Pesta kembang api menyambut tahun 2015 mewarnai seantero tanah Papua. Letup kembang api sahut-menyahut bak petir dari langit menyambar bumi. Asap mengepul. Bau belerang tidak dapat dihindari. Langit Papua seketika dipenuhi warna-warni kembang api. Tidak ketinggalan dentum meriam turut menyemarakkan pergantian tahun di tanah Papua. Segenap rakyat Papua bersuka cita melepas tahun 2014 dan menyambut datangnya tahun 2015. Detik-detik menjelang pergantian tahun yang dinanti-nantikan itu, sebagian berkumpul dalam keluarga dan komunitas-komunitas seraya memanjatkan doa, bersyukur atas segala rahmat dan nikmat hidup sepanjang tahun 2014 dan memohon agar sang empunya hidup melimpahi berkat sepanjang tahun 2015. Sebagian lainnya sudah berkumpul di jalan-jalan protokol dengan genggaman kembang api di tangan. Kegembiraan dan suka cita meliputi segenap rakyat Papua. Untuk sesaat, penderitaan, duka-lara, kesedihan tidak tampak di raut wajah rakyat Papua.
Di tengah suasana gembira itu, terbesit harapan agar Papua menjadi lebih baik di tahun 2015. Rakyat Papua, baik orang asli Papua maupun kaum imigran berharap Papua menjadi tempat yang aman, damai dan layak dihuni. Harapan besar ini, tidak akan kunjung dialami, bila segenap rakyat Papua masih terpecah-belah berdasarkan sentimen suku, budaya, ras, agama, golongan, strata sosial. Keterpecahan rakyat Papua, yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, perlu dieliminir bahkan dicabut sampai ke akarnya. Rakyat Papua harus bersatu membangun negerinya. Segala sumber daya manusia dan sumber daya alam perlu digunakan secara maksimal untuk meningkatkan derajat kesejahteraan hidup rakyat Papua.
Ironinya, perdebatan tentang status Papua tidak terhindarkan dalam realitas hidup di tengah masyarakat. Pertanyaan tentang: “Papua, siapa punya?” selalu memicu konflik horisontal dan vertikal. Orang asli Papua selaku pemilik hak ulayat terabaikan selama berpuluh-puluh tahun. Sejak Papua diintegrasikan ke dalam Indonesia melalui Pepera 1969 sampai saat ini, orang Papua selalu mengalami diskriminasi dalam berbagai aspek hidup. Bahkan orang asli Papua kurang mendapat perhatian maksimal dari Indonesia. Perhatian dari Indonesia untuk Papua masih bersifat setengah hati, parsial dan kurang mengakomodir kebutuhan orang asli Papua. Kebijakan Indonesia untuk Papua hanya merupakan jalan pintas membungkam orang Papua untuk menuntut pengembalian kedaulatannya yang dirampas oleh Indonesia.
Sebaliknya, Indonesia selalu mengklaim bahwa Papua adalah bagian integral dari negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Kebijakan apa pun yang dihekendaki oleh pemerintah Indonesia di Jakarta mutlak diikuti oleh segenap rakyat Papua, termasuk orang asli Papua. Akibatnya, Papua selalu menjadi medan konflik yang subur. Kasus-kasus pembunuhan, baik yang dilakukan oleh militer dan polisi Indonesia terhadap orang Papua, maupun kelompok sipil bersenjata terhadap aparat militer dan polisi Indonesia, tidak pernah menemui titik terang. Hampir tidak ada pelaku dari kedua belapihak yang dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Akibatnya, Papua tetap bergejolak. Aksi saling tembak, saling bunuh dan gelombang demonstrasi menuntut keadilan bagi orang asli Papua tidak terhindarkan.
Tahun 2015 telah diawali hari ini. Sejak pukul 00.00, 1 Januari 2015, gegap-gempita rakyat Papua menyambut datangnya tahun baru 2015, menjadi momentum merajut kembali keterpecahan rakyat Papua. Bukan hanya orang asli Papua, tetapi juga kaum imigran, yang datang untuk membangun Papua. Semua harus bersatu, saling menerima, menghormati dan menghargai. Bahwa untuk membangun Papua yang lebih baik, diperlukan kerja sama setiap pihak, sebab permasalahan Papua, bukan hanya masalah politik semata, melainkan masalah kemanusiaan. Orang asli Papua mengalami diskriminasi dan pembatasan. Ruang demokrasi ditutup rapat. Bahkan pembunuhan terhadap orang asli Papua yang dilakukan oleh militer dan polisi dianggap sebagai sebuah kehormatan oleh Indonesia. Ini adalah tragedi kemanusiaan universal. Ketidakadilan semacam inilah yang mesti dilawan oleh segenap rakyat Papua, tanpa membedakan latar belakang.
Tragedi kemanusiaan yang terjadi di Papua semenjak invasi terbuka Indonesia ke Papua melalui dekrti Trikora, 19 Desember 1961 sampai 2014 harus dihentikan. Indonesia, yang saat ini dipimpin oleh presiden Jokowi perlu serius memikirkan dan memberikan alternatif penyelesaian Papua secara menyeluruh dan dengan sepenuh hati. Cara-cara kekerasan dan pendekatan militeristik terhadap orang asli Papua harus dihentikan. Jokowi harus menentukan sikap politis dan kebijakannya terhadap Papua secara terbuka, tanpa bersembunyi di balik kekuatan militer yang telah membunuh ribuan jiwa orang Papua. Sebagai presiden yang selalu berpihak pada rakyat kecil Jokowi perlu menunjukkan komitmennya untuk membawa Papua ke arah yang lebih baik.
Alternatif yang mungkin dilakukan untuk menyelesaikan Papua secara menyeluruh adalah melalui dialog terbuka antara orang asli Papua dan pemerintah Indonesia. Ide ini sudah lama diperjuangkan oleh Dr. Neles Tebay Pr, bersama jaringan damai Papua dan segenap komponen orang asli Papua, tetapi upaya ini belum mendapat respon positif dari pemerintah Indonesia di Jakarta. Buntunya upaya dialog menjadi salah satu sumber konflik, sebab masing-masing pihak, baik orang asli Papua maupun Indonesia, meyakini bahwamereka-lah pemilik sah atas tanah Papua. Situasi ini menyebabkan Papua menjadi tidak aman untuk dihuni. Setiap saat selalu muncul perasaan was-was, takut dan saling curiga. Akibatnya, suasana damai, aman, tentram dan hidup sejahtera yang didambakan tidak kunjung terwujud.
Tahun 2015, menjadi momentum perjumpaan para pihak yang bertikai tentang Papua. Tetapi, semua ini kembali kepada komitmen masing-masing pihak untuk membangun Papua. Kalau kurang ada niat baik dan komitmen bersama, maka kekerasan dan pembunuhan akan tetap berlanjut di atas tanah Papua. Korbannya adalah rakyat sipil tidak bersalah. Demi Papua yang lebih maju dalam berbagai aspek, para pihak yang bertikai tentang Papua harus duduk bersama dalam dialog terbuka antara orang asli Papua dan Indoensia guna mencari alternatif penyelesaian masalah Papua secara menyeluruh.
Akhirnya, untuk menyelesaikan permasalahan Papua secara menyeluruh, sebaiknya saling klaim: “Papua siapa punya?” harus dihentikan. Papua harus dibangun bersama dengan adil, jujur dan bijaksana. Dan setiap kebijakan untuk Papua harus didiskusikan terlebih dahulu dengan orang asli Papua, selaku penerima manfaat atas kebijakan tersebut. Untuk maksud ini, orang asli Papua harus bersatu dalam memperjuangkan kepentingan pembangunan tanah Papua. Demikian halnya, Indonesia harus bisa membuka ruang dialog dengan orang asli Papua untuk membicarakan alternatif penyelesaian aneka permasalahan Papua.
Abepura, 01-01-2015; 10.30 WIT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H