[caption id="attachment_413913" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Kompas.com"][/caption]
Martabat manusia perempuan dan laki-laki sama. Keduanya sederajat dan saling melengkapi. Keduanya menjadi berbeda dalam peran dan tugas ketika disandingkan dengan adat dan budaya pada masing-masing komunitas. Umumnya, masyarakat dengan budaya patrilineal (mengikuti garis keturunan bapa-laki-laki) cenderung menempatkan perempuan sebagai pelengkap. Sementara, pada budaya matrilineal (mengikuti garis keturunan mama-perempuan) perempuan mendapatkan peran lebih menonjol daripada laki-laki. Baik, patrilineal, maupun matrilineal, keduanya merupakan konstruksi budaya, bukan kodrat manusia yang sudah ada sejak dalam rahim perempuan.
Pokok diskusi kali ini adalah perempuan Baliem. Kita mau bercakap-cakap tentang perempuan Baliem dan pergumulannya. Seiring perkembangan dan kemajuan orang Papua, perempuan Baliem perlu merefleksikan dirinya: "Siapakah saya sebagai perempuan Baliem" di tengah realitas sosial di tanah Papua?
Dilahirkan sebagai perempuan Baliem
Seyogianya, setiap perempuan Baliem bangga dilahirkan sebagai perempuan Baliem. Di Lembah Agung, Pegunungan Tengah, perempuan Baliem sejak kanak-kanak dilatih merajut noken, menanam, merawat dan memanen hipere, memasak untuk keluarga, merawat anak-anak, memelihara babi dan berbagai pekerjaan lainnya. Sejak pagi sampai malam hari, perempuan Baliem tidak pernah luput dari aktivitas rutin yang menjadi tanggung jawabnya itu.
Rangkaian aktivitas yang dilakoni perempuan Baliem ini, dilihat sebagai sebuah kebanggaan. Perempuan Baliem merasa bangga diberi kepercayaan yang besar untuk bekerja dan mengelola rumah tangga. Meskipun segala keputusan selalu menjadi kewenangan laki-laki. Sikap taat dan setia perempuan Baliem memperlihatkan bahwa mereka menghormati kaum laki-laki dan siap bekerja untuk kelangsungan hidup komunitasnya. Pilamo dan honay tanpa perempuan Baliem yang tangguh, sesungguhnya tidak ada kehidupan.
Proses pematangan perempuan Baliem supaya menjadi perempuan tangguh terjadi dalam keluarga. Di ewey, di dapur, dan di kebun perempuan Baliem mendapatkan pendidikan nilai. Nilai memberikan diri dan hidup untuk komunitas. Nilai-nilai ini secara spesifik diperoleh dari mama, yang selalu bekerja keras untuk hidup keluarga. Noken di kepala dan kayu pengolah kebuh di tangan adalah simbol perempuan Baliem yang siap bekerja untuk keluarga dan komunitasnya, tanpa mengeluh. Mama dan noken, mama dan tanah (kebun), mama dan kandang babi, mama dan tungku api, merupakan percikan simbol bahwa perempuan Baliem memegang peran sentral bagi masa depan orang Baliem. Sekali lagi tanpa perempuan Baliem yang tangguh, orang Baliem tidak akan mencapai kepenuhan hidupnya.
Kehebatan mama dalam keluarga, tidak serta merta meniadakan peran bapa. Dalam keluarga, seorang bapa, bagi orang Baliem adalah pelindung bagi keluarga dan komunitasnya. Bapa buka kebun, bikin pagar dan balik tanah. Di dalam keluarga, terutama di dapur terlihat jelas bagaimana keluarga-keluarga orang Baliem dibangun dan dipelihara. Saling membagi adalah kekhasan adat dan budaya yang melekat pada orang Baliem. Orang Baliem sejati adalah mereka yang siap membagi bagi sesama, sebagaimana yang ditunjukkan oleh tokoh mitos, Naruekul. Sikap membagi ini dimulai dalam keluarga, honay dan pilamo.
Di balik rasa bangga sebagai perempuan Baliem, ada sejumlah pergumulan yang patut diungkapkan, yakni anak-anak perempuan Baliem dinikahkan secara adat saat masih berusia belia. Saat alat-alat reproduksi perempuan belum berfungsi, ada orang tua yang sudah menikahkan anak-anaknya. Ironinya, anak-anak ini menjadi istri kesekian dari laki-laki yang dijodohkan. Sebagai anak Baliem, menerima kenyataan ini tanpa banyak komentar. Anak-anak perempuan Baliem tersandara oleh adat dan budayanya.
Dewasa ini, situasi tersebut mulai berkurang, seiring kemajuan teknologi dan informasi serta transportasi, perempuan Baliem memiliki kesempatan untuk belajar di luar daerahnya. Namun, tidak dapat dimungkiri masih banyak perempuan dan anak-anak Baliem yang berada dalam indoktrinasi budaya yang ketat seperti yang disebutkan di atas. Perlu kerja keras untuk memberikan pencerahan tentang kesetaraan martabat laki-laki dan perempuan sehingga perempuan Baliem tidak tersinggung ketika pekerjaannya mulai dikerjakan laki-laki. Demikian halnya, tumbuh kesadaran dalam kalangan laki-laki Baliem untuk mengerjakan tugas-tugas yang selama ini menjadi pekerjaan rutin perempuan.
Perempuan Baliem Dan Masa Depannya
Saat ini, banyak perempuan Baliem keluar dari Lembah Agung ke Jayapura dan berbagai daerah lainnya. Ada yang ikut suami, ada pula yang sekolah atau kuliah di universitas. Perempuan Baliem yang sekolah atau kuliah, sebagian tinggal dengan keluarga, dan lainnya tinggal di asrama pemerintah dan swasta. Di mana pun perempuan Baliem tinggal, dan apa pun profesinya, perempuan Baliem memiliki masa depan. Perempuan Baliem harus membuat pilihan atas masa depannya. "Saya perempuan Baliem, saya mau menjadi apa, pada hari ini dan hari esok?" Pilihan hidup sangat penting karena menjadi titik pijak untuk mengarahkan pandangan dan komitmen.
Khusus untuk perempuan Baliem yang sedang mengenyam pendidikan, di mana saja berada, perlu menyadari bahwa pada diri mereka terpampang harapan besar untuk menjadi perempuan Baliem tangguh pada masa depan. Perempuan Baliem dengan predikat pekerja keras perlu menonjolkan sikap tekun belajar guna menyiapkan diri menjadi abdi dan pelayan komunitasnya. Perempuan Baliem perlu memiliki mental dan kepribadian yang utuh; tidak terpecah apalagi tercelah.
Perempuan Baliem juga perlu menyadari bahwa mereka adalah perempuan tangguh yang bekerja untuk hidup dan komunitasnya. Perempuan Baliem memiliki jiwa periang, ramah, pekerja keras, tekun dan memiliki jiwa membagi. Lebih dalam, perempuan Baliem adalah mama sekaligus bapa yang senantiasa memberikan perlindungan baik untuk dirinya sendiri, komunitasnya, alam dan leluhur. Relasi holistik orang Baliem ini menjadi kekuatan untuk menatap masa depan yang lebih baik.