melaksanakan tahun orientasi pastoral di paroki St. Silvia Yamas, keuskupan Agats, Asmat, setiap kali melakukan turne ke kampung-kampung di wilayah Joerat, saya menjumpai anak-anak tidak bersekolah.
Di kampung As-Atat, Kapi, Tafo, Awap, Faicok, Pamen ada bangunan sekolah, tetapi proses belajar mengajar tidak berjalan. Ada perumahan guru yang tidak ditempati dan mulai rusak karena para guru tinggal di kota Agats. Semua terbengkalai. Anak-anak terlantar.
Di kampung Yamas-Yeni proses belajar mengajar berjalan, tetapi belum maksimal. Demikian kampung Yufri-Yaun juga ada sekolah yang bagus, tetapi para guru jarang masuk mengajar. Sekali lagi, anak-anak Papua terlantar.
Proses pendidikan bermutu hanya ada di kota Agats, ibu kota kabupaten Asmat. Demikian juga di wilayah lain di Papua, pendidikan yang bermutu ada di pusat-pusat ibu kota kabupaten, sedangkan sekolah di kampung-kampung tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Siapa yang tinggal di ibu kota kabupaten dan mendapatkan pendidikan bermutu? Tentu saja anak-anak yang orang tuanya tinggal di kota. Sebagian besar adalah kaum pendatang. Pada titik ini memang ada kesenjangan sosial yang menganga lebar. Anak-anak Papua di perkampungan terlantar dan anak-anak pendatang di kota mendapatkan pendidikan memadai. Jelas anak-anak Papua tetap tertinggal dan anak-anak pendatang maju dan berkembang dalam banyak aspek.
Menyikmak realitas sosial ini, kita pun patut bertanya, “Siapa yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak Papua asli di kampung-mapung terpencil?” Selama ini ada sikap saling lempar tanggung jawab. Pemerintah pusat mengatakan segala kewenangan sekarang ada di tangan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten. Pemerintah provinsi bilang ada di kabupaten. Kebijakan pemerintah kabupaten memberikan insentif bagi guru-guru di daerah terpencil, terluar dan terisolir. Kebijakan ini pun tidak mampu menjamin bahwa para guru tinggal betah di kampung-kampung dan mendidik anak-anak Papua asli. Sebagai contoh, pada masa pemerintah kabupaten Keerom dipimpin oleh Yusuf Wally, ia memberikan insentif untuk guru-guru di daerah terpencil sebesar tujuh juta rupiah per bulan, tetapi tetap saja para guru tidak betah tinggal di wilayah Towehitam dan mendidik anak-anak di sana.
Ketika kita berbicara tentang pendidikan bagi anak-anak Papua asli di wilayah terpencil, perlu melihatnya secara holistik. Pemerintah kabupaten tidak bisa hanya mengambil kebijakan dengan memberikan insentif belaka. Ada banyak faktor yang harus diperhatikan agar para guru bisa tinggal di kampung-kampung terpencil. Faktor-faktor itu adalah 1) Saat merekrut guru kontrak atau guru pegawai negeri untuk ditempatkan di pedalaman harus dilakukan secara selektif dan menetapkan sejumlah kriteria. Selama ini prosesnya, yang penting kenal dengan si calon guru, anggota keluarga atau kenalan keluarga, lalu dibuatkan SK penempatan. 2) Para guru di pedalaman perlu mendapatkan kursus/pelatihan memadai. Perlu ada forum guru-guru yang bertugas di wilayah terpencil. Mereka bisa berjumpa secara periodik dan saling menguatkan satu sama lain.
Faktor lain yang sangat penting adalah 3) Perlu adanya jaminan keamanan dari warga masyarakat kampung. Warga masyarakat kampung perlu menerima dan menghormati para guru. Mereka perlu menjaga keamanan dan keselamatan para guru. 4) Pemerintah perlu menyediakan fasilitas yang memadai seperti perumahan, air bersih, listrik, televisi, radio komunikasi, dan fasilitas penunjang lainnya. Saya yakin kalau keempat hal ini bisa dilaksanakan para guru akan betah tinggal di kampung-kampung terpencil dan mendidik anak-anak Papua.
Selama ini, pemerintah kabupaten memberikan insentif, lalu membiarkan para guru sendirian di kampung tanpa ada kontrol memadai. Apakah para guru di kampung hidup di rumah layak huni? Apakah di sana ada air bersih dan listrik? Pemerintah hanya menyediakan insentif dan tutup mata terhadap kebutuhan dasar para guru. Situasi inilah yang menyebabkan para guru tidak betah tinggal di kampung-kampung terpencil. Ke depan pemerintah perlu lebih peduli lagi terhadap nasib para guru di kampung-kampung terpencil supaya mereka bisa betah tinggal dan mendidik anak-anak Papua.